Minggu, 27 Juli 2008

BAB I
AL KHILAFAH


A. PENGERTIAN AL KHILAFAH
Pengertian Al-Khilafah erat sekali dengan pengertian khalifah, keduanya menyangkut masalah kekuasaan pemerintahan negara atau umat.
Al-Khilafah bisa diartikan kekuasaan atau pemerintahan, dan yang dimaksud dengan Al-khalifah disini ialah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut Syari’ah, sebagaimana dijanjikan Allah swt. Dalam firmannya:










Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai – Nya ! untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (An-Nur : 55).

Susunan pemerintahan tersebut telah dicontohkan dan diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw. Sewaktu beliau masih hidup dan kemudian dilanjutkan oleh sahabat-sahabat beliau yaitu Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Adapun Khalifah ialah orang yang memegang tampuk pemerintahan atau orang yang diberi tugas menjalankan pemerintahan atau biasa dikenal dengan Kepala Negara. Kata Khalifah artinya pengganti (successor), yakni orang yang menggantikan kedudukan yang ditinggalkan pendahulunya. Kepala negara setelah Rasulullah saw. disebut Khalifah, mereka itu adalah Abu Bakar, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan dan Ali bin ‘bi Thalib adalah pengganti-pengganti Rasulullah sebagai Kepala Negara tetapi tidak menggantikan kedudukan beliau sebagai Nabi dan Rasulullah. Kepala-kepala negara selanjutnya juga disebut Khalifah. Seperti pada masa Khalifah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.
Adanya Khalifah itu sangat dibutuhkan oleh umat Islam, sebab Khalifah menyangkut segala kehidupan bersama umat Islam termasuk persatuan serta keutuhannya. Tanpa adanya Khalifah, kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur, kemakmuran bersama tidak akan tercapai bahkan kelestariannya bisa terancam. Khalifah dapat diwujudkan dan ditegakan oleh umat Islam sendiri dan tidak mungkin hal itu terwujud tanpa kemauan dan kehendak dari umat yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk mewujudkan Khalifah itu merupakan kewajiban dari seluruh umat Islam.
Khalifah bagi umat Islam dapat diwujudkan dalam dua bentuk yang agak berbeda satu sama lain, disesuaikan menurut keadaan dan tempat masing-masing umat yang bersangkutan.
Pertama, bersifat nasional dengan mengambil bentuk sebagai suatu negara yang telah ditentukan batas-batasnya. Bentuk ini ha nya untuk sebahagian umat Islam saja tidak untuk seluruhnya, karena dibatasi oleh ruang lingkup negara dan wilayahnya. Bentuk seperti ini telah dimulai sejak Khalifah Bani Umayyah dan Khalifah Bani Abasiyah, begitu pula Khalifah-khalifah sesudah itu bahkan sekarang banyak negara-negara Islam yang mengambil bentuk Khalifah sendiri-sendiri secara terpisah, seperti Arab Saudi, Mesir, Syria, Pakistan dan lain-lain. negara-negara Islam tersebut mempunyai pemerintahan masing-masing dan satu-sama lain tidak terikat secara formal. Bentuk yang pertama ini hanya mungkin dilaksanakan apabila seluruh warga negaranya beragama Islam atau dalam satu negara tersebut tidak ada pengaruh yang berarti kecuali umat Islam. Khalifah dan begitu pula Khalifahnya, diakui sebagai negara dan pemerintahan Islam dan segala peraturannya ditaati oleh seluruh rakyat dan ulama Muslimin setempat.
Kedua, bersifat internasional atau umum, diperuntukan bagi seluruh umat Islam sedunia. Bentuk kedua ini tidak mengambil bentuk sebagai suatu negara yang dibatasi luas wilayahnya, bahkan wilayahnya tidak terbatas dimana ada umat Islam disitu ada pengaruh Khalifah ini, namun pengaruhnya itu tidak penuh dan tidak menyangkut seluruh kehidupan umat Islam, karena kekuasaanya dibatasi oleh negara dimana umat Islam itu berada. Jadi kedaulatannya boleh dikatakan tidak ada, dan kegiatannya hanya bersifat koordinatif dan hanya dalam beberapa segi terutama yang menyangkut bidang spriritual, sehingga syari’ah secara penuh dan utuh tidak bisa dilaksanakan, kecuali pemerintah negara yang bersangkutan menjadikannya sebagai hukum positif atau hukum yang berlaku di negara tersebut. Sebagai contoh hukum perkawinan Islam berlaku di Indonesia Khusus bagi umat Islam berdasarkan Undang-undang perkawinan nasional No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
Dalam kondisi umat Islam seperti sekarang, telah menyebar luas ke seluruh penjuru dunia dan tidak semua umat Islam yang hidup di negara-negara lain hanya sebagai golongan minoritas yang tidak berpengaruh sama sekali, bentuk kedua ini nampaknya sangat diperlukan sekedar untuk melindungi agamanya, seperti melaksanakan peribadatan dan lain-lain.
Organisasi umat Islam yang mirip bentuk Khalifah yang kedua ini ialah Rabithah ‘Alam Islamy yang berpusat di negara ‘Arab Saudi. Adapun Khalifah bentuk kedua yang mempunyai kedaulatan penuh untuk melaksanakan Syari’ah bagi seluruh umat Islam sedunia seperti dicita-citakan pemimpin-pemimpin Islam seperti gerakan Syaukat’ Ali bersama saudaranya Muhammad ‘Ali di India, diakui sulit untuk diwujudkan, selama umat Islam itu hidup dalam negara yang dikuasai oleh bangsa-bangsa yang tidak beragama Islam.
Mengenai Khalifah sebagai suatu susunan Pemerintahan Negara, didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang dasar-dasar Khalifah, tujuan Khalifah, syarat-syarat menjadi Khalifah, pembaitan Khalifah, kewajiban-kewajiban Khalifah dan lain-lain.

B. TUJUAN KHILAFAH.
Khilafah sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah merupakan susunan pemerintahan negara berdasarkan Syari’ah. Tentu hal itu mempunyai maksud dan tujuan yang sangat penting bagi kehidupan Islam dan umat Islam. Diantara tujuan-tujuan yang terkandung dalam pembentukan pemerintah (Khilafah) yang diatur menurut Syari’ah itu ialah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat dan bernegara bagi umat Islam yang berkeadilan dan berkemakmuran, aman tenteram serta mendapatkan keridhaan Allah swt, yaitu yang disebut “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”. Firman Allah swt :




Artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda ( kekuasaan Tuhan) ditempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun disebelah kanan dan disebelah kiri (kepada mereka dikatakan) : Makanlah olehmu rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha pengampun”. (Saba: 15).

Untuk mewujudkan masyarakat atau negara yang disebut “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur” itu, perlu diusahakan beberapa hal antara lain ialah:
1. Terciptanya kehidupan beragama yang mantap dengan pengalamannya dalam segala kehidupan umat, baik dalam kehidupan pribadi, dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Semua umat Islam harus dengan bebas dapat mengamalkan seluruh syari’ah tanpa ada gangguan bahkan harus mendapat perlindungan dari pemerintah, begitu pula da’wah Islamiyah atau penyuebaran agama berjalan secara lancar tanpa ada hambatan. Firman Allah swt :



Artinya : Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka.” (An-Nur : 55).

2. Terciptanya suasana kehidupan yang aman dan tenteram jauh dari kekhawatiran dan ketakutan, baik yang berasal dari dalam negeri yaitu sesama bangsanya maupun ketakutan dari bangsa-bangsa lain, seperti yang di janjikan Allah dalam Firman-Nya :


Artinya : Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan ) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman dan sentosa. (An-Nur : 55).

Oleh karena itu pemerintah harus berusaha untuk menciptakan suasana yang aman dan tenteram bagi seluruh rakyatnya. Sebab tanpa keamanan dan ketenteraman hidup itu tidak mungkin dapat mencapai Baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

3. Terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat atau umat dan dalam segala aspek kehidupan baik dalam segi politik, ekonomi, social budaya dan lain-lain. Untuk mewujudkan keadilan itu diperlukan adanya hokum yang pasti dengan seperangkat penegaknya. Keadilan itu sangatlah relatif akan tergantung dengan keadaan dan lingkungannya masing-masing. Tetapi disini perlu adanya keadilan yang merupakan perpaduan antara kondisi masyarakat setempat dengan syari’ah agama yang dianutnya. Oleh karena itu dalam hal ini perlu adanay pemerintah yang mampu menegakan keadilan keseluruh masyarakatnya.
Firman Allah swt :





Artinya : Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, para malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakan keadilan. (Ali Imran : 18).

4. Terwujudnya kemakmuran bagi seluruh lapisan rakyat atau umat, sehigga seluruhnya merasa berkecukupan.Hal ini sangat penting karena maju mundurnya suatu perekonomian suatu masyarakat, ikut menentukan stabil atau tidaknya masyarakat tersebut. Negara yang ekonominya kuat akan menjadika negaranya itu kuat, begitu pula sebaliknya negara yang ekonominya lemah, maka akan lemah pula rakyatnya. Hal ini dapat difahami karena segala sesuatu memerlukan kemajuan dan kemakmuran bidang ekonomi. Apabila kemakmuran telah dicapai maka segala rencana dan cita-cita dengan izin Allah akan terlaksana. Sebaliknya kemiskinan suatu bangsa atau umat akan sangat menghawatirkan akan merlemahnya semangat dan gairahnya menghadapi kehidupan ini. Allah telah memperingatkan kepada orang-orang yang beriman agar memperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan ini, untuk menjaga kelangsungan hidup generasi penerusnya masing-masing. Firman Allah swt :




Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang- orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (An-Nisa : 9).
Demikian pula hadis Rasulullah mengingatkan akan bahaya yang diakibat kan lemahnya seseorang dari segi ekonomi itu bisa menjadikan seseorang itu ingkar dari agama Allah.
Sabda Rasulullah Saw :


Artinya: Kemiskinan itu hampir (mengakibatkan) kepada kekafiran.

C. DASAR-DASAR KHILAFAH
Khilafah sebagai suatu sistim pemerintahan Islam, khususnya yang pernah dilaksanakan Rasulullah saw. dan Khulafa Al Rasyidin sahabat-sahabat beliau itu, adalah mempunyai dasar-dasar yang sangat kokoh dalam membentuk Al Khilafah itu. Adapun dasar-dasar Khilafah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah ialah :
1. Tauhid atau meng Esakan Allah swt.
Pada prinsipnya Khilafah yang dibangun Rasulullah beserta para sahabat beliau itu, ialah untuk menegakan kalimat Allah serta untuk memudahkan dalam menyebar-luaskannya kepada seluruh umat manusia. Ketauhudan yang dijadikan dasar khilafah itu bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. dengan Khilafah yang di bangun itu umat Islam dapat dengan aman dan tenteram melaksanakan ibadah sesuai dengan yang di perintahkan Allah swt.
Allah berfirman-Nya :
Artinya :



Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Murah lagi Maha penyayang. (Al-Baqarah : 163).
Dasar tauhid itu bagi umat Islam tentunya adalah Ketuhanan yang benar-benar didasarkan atas ke Esaan Allah swt. Yang tidak ada sekutunya, siapapun dan tidak ada bandinganNya, hanya Dia-lah tempat meminta segala pertolongan. Firman Allah swt :




Artinya :
Katakanlah :”Dia Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (Al-Ikhlas : 1-4).
Tuhan yang Esa yang diyakini itu adalah Pencipta alam semesta beserta isinya dan pencipta manusia dengan kehidupan dan segala penghidupannya.
Firman Allah :






Artinya :
Allah adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan hujan dari langit, kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untukmu. (Ibrahim : 32).
Bagi Islam ketauhidan itu harus juga diikuti dengan meyakini atau beriman kepada malaikat, kitab-kitab suci, rasul-rasul, hari akhir, dan juga baik buruknya kepastian atas takdir Ilahi. Kesemuanya itu disebut rukun Iman yang enam sebagaiman dimaksudkan dengan firman-Nya:






Artinya :
Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitab –Nya dan rasul-rasul-Nya.”. (Al-Baqarah : 285).
Sabda Rasulullah saw :












Artinya :
Seseorang bertanya kepada Nabi : “Terangkan padaku tentang iman ! “Jawab Nabi : Hendaklah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikatnya, raul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan kepada hari akhir. Dan engkau percaya pula kepada takdir baik maupun buruk. Orang tadi mengatakan : “Benarlah engkau”. (Riwayat Muslim).
Dengan tauhid atau meng Esakan Tuhan itu juga diartikan agar semua umat Islam takwa kepada Allah swt yang berarti harus mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Pengertian itu menghendaki pengalaman ajaran Islam dalam segala kehidupan rakyat atau umat Islam. Sebagaimana firman Allah swt :






Artinya :
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya ; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah : 2-3)
Begitu pula dengan tauhid itu diartikan, agar tetap menghormati pemeluk-pemeluk agama lain dan tidak memaksakan pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Firman Allah Swt :





Artinya :
Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita kepada-Nyalah kembali (Asy-Syura : 15).

2. Persatuan atau ukhuwah Islamiyah.
Dasar ini dimaksudkan bahwa dengan khilafah itu agar persatuan dan persaudaraan antara umat Islam bisa digalang dan dibina, sehingga merupakan kekuatan suatu kekuatan yang tangguh yang tidak tergoyahkan dan dengan persatuan itu menunjang untuk terwujudnya kesejateraan dan kebahagiaan bersama umat Islam. Oleh karena khilafah Islam harus menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bersama umat Islam diatas kepentingan masing-masing, atau golongan dan aliran.
Firman Allah swt :







Artinya :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai. (Ali-Imran : 103).
Di Indonesia ukhuwah Islamiyah itu diartikan sebagai Persatuan Indonesia, yang menempati urutan ketiga dari sila dalam Pancasila. Hal ini sangatlah penting, karena adanya persatuan suatu umat atau bangsa akan menjadi lemah dan akan menjadi bangsa-bangsa lain yang lebih kuat. Oleh karena itu, semua umat Islam harus selalu berpegang teguh kepada semua ajaran Allah dan Rasul-Nya, agar semua umat Islam satu bahasa dan satu jiwa serta satu langkah dalam menghadapi segala sesuatu.
Firman Allah swt :





Artinya :
Dan taatlah kerpada Allah dan Rasu-lNya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu. (Al-Anfal : 46).
Dengan dasar persatuan itu semua umat Islam sanggup berkorban untuk tegaknya Islam dan kemajuan umat Islam. Untuk itu perlulah adanya usaha-usaha dari pihak pemerintah kearah mempersatukan dan menumbuhkan persaudaraan dan saling cinta mencintai diantara sesama umat Islam.

3. Persamaan derajat antara sesama umat Islam.
Semua umat Islam mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Sikap ini sangat penting untuk dijadikan dasar untuk pembentukan khilafah Islam dimanapun dengan tidak membedakan perbedaan kebangsaan dan warna kulit. Tinggi rendahnya derajat dan martabat diantara umat Islam hanyalah dibedakan karena derajat ketakwaannya masing-masing kepada Allah swt, sebagaimana dikehendaki dengan firman-Nya sebagai berikut :









Artinya :
Hai manusia, sesungghuhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu aling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Seseungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui. (Al-Hujurat : 13).
Dengan dasar tersebut perlulah diciptakan sikap saling cinta mencuntai sesama umat Islam serta menjunjng tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan amal shaleh dan membela kebenaran serta keadilan, serta merasa bahwa semua umat Islam pada hakikatnya adalah satu.
Firman Allah swt :







Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka lebih tahu kemaslahatannya. (An-Nisa : 135).

Firman Allah swt :








Artinya :
Sesungguhny umat manusia adalah umat yang satu. (Al-Baqarah : 213).

4. Musyawarah
Dasar ini dimaksudkan agar segala sesuatu yang menyangkut khilafah dan seluruh kehidupan umat Islam ditentukan oleh umat Islam sendiri dengan cara musyawarah untuk mufakat, sebagaimana dimaksudkan oleh firman Allah SWT:



Artinya :
Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. (Asy-Syura:38).
Berdasarkan ayat tersebut di atas, menunjukan bahwa penguasa atau siapapun tidak boleh memaksakan suatu kehendaknya kepada pihak lain atau rakyat, kecuali yang telah ditetapkan berdasarkan wahyu Ilahi. Demikian pula keputusan-keputusa yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan dengan musyawarah. Sehingga apa yang akan diterapkan adalah merupakan kesepakatan bersama pula, baik yang menyangkut urusan polotik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain.
Bentuk musyawarah itu tidak harus secara langsung semua rakyat atau umat secara berbondong-bondong, tetapi rakyat bersama menentukan wakilnya masing-masing baik melalui pemungutan suara atau penunjukan dengan cara yang lebih adil. Selanjutnya, wakil-wakil rakyat itulah yang melakukan musyawarah mewakili seluruh golongn dan seluruh aliran yang ada.
Orang yang ditunjuk mewakili umat Islam itu, hendaklah orang-orang yang adil dan dapat dipercaya atau dapat menunaikan amanat umat. Maka dengan orang-orang yang adil dan dapat menunaikan amanah itu, sistim syura atau sekarangdisebut demokrasi itu akan berjalan dengan baik.
Dengan sistim syura itu, khalifah bersama wakil-wakil rakyat akan melakukan musyawarah untuk menentukan hal-hal yang menyangkut urusan hidup umat Islam bersama, terutama yang belum jelasa ketentuannya menurut nash atau ijma’. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, permusyawaratan itu penting sekali, merupakan kewajiban setiap khalifah dalam menjalankan segala tugasnya. Sebenarnya permusyawartan itu sebenarnya bukan hanya mengenai yang belum ada nashnya tetapi memerlukan permusyawaratan dan pelaksanaannya. Kalau pengangkatan para wakil rakyat dan pimpinan pemerintahan sudah berdasarkan musyawarah dan demokratis, maka kewajiban umat atau rakyat untuk tunduk dan mentaati sebala perintahnya, sebagaiman Allah menyatakan dengan perintahnya :







Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa : 59).
Yang disebut Ulil-Amri menurut ahli tafsir menurut Imam Muhammad Fakhruddin Razi, ialah Ahlul Halli wal Aqdi yang terdiri dari para alim ulama, cerdik cendikiawan, dan pemimpin-pemimpin rakyat yang ditaati dan dilain tempat disebutnya Ahli Ijma’.

5. Keadilan dan Kesejahteraan
Prinsip ini sangatlah penting, karena mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan, serta mengembangkan perbuatan luhur untuk saling tolong-menolong. Sebagaimana Allah menyerukan dengan firman-Nya :



Artinya :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, da jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah : 2)
Prinsip itu bertolak dari kesadaran manusia akan persamaan hak serta kewajiban diantara sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga karenanya yang kuat harus menolong yang lemah yang kaya harus menolong yang miskin dan membutuhkan pertolongan.
Dengan prinsip itu maka akan dirasakan adanya keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam masyarakat. Banyak ayat Al-Quran yang mendorong untuk bersikap adil terhadap sesama serta mendermakan sebahagian harta yang dimilikinya untuk orang lain, diantaranya :
Firman Allah swt :






Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh( kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (An-Nahl : 90).
Sabda Rasulullah saw :







Artinya :
Bukanlah seorang mu’min, yang dirinya saja kenyang, sedang tetangga yang berada disebelahnya kelaparan. (Riwayat Ibnu Abbas).
Apabila semua prinsip dan dasar-dasar khilafah tersebut dapat dilealisir dalam kehidupan berkhilafah, maka semuanya umat atau rakyat, akan merasakan adanya kebahagiaan lahir maupun batin. Materiil maupun spirituil.

D. SYARAT-SYARAT MENJADI KHALIFAH
Khalifah sebagai kepala negara dan sebagai pimpinan pemerintahan Islam tentu tidaklah semua orang bisa menduduki jabatan tersebut, tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang tertentu. Hal itu karena tugas pemimpin negara, sangat berat menyangkut nasib umat dan nasib agama Allah yaitu agama Islam. Diantara persyartan yang mesti dimiliki oleh seorang khalifah antara lain ialah :
1. Mengerti hokum Syari’ah secara baik dan diakui ketakwaannya kepada Allah. Syarat pengetahuan tentang hokum syari’ah itu cukuplah penting, karena khalifah sebagai penegak hokum Allah tentunya ia sendiri harus memahami apa-apa yang akan ditegakan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Khalifah yang tidak mengetahui dan tidak memahami akan hukum-hukum Allah maka besar kemungkinan ia akan menyimpang dari ajaran syari’ah yang seharusnya ditegakan. Lebih dari itu pimpinan yang tidak memahami syari’ah itu akan menimbulkan pengaruh bagi masyarakat dan rakyat umum kearah penyimpangan yang lebih jauh lagi. Begitu pula ketakwaan merupakan syarat penting pula karena khalifah akan merupakan suri teladan bagi seluruh umat yang dipimpinnya. Khalifah yang tidak takwa kepada Allah tidaklah mungkin ia akan mampu untuk mengarahkan orang yang dipimpinnya menjadi orang-orang takwa, maka akan gagal missi khilafahnya.
2. Seorang khalifah haruslah memiliki kecerdasan akal pikiran serta berpengetahuan yang cukup. Syarat itu adalah wajar karena khalifah akan memimpin umat yang beraneka ragam. Umat yang dipimpin itu kemungkinan besar akan terdiri dari orang-orang yang berbeda-beda, baik adat kebiasaannya, asal usul kebangsaannya, bahasa yang diucapkannya bahkan mungkin berbeda dalam beberapa segi cita-citanya. Untuk memimpin umat yang beraneka ragam itu, akan memerlukan kemampuan berfikir dari seorang khalifah untuk memecahkan segala masalah kehidupan bersama. Selai itu, memimpin negara berarti harus memajukan dan meningkatkan kemampuan dan tarap hidup rakyat seluruhnya dan dalam segala kehidupannya. Oleh karena itu orang yang tidak mempunyai kecerdasan berpikir dan tidak cukup berpengetahuan, tidak akan mampu membangun negara dan bangsanya, karena keterbatasan cara berpikir dan pengetahuan yang dimilikinya. Allah telah menempatkan orang-orang yang berkemampuan berpikir dan berpengetahuan itu pada derajat yang lebih tinggi.
Firman Allah swt :





Artinya :
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang yang diberi Ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Al-Mujadalah : 11).

3. Seorang khalifah haruslah orang yang memiliki akhalk mulia, bersikap adil dan jujur serta bertanggung jawab. Sepintas lalu saja, akhlak mulia itu merupakan suatu hal yang sangat mutlak bagi seorang khalifah, karena pemimpin adalah teladan bagi seluruh rakyatnya, maka perlulah seorang khalifah memilikinya.
Sikap adil, jujur dan bertanggung jawab itu merupakan sikap mental yang sangat mulia. Secara sederhana keadilan itu ialah menempatkan sesuatu pada tempatnya yang sebenarnya dan selayaknya, dalam arti hakiki. Keadilan seorang khalifah sangat menentukan rakyatnya, karena dengan keadilan itu akan membuat semua rakyat menjadi tenteram dan penuh kedamaian sehingga semua orang akan menjadi puas. Sebaliknya seorang pemimpin yang berlaku aniaya akan membuat rakyatnya menjadi resah, oleh karenanya pemimpin akan dibenci dan dikutuk rakyatnya. Orang yang adil akan berani membela kebenaran, walaupun terhadap dirinya, orang lain, terhadap si kaya maupun terhadap si miskin. Allah memerintahkan setiap orang yang beriman untuk bersikap adil, sebagaimana firman-Nya :








Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kami orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjsakan. (An-Nisa : 135).

4. Seorang khalifah harus berkemampuan untuk memimpin terutama bersikap tegas, terutama dalam mengambil sikap keluar atau terhadap lawan. Hal ini sangat penting, karena dengan sikap yang demikian, lawan tidak akan berani mempermainkan. Sikap yang demikian itu, akan sangat membantu tegaknya khilafah dan kepemimpinannya. Demikian pula sebaliknya seorang khilafah juga harus bersikap mengayomi dan bersikap kasih sayang terhadap sesama umat Islam. Dengan sikap itu khilafah akan menjadi kokoh, karena semua umat akan mendukung semua gagasan khilafah dan akan sangat membantu suksesnya program pembangunan negaranya. Sikap dan sifat tersebut telah dicontohkan Allah melalui Rasul-Nya Muhammad saw, sebagaimana dikemukakan Allah dalam firmanNya sebagai berikut :
Artinya :
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan di adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih saying sesama mereka, (Al-Fath : 29).
5. Bersikap bijaksana dan bersikap mendidik dalam mengajak orang-orang untuk mengikuti jalan yang diridhai Allah swt, agar ajkannya mudah diterima dan tidak bersikap antipati. Sikap ini merupakan sikap yang penting dalam mengemban tugas khilafah. Sikap demikian ikut menentukan berhasil atau tidaknya tugas pemerintahan seorang khilafah atau kepala negara. Allah telah menunjukan dengan firmanNya, sebagai berikut :
Artinya :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah yang baik. (An-Nahl : 125).
6. Seorang khalifah harus betul-betul merupakan pilihan rakyat. Ini berarti seorang khalifah adalah orang yang disukai oleh seluruh umat Islam atau paling tidak akan sebahagian besar umat Islam. Khalifah yang tidak atas pilihan rakyat akan lebih tidak disukai oleh rakyat dan oleh karenanya segala perintahnya dan segala gagasannya tidak akan mendapat sambutan rakyat. Akibat Khalifah yang tidak akan pilihan rakyat itu, misi Khilafahnya akan menjadi gagal. Cara pemilihan Khalifah oleh rakyat atau oleh umat itu biasa secara langsung melalui pemungutan suara secara umum (referendum) atau pemilihan melalui wakil-wakil rakyat atau ahlul halli wal aqdi baik melalui pemungutan suara (voting) atau dengan cara musyawarah untuk mufakat. Cara musyawarah untuk mufakat itu merupakan cara yang terbaik, karena cara ini tidak hanya menitik beratkan pada pendapat yang banyak saja, tetapi didasarkan atas kwalitas atau kebenaran pendapat yang diajukan, sehingga melalui musyawarah ini hal-hal yang masih dianggap kurang mantap, akan dimantapkan oleh pendapat-pendapat dari pihak lain, sehingga keputusan yang dicapai merupakan keputusan bersama secara mutlak.
Firman Allah SWT :
Artinya :
Sedang urusan mereka( diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. (Asy-Syura : 38)
Artinya :
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali-Imran : 159)
E. PENGANGKATAN DAN BAIAT KHALIFAH
Mengingat urgensinya (pentingnya) Khalifah bagi umat Islam sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pengangkatan Khalifah itu hukumnya fardu kifayah, artinya pengangkatan itu kewajiban seluruh umat Islam untuk melakukannya, dan kalau sudah ada yang mengangkatnya maka kewajiban terhadap yang lainnya menjadi gugur. Alasannya adalah :
1. Ijma’ para sahabat, bahwa mereka lebih mendahulukan permusyawaratan untuk menentukan Khalifah sebagai pengganti Rasulullah sebagai kepala Negara, daripada mengurus jenazah Rasulullah saw. sendiri. Para sahabat dan pemimpin-pemimpin Islam pada waktu itu ramai membicarakan dan memusyawarahkan pengangkatan Khalifah, sampai akhirnya terpilihlah Abu Bakar Siddiq menjadi Khalifah pertama setelah Rasulullah saw. Sikap para sahabat itu menunjukan, bahwa pengangkatan Khalifah sangat penting dan sangat menentukan bagi kehidupan umat Islam selanjutnya.
2. Tanpa adanya Khalifah itu berarti tidak ada pimpinan pusat yang mengatur dan mengkoordinir serta melindungi umat Islam, sehingga masalah yang menyangkut umat Islam tidak bisa terjamin keamanan dan kelangsungannya seperti pembelaan dan pengamalan agama, menjaga keamanan dan pertahanan, memajukan kesejahteraan, serta mencerdaskan kehidupan umat. Hal ini hanya mungkin dicapai apabila ada pemerintahan yang mengaturnya.
3. Allah telah menjanjikan kepada orang mukmin yang beramal shaleh tahta kekhalifahan. Jadi pengangkatan khalifah merupakan suatu keharusan bagi umat Islam.

Adapun yang berhak mengangkat Khalifah itu pada prinsipnya adalah seluruh umat Islam, karena Islam menganut sistim pemerintahan yang mirip atau sesuai dengan demokrasi. Kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat yakni umat Isalm, pemerintahan dari umat oleh umat dan untuk kepentingan umat pula. Cara melakukan pemilihannya seperti telah disinggung di atas ada dua macam cara :
1. Pemilihan secara langsung. Dalam cara ini oang-orang Islam baik laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa berhak untuk memajukan pilihannya siapa yang dikehendaki untuk menjadi kepala ngara (Khalifah). Pemilihan seperti ini setiap muslim langsung menunjuk orangnya melalui suatu pemungutan suara atau pemilihan secara umum (referendum). Calon-calon yang mendapat pilihan terbanyak akan diangkat menjadi Khalifah. Cara ini ada segi positif dan segi negatifnya. Positifnya dari cara langsung ini, ialah bahwa orang akan mnejadi lebih puas, karena memilih sendiri calon yang dikehendakinya, dan apabila Khalifah itu dalam sikap dan tindakannya ada yang kurang cocok, tidak akan membuat pemilihnya terlalu kecewa, karena merupakan konsekwensinya. Negatifnya adalah bahwa pendirian orang itu sering dipengaruhi oleh emosi, unsure golongan dan famili sistim, sehingga pilihannya tidak didasarkan atas pendiriannya yang murni. Oleh karena itu selera masing-masing bisa berbeda-beda dan Khalifah terpilih hanya didasarkan kepada banyaknya pemilihan bukan atas dasar kemampuan semata-mata.
2. Pemilihan secara tidak langsung yaitu pemilihan oleh Ahlul halli wal aqdi, atau wakil-wakil rakyat yang berhak memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan umat Islam,( Ahlul halli wal aqdi tersebut terdiri dari unsur Alim Ulama, cerdik pandai dan pemimpin-pemimpin yang ditaati rakyat). Mereka itu wajib ditaati kerena pada prinsipnya mereka adalah dewan atau majlis yang merupakan perwujudan seluruh kehendak umat Islam. Mereka juga disebut Ahlul Ijma’ Artinya ahli-ahli yang berhak memberi putusan. Cara-cara inilah yang pernah dilakukan umat Islam pada masa Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Siddiq sebagai Khalifah pertama setelah Rasulullah saw, Umar Ibn Khattab Khalifah kedua, Utsman Ibnu Affan Khalifah ketiga dan Ali Ibnu Abi Thalib Khalifah keempat.
Merka tidak dipilih secara langsung oleh umat Islam, tetapi oleh wakil-wakil umat Islam yaitu sahabat-sahabat Rasulullah yang merupakan pemimpin-pemimpin Islam waktu itu. Mereka dipilih atas dasar kesepakatan dalam musyawarah. Apabila kesepakatan tidak tercapai, maka sebagai jalan keluarnya, adalah pemungutan suara oleh Ahlul Halli Wal Aqdi, yang mendapatkan suara terbanyak itulah yang menjadi Khalifah.
Sesudah ditetapkan, maka Khalifah terpilih itu diminta mengucapkan janji atau sumpah setia untuk menerima tanggung jawab serta melaksanakan tugas kewajiban khalifah menurut aturan yang telah ditetapkan dengan mengambil/menyatakan Allah sebagai saksi. Selanjutnya mengucapkan pidato sebagaiman pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar setelah dibaiat, antaralain beliau mengatakan :
“Wahai saudara-saudara saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka hendaklah saudara-saudara betulkan. Orang yang saudar-saudara pandang kuat, aku pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedangkan orang yang saudara-saudara pandang lemah, aku pandang kuat, hingga aku dapat memberikan haknya kepadanya. Hendaklah saudara-saudara taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, tetapi bilamana aku tidak mentaati Allah dan RasulNya saudara tidak perlu mentaatiku”.(A. Syalabi, Prof. Dr. Sejarah Kebudayaan Islam Jilid I, Cetakan kedua, tahun 1959 hal. 162).
Setelah itu maka bermulalah tugas Khalifah dan kewajiban bagi semua umat Islam untuk tunduk dan mentaati segala perintah Khalifah selama tetap mengikuti ajaran Allah dan RasulNya, dan kewajiban menegurnya apabila dipandang telah menyimpang dari ajaran itu.

F. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN KHALIFAH
Khalifah sebagai kepala negara mempunyai kewajiban-kewajiban yang tidak ringan, ia mempunyai tugas melaksanakan segala yang diamanatkan Allah dan umat Islam. Pada prinsipnya ia berkewajiban untuk menjalankan pemerintahan dan melakukan pembangunan diegala bidang kehidupan rakyat atau umat Islam, baik yang menyangkut ideologi yaitu agama Islam, masalah pertahanan dan keamanan, masalah ekonomi politik dan penegakan hokum atau peradilan masalah masyarakat lainnya. Kewajiban-kewajiban Khalifah itu antara lain ialah :
1. Menegakan dan menghidupkan agama, dengan menerapkan segala ajaran bernegara, kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi/perorangan. Rakyat diarahkan untuk mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, sehingga persatuan umat Islam menjadi tetap kuat dan utuh, sebagaimaa firman Allah swt :
Artinya :
Tegakanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Ays-Syura : 13.
2. Menjaga pertahanan dan keamanan nasional agar rakyat terjamin kehidupan dan penghidupannya dengan aman tenteram jauh dari segala kekhawatiran dan ketakutan dari ancaman musuh.
Firman Allah swt:
Artinya :
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah : 193).
3. Menyelenggarakan peradilan, untuk mengadili orang-orang yang bersalah dan mengenakan sangsinya menurut ajaran Allah. Sebagaiman firman Allah Surat An-Nisa ayat 135 tersebut di atas.
4. Bermusyawarah dengan para wakil rakyat dalam segala urusan yang tidak ada nashnya yang qath’I dan tidak ada pula Ijma’. Terutama dalam hal-hal kenegaraan seperti politik luar negeri ekonomi dan lain-lain.
5. Mengatur perekonomian dan kemakmuran negara menurut yang diatur oleh agama, seperti penyusunan “Baitul Mal”, mengatur perniagaan dan pertanian serta perindustrian dan lain-lain. Dengan pengaturan itu diharapkan pemerataan dalam segala bidang kehidupan akan dapat diwujudkan sehingga semakin mendekatkan kepada keadilan.
6. Memajukan pendidikan, Ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencerdaskan umat, agar kehidupan semakin baik dan semakin bermutu. Hal ini seperti pernah dicapai umat Islam pada zaman keemasannya yaitu pada masa Daulat Abbasyiah sebelum masa pemecahan dan masa kehancurannya. Kemajuan dibidang ini membawa harum umat Islam di mata dunia. Dalam hal ini kerjasama dan komunikasi yang baik antara Khalifah dengan para Ulama dan Cendikiawan akan memebawa kemaslahatan umat dan membantu keberhasilan missi Khalifah.
Sabda Rasulullah saw :





Artinya :
Ada dua golongan dari manusia apabila keduanyabaik maka baiklah manusia seluruhnya, dan apabila keduanya rusak maka rusaklah manusia seluruhnya; yaitu Ulama dan Pemerintah. (Riwayat Ibnu Abdil Bar).
7. Mendelegasikan (menyerahkan) sebagian tugas dan wewenang yang tidak mungkin dilaksanakan oleh Khalifah sendiri, kepada orang lain yang lebih tepat yaitu yang dapat dipercaya, sesuai dengan kecakapan dan bidang keadilannya masing-masing. Tetapi bila wewenang diberikan kepada orang yang bukan bidang keahliannya, maka tak akan mencapai hasil bahkan bisa menemui kehancurannya. Sabda Nabi Muhammad saw :
Artinya :





Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (Riwayat Bukhari).
8. Mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pejabat-pejabat bawahannya serta terhadap tugas dan wewenang yang diserahkannya. Apakah tugas dan wewenang itu dijalankanya dengan baik atau tidak. Pengamatan secara langsung turun ke masyarakat untuk melihat dengan mata kepala sendiri akan sangat membantu suksesnya tuga-tugas Khalifah.

G. HIKMAH KHILAFAH
Khalifah atau pemerintahan bagi umat Islam besar hikmahnya. Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat dikemukakan beberapa hikmah dari khilafah itu antara lain ialah :
9. Membina persatuan dan kesatuan umat. Semua umat Islam yang terdiri dari bangsa dan suku bangsa yang berbeda, begitu pula bisa berbeda bahasa maupun adat istiadatnya, dengan khilafah dapat disatu padukan dengan satu pimpinan atau satu landasan yaitu ajaran Islam. Dengan khilafah umat Islam akan menjadi kuat yang harus diperhitungkan bangsa-bangsa lain.
10. Dengan khilafah Syari’ah akan lebih dapat ditegakan, sebab ajaran-ajaran Islam dan hokum-hukumnya akan merupakan hukum positif yang wajib dilaksanakan seluruh umat. Sebaliknya orang yang melanggar hukum Islam yang sudah menjadi hukum negara itu akan dikenakan sangsi sebagaimana mestinya, sehingga pengalaman Syari’at Islam dapat ditegakan dengan sebaik-baiknya.
11. Dengan khilafah akan dapat lebih memajukan kesejahteraan umat. Hal itu dapatlah difahami karena segala potensi umat Islam akan diorganisir, dikembangkan dan disalurkan serta dimanfaatkan oleh rakyatnya sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Hasilnya akan dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam secara merata, sehingga umat Islam akan menjadi umat yang besar dan modern.
12. Dengan khilafah akan lebih cepat menampakan Syiar Islam kepada dunia. Khilafah itu juga akan lebih menunjang kelancaran da’wah Islamiyah, secara teratur dan terencana, karena lebih mudah dalam penyediaan dan untuk kepentinga Syiar Islam.
13. Dengan khilafah menunjukan kepada dunia, bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur manusia dengan manusia dalam bermasyarakat maupun dalam bentuk kehidupan bernegara. Perpaduan antara keduanya merupakan pangkal kemuliaan manusia.
Firman Allah SWT :




Artinya :
Merka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka perpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. (Ali Imran : 112).
14. Khilafah Islam memberikan contoh kepemimpinan dan sistim pemerintahan Islam yang terbaik, sebagaiman dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan sahabat-sahabat Khulafaur Rasyidin. Kepemimpinan pemerintahan Rasulullah dan sahabatnya itu adalah kepemimpinana dan pemerintahan yang didasarkan pada ketakwaan, keikhlasan, kejujuran, penuh kasih saying serta bijaksana dalam segala tindakan. Keberhasilan Khilafah yang dilaksanakan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin itu akan menjadi teladan bagaimana cara berorganisasi dan bernegara yang baik kepada umat manusia.


BAB II
MAJLIS SYURA DAN AHLUL HALLI WAL’AQDI
(PERMUSYAWARATAN)


A. PENGERTIAN MAJLIS SYURA
Majlis syura menurut bahasa berarti tempay musyawarah, sedangkan menurut istilah yang popular berarti Lembaga permusyawaratan, yaitu badan yang didirikan dengan maksud menjadi tempat musyawarah para wakil rakyat yang terdiri dari orang-orang yang berIlmu. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa musyawarah itu penting sekali dan merupakan salah satu dari beberapa kewajiban khalifah dalam menjalankan khalifahnya.
Adapun materi yang dimusyawarahkan adalah terutama yang tidak ada nashnya baik dengan nash qath’I atau dengan ijma. Akan tetapi walaupun demikian materi musyawarah tidak terbatas pada hal tersebut saja melainkan dilakukan untuk menyelesaikan segala urusan. Masalah yang sudah ada nashnya juga memerlukan musyawarah untuk merumuskan teknis pelaksanaanya. Masalah yang tidak ada nashnya lebih memerlukan musyawarah untuk mencari pemecahan dan penyelesaiannya berdasarkan istimbath atau ijtihad.
Firman Allah swt:


Artinya :
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”. (Asy-Syura:38)
Firman Allah swt :



Artinya:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”. (Ali-Imran:159).
Rasulullah saw. semasa hidupnya, dimana beliaulah yang memegang pucuk pemimpinan pemerintahan, selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya terutama dalam masalah kenegaraan dan kemasyarakatan yang perlu mendapat perhatian bersama.
Majlis syura sebagaiman kita maksud pada zaman Rasulullah saw. belum ada, akan tetapi beliau telah memberi contoh kepada umatnya agar selalu bermusyawarah dalam berbagai urusan yang menyangkut urusan yang menyangkut kepentingan bersama. Dengan demikian beliau telah meletakan dasar atu prinsip musyawarah dalam kehidupan beragama dan bernegara.
Lembaga permusyawaratan yang kita ketahui pada tiap-tiap negara sekarang (di Indonesia MPRdan DPR) umumnya sudah mempunyai peraturan dan tata tertib tertentu berdasarkan undang-undang setempat, diantaranya penentuan tempat bersidang, waktu bersidang dan berapa kali bersidang untuk masa/periode tertentu. Hal yang demikian tidak ada ketentuannya dari Rasulullah Saw. kita dapat mengambil hikmah dari pada keadaan ini. Seandainya Rasulullah menetapkan aturan tertentu dalam permusyawartan niscaya akan timbul tanggapan bahwa aturan tersebut merupakan suatu hal yang harus dicontoh dan dilaksanakan. Padahal kondisi dan situasi pada masa Rasulullah saw. tidak sama dengan kondisi masyarakat sekarang. Sedangkan yang penting dalam hal ini bukan teknis/caranya melainkan memegang prinsipnya. Dengan dasar pemikiran tersebut dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari’ah dapat kita pahami bahwa jalan yang ditempuh Rasulullah saw. Ialah menyerahkan cara dan bentuk permusyawartan itu kepada kebijaksanaan umat. Umat akan menyesuaikan diri dengan tempat dan masa mereka, selaras dengan keadaan dan maslahat setempat pada waktu itu.

B. AHLUL HALI WAL AQDI (WAKIL-WAKIL RAKYAT/DPR)
Ahlul hali wal aqdi yang kita maksudkan disini adalah wakil-wakil rakyat yang menjadi anggota Majlis Syura. Di Indonesia mereka itu adalah anggota MPR dan DPR.
Seorang ahli tafsir yaitu Imam Fahruddin Ar Razi menyatakan bahwa ahlul hali wal aqdi itu adalah alim ulama dan kaum cerdik pandai (Ilmuwan) yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih oleh mereka.
Dari pendapat ini kita kemukakan dua masalah penting, yaitu kualitas wakil rakyat dan prosedur pemilihannya. Mudah kita pahami bahwa wakil rakyat itu harus mempunyai bobot yang dapat dipertangungjawabkan terutama masalah Ilmu pengetahuan mereka. Mereka harus orang yang pandai sebagaimana pendapat Imam Ar Razi tersebut di atas. Alim ulama ahli dalam bidang agama sedangkan kaum cerdik pandai adalah ahli ilmunya masing-masing. Hal ini perlu sekali karena melihat kedudukan mereka sebagai wakil rakyat yang akan menentukan arah kebijaksanaan bernegara. Disamping itu fungsi mereka sebagai anggota majlis yang akan menggarap berbagai masalah yang menyangkut kepentingan umum semua warga bernegara. Masalah yang akan dijadikan materi musyawarah yang merupakan garapan mereka sehari-hari tidak hanya menyangkut satu atau dua aspek kehidupan melainkan seluruh aspek yang menyangkut kepentingan kehidupan ummat. Oleh karena itulah untuk tiap aspek dan bidang tertentu harus ada orang yang ahli dalam menyelesaikan setiap masalah yang bersangkut paut dengannya.
Masalah kedua yaitu masalaj prosedur pemilihanya. Mereka adalah pimpinan rakyat yang dipilih oleh rakyat. Inilah yang kita kenal dengan asas demokrasi, dimana setiap masalah sesuai dengan semboyan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemimpin yang betul-betul pilihan rakyat akan merasa bertanggung jawab sehingga dapat dengan baik melaksanakan tugasnya. Dia merasa terpanggil untuk selalu berbuat adil dan jujur dalam tugasnya sebab dia mempunyai keyakinan akan makna amanat yang di bebankan/amanat dari muslim lainnya tidak akan menyia-nyiakan amanat tersebut, sebab salah satu dari ciri kesempurnaan iman seorang muslim ialah dapat menunaikan amanat yang dipercayakan kepadanya.

C. SYARAT-SYARAT WAKIL RAKYAT
Ada dua persyaratan umum yang mesti dimiliki wakil rakyat, yaitu persyaratan pribadi dan persyaratan ilmiah. Persyaratan pribadi harus dilihat sampai seberapa jauh penerapan akhlakulkarimah terhadap dirinya dan ketaatan terhadap perintah agamanya. Sedangkan persyaratan Ilmiyah harus dilihat sampai tingkat mana kemampuan ilmiah sesuai dengan bidangnya.
Umumnya masyarakat lapisan bawah (orang kebanyakan) lebih peka terhadap kepribadian. Mereka akan memilih pemimpin yang mewakili mereka terutama yang akhlaknya dapat dipertanggungjawabkan, sebab memberikan amanat terhadap orang yang berakhalak dirasakan lebih aman dan bermanfaat.
Kepandaian atau keahlian seseorang belum menjamin suksesnya pelaksanaan suatu program tanpa didukung oleh kepribadian. Oleh karena itulah kepribadian tersebut mendapat tempat pertama untuk dijadikan bahan pertimbangan. Baik buruknya kepribadian seseorang cepat dikenal masyarakat.
Selanjutnya berdasarkan dua aspek ini dapat dirumuskan persyaratan wakil rakyat sebagai berikut :
1. Dipilih oleh anggota (rakyat), sesuai dengan asas demokrasi.
2. Berkepribadian tinggi (adil, jujur dan bertanggung jawab). Adil artinya dapat meletakan sesuatu pada tempatnya, bekerja menurut tempat dan fungsinya. Dia dapat membedakan kapan menjadi wakil rakyat dan kapan menjadi kepala keluarga. Setiap kepentingan rakyat dia perjuangkan dan kepentingan pribadi yang dapat menurunkan wibawanya tidak akan dilakukan. Jujur artinya tidak akan menghianati amanat yang dipercayakan kepadanya, sedangkan bertanggung jawab bahwa ialah setiap langkah dan sikapnya dapat dibuktikan kebenarannya. Dia akan selalu berpedoman kepada Sabda Rasulullah saw :
Artinya :
“kamu semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimnta pertanggungan jawab kepemimpinannya” (Bukhari Muslim dan Ibnu Umar).
3. Berpengetahuan yang cukup sesuai dengan bidangnya. Wakil rakyat dalam negara Islam harus tergolong cendikiawan yang bertaqwa. Menurut Syeh Muhammad Rasyid Ridla mereka harus yang ahli dalam satu disiplin ilmu secara umum dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dengan memperhatikan syarat ini maka diharapkan terkumpul wakil-wakil rakyat yang mempunyai keahlian yang bervariasi, sehingga setiap masalah yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik oleh ahlinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah:



Artinya : Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran padanya, kecuali ulul albab (Ali Imran : 7).
4. Ikhlas, dinamis, dan kreatif
Ikhlas berarti semua langkahnya didorong oleh pengabdian, tidak hanya dipilih oleh rakyat akan tetapi lebih dari itu dia mengharaplakan ridha Allah swt. Dinamis dan kreatif artinya dia pandai menciptakan idea atau gagasan yang segar sesuai dengan kehendak zaman, tidak pasif dan bekerja penuh gairah.
5. Berani dan teguh pendirian
Dia berani mengemukakan pendapat, menyatakan persetujuan dan penolakan bila tidak setuju. Berani mengemukakan yang benar bila benar dan berani mengoreksi yang salah bila salah.
6. Merakyat, artinya dia dapat memahami dan bersikap tanggap terhadap kepentingan rakyat sehingga betul-betul dapat dipercaya menyuarakan kata hati rakyat.

D. PENGANGKATAN WAKIL RAKYAT
Kedudukan wakil rakyat sangat penting mengungat merekalah yang akan memberikan arah kepada pemerintahan. Mereka pada hakikatnya adalahsekelompok ahli pikir yang harus dapat menampung dan menyalurkan kehendak rakyat yang mereka wakili yang terdiri dari beraneka ragam, dan sudah barang tentu mempunyai selera yang berbeda-beda.
Berdasarkan persyaratan yang telah diuraikan diatas maka bagaimanapun wakil-wakil rakyat itu harus ada, sebab masalah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak tidak dapat diselesaikan oleh perorangan, melainkan mesti ada lembaga yang dapat menampung setiap idea dan menyalurkan melalui saluran yang berlaku setelah dipertimbangkan baik buruhnya untuk dilaksanakan atau tidak.
Pengangkatan wakil rakyat setelah dipenuhi syarat-syaratnya dilakukan oleh rakyat sendiri. Halini sesuai dengan asas musyawarah (demokrasi) dan sewajarnyalah yang mengangkat wakil rakyat itu adalah yang berkepentingan yaitu rakyat. Adapun teknis dan pengangkatannya tidak ada aturan yang pasti yang terdapat dalam syari’ah kecuali hanya prinsip yang tidak boleh ditinggalkan yaitu asas musyawarah. Kaum muslimin diberi keleluasaan dalam cara pengangkatan wakil rakyat ini karena yang demikian merupakan urusan dunia, di mana Islam memberikan keleluasaan atau menerahkan kepada umat Islam sendiri untuk mengatur urusan dunianya.
Sabda Rasulullah saw:


Artinya : “Kamu lebih mengetahui akan segala urusan duniamu”
(H.R. Muslim dari Anas dan A’isyah)
Pengangkatan wakil rakyat dengan melalui pemilihan umum sebagaiman berlaku di negara kita yang diatur oleh UUD 1945 pasal 2 dan 19 juga merupakan pencerminan asas demokrasi atau musyawarah. Selajutnya setiap TAP-MPR dan undang-undang produk DPR semuanya itu diputuskan atas dasar musyawarah wakil-wakil rakyat. Hal yuang demikian sejalan dengan asas musyawarah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw yang pertimbangannya sesuai dengan kondisi, situasi yang ada di negara kita.

E. KEWAJIBAN WAKIL RAKYAT

Firman Allah swt:



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu” (Annisa : 59)
Menurut Ahli tafsir Al Imam Muhammad Fakhrudin Ar Razi Dalam kitabnya Mafatihul Ghaib, beliau menafsirkan ulil amri pada satu tempat dengan ahlul halli wal aqdi yaitu alim ulama, cerdik pandai dan pemimpin-pemimpin yang ditaati oleh rakyat. Di tempat yang lain beliau tafsirkan dengan ahli ijma yaitu ahli-ahli yang berhak memberi putusan. Yang di maksud dengan kedua tafsiran tersebut kiranya tepatlah kalau kita simpulkan bahwa mereka adalah wakil-wakil rakyat.
Sesuai dengan fungsinya maka tugas dan kewajiban wakil rakyat adalah:
1. Mengangkat dan memberhentikan khalifah (kepala negara). Sepakat para ulama bahwa memilih atau mengangkat khalifah hukumnya fardu kifayah atas ahlul walli wal aqdi. Yang menjadi persoalan di antara mereka ialah siapakan ahlul halli wal aqdi itu dan apakah semua mereka ikut memilih atau cukup sebagainya saja.
Mengenai pemberhentian khalifah dilakukan manakala diperlukan. Khalifah diangkat oleh rakyat yang diwakili oleh wakil rakyat, maka apabila dipandang perlu dapat saja wakil rakyat memberhentikan khalifah karena memang hak mereka. Pemberhentian khalifah dilakukan misalnya kalau dia kelihatan tidak dapat lagi dipercaya memegang jabatannya, karena perbuatannya sudah banyak menyimpang dari ketentuan syari’ah. Sebab lain adalah kondisi pada waktu itu menuntut agar khalifah berhenti. Misalnya tatkala terjadi peperangan antara Ali Bin Abi Thalib dan Mua’wiyah dan Abu Sufyan yang diakhiri dengan perdamaian di Daumatul Jendal. Pada saat itu kesepakatan antara wakil pihak Ali yaitu Abu Musa al Asy’ari menyatakan bahwa demi kesatuan dan keutuhan umat Islam untuk sementara Ali Bin Abi Thalib turun dari jabatan khalifah. Sesudah itu baru jabatan khalifah diserahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin baik dari Bani Hasyim maupun Bani Umayyah. Walaupun pada akhirnya kelompok Bani Umayah mengangkat Mua’wiyah menjadi khalifah. Pihak Bani Hasyim (Ali dan pasukannya) tidak dapat berbuat apa-apa. Namun tatkala Ali wafat karena dibunuh oleh salah seorang dari kaum khawarij, mereka mengangkat Hasan bin Ali menjadi khalifah. Pada akhirnya Hasan bin Ali menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah dan mulailah masa pemerintahan Bani Umayah.
2. Permusyawaratan dengan khalifah.
Wakil-wakil rakyat tugas pokoknya adalah mengemban amanat seluruh rakyat, menghasilkan beberapa aspek positif yang bermanfaat bagi penguasa dan rakyat itu sendiri.
Dari satu sisi wakil rakyat adalah penjelmaan seluruh rakyat, yang tentunya segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan rakyat, merekalah yang memperjuangkannya. Dari sisi lain dia menduduki fungsi sebagai jembatan antara penguasa dan rakyat, dengan merekalah penguasa dapat berhubungan langsung untuk bagaimana seharusnya dan bagaimana sebaiknya mengatur rakyat demi kelangsungan hidup bernegara yang aman, damai, adil dan sejahtera. Tentunya untuk mencapai hal yang demikian yang dalam istilah yang popular disebut dengan baldatun thayyibatun wa rabbun gafur (negara yang adil makmur dibawah ampunan Tuhan) tidak sedikit yang harus dilakukan atau dipecahkan dan dirumuskan. Oleh karena itulah tugas wakil rakyat adalah memusyawarahkan hal – ihwal kenegaraan dengan berpedoman kepada syariat yang telah disampaikan Allah swt. Dengan perantara RasulNya Nabi Muhammad saw.
Firman Allah swt



Artinya: “Dan bagi orang-orang yang menerima( mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka”. (Asy-Syura :38)
Dari ayat ini dapat kita petik tiga pokok masalah yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan di dunia ini. Tiga masalah itu ialah Ibadah, musyawarat dan mencari rezki dan menafkahkannya.
3. Bersama khalifah membuat undang-undang. Undang-undang ini menyangkut lebih mantap berlakunya hokum Allah, yang berisikan amar ma’ruf dan nahi munkar bagi semua pihak dan menitik beratkan kepada maslahat umat.
4. Menetapkan anggaran belanja dengan lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Sebagai bahan pertimbangan rancangan anggaran belanja itu diajukan oleh khalifah.
5. Mengolah data-data, baik dari petugas yang khusus menangani pengawasan jalannya pemerintahan atau langsung dari rakyat sendiri. Setiap kasus dan keluhan rakyat banyak harus segera ditanggapi dan ditangani secara tuntas.
6. Merumuskan gagasan yang dapat mempercepat tercapainya tujuan bernegara sambil menjalankan fungsi sosial control terhadap penguasa. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan sampai seberapa jauh khalifah dapat mentaati dan melaksanakan peraturan yang ada.
7. Menetapkan/merumuskan garis-garis besar program yang akan dilaksanakan khalifah. Tahapannya disesuaikan dengan kebutuhan.
8. Hadir pada setiap saat dilaksanakannya sidang Majlis Syura.
9. Turun kedaerah-daerah untuk meninjau melaksanakan program pemerintahdan mendapatkan data-data kehidupan yang sebenarnya pada rakyat banyak.

Tugas dan kewajiban wakil rakyat pada dasarnya adalah sebagai penjabaran dari tugas pokok kehidupan kaum muslimin dimana kita harus membina hubungan yang harmonis baik antara manusia dengan Tuhan Pencipta seluruh alam ataupun hubungan antara sesama umat manusia khususnya sesama umat Islam. Dua hubungan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah hablun minallah dan hablun mina nas.

F. HAL-HAL YANG DIMUSYAWARATKAN
Seperti telah dikemukakan pada awal pembahasan bahwa materi yang dimusyawaratkan oleh ahlul halil wal aqdi adalah segala urusan yang memerlukan pemecahan, baik yang sifatnya hanya teknis pelaksanaan ataupun masalah baru yang perlu mendapat ketetapan hukumnya. Secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Maslah yang sudah ada kepastian hukumnya, baik dari nas atau ijma. Akan tetapi pelaksanaannya belum diatur atau dirumuskan.
a. Pengorganisasian amil zakat.
b. Zakat dan puasa dia daerah kutub.
c. Perjalanan menunaikan ibadah haji.
2. Masalah yang belum ada kepastian hukumnya baik dari nash atau ijma.
a. Tranfusi darah.
b. Keluarga Berencana
c. Bank dan Asuransi.
Masalah-masalah seperti itulah yang menjadi materi musyawarah pada majlis Syura yang dihadiri oleh ahlul hali wal aqdi. Masalah tersebut biasanya yang terbanyak adalah masalah dalam bidang muamalat. Karena bidang inilah yang menyangkut urusan keduniaan yang selalu menjadi perhatian manusia sebab masalah inilah yang mengatur hubungan manusia dan manusia.
Bertitik tolak dari masalah muamalah ini maka ahlul hali wal aqdi sebagai wakil rakyat selanjutnya memusyawarahkan perumusan tentang hal-hal sebagai berikut :
1. Rencana program yaitu garis besar apa yang diharapkan dicapai oleh khalifah dalam jangka waktu tertentu.
2. Rencana anggaran belanja negara tiap tahun.
3. Keadaan darurat, misalnya menetapkan keadaan perang, perjanjian dengan negara lain dan sebagainya.
4. Rancangan undang-undang yang diajukan oleh khalifah.
5. Apabila terjadi perselisihan dalam satu persoalan, majlis mengadakan sidang istimewa.
6. Perombakan dan pembaharuan dalam bidang hokum, dimana terdapat hal-hal yang kurang selaras dengan nas.
7. Penilaian/evaluasi terhadap laporan khalifah.
8. pemilihan atau penetapan kembali khalifah.
9. penentuan politik luar negeri.

G. HIKMAH BERMUSYAWARAT
Musyawarah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena dengan musyawarah segala persoalan dapat diselesaikan dengan baik. Diantara hikmah musyawarah adalah :
3. Dapat melaksanakan perintah Allah dalam hal musyawarah dan mencontoh perbuatan Rosulullah dalam musyawarah.
4. Menghindari perselisihan.
5. Melahirkan rasa tanggung jawab bersama.
6. Dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik dan bijaksana.
7. Mengikat rasa persatuan dan mendekati keadilan.
8. Mengurangi penyelewengan kekuasaan dan wewenang.
9. Menjadi arena pendidikan politik bagi rakyat.
10. Menyadarkan manusia akan kelebihan dan kekurangan dirinya.

H. HAK DAN KEWAJIBAN RAKYAT
Disamping unsur wilayah , didalam suatu negara terdapat unsur pemerintah atau penguasa dan rakyat. Pemerintah (Khalifah atau kepala negara dan Seluruh Aparatur pemerintahan) dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban, yang harus dipenuhi dan dilaksanakan sebaik-baiknya agar pemerintahan berjalan dengan lancar dan rakyat merasa aman, tenteram dan hak-haknya terlindungi.
11. Hak-hak rakyat.
Rakyat sesuatu negara mempunyai berbagai macam hak. Di samping itu rakyat mempunyai kewajiban-kewajiban, baik sebagai warga negara maupun sebagai anggota masyarakat.
Hak-hak rakyat itu pada dasarnya sama dengan hak asasi manusia yang harus dioenuhi dan dilindungi oleh negara, misalnya hak untuk hidup dengan aman, hak kemerdekaan, hak mengeluarkan pendapat, hak mendapatkan jaminan hokum, hak memperoleh pendidikan dan sebagainya.
Khalifah atau kepala negara bersama seluruh aparatur pemerintahan harus melaksanakan dan melindungi hak-hak asasi itu. Di bawah ini dikemukakan beberpa hak rakyat yang bersifat mendasar atau asasi.
a. Hak Hidup dan Jaminan Keamanan.
Hak hidup adalah dsuatu yang mulia bagi manusia yang harus dipertahankannya, oleh karena itu manusia mempunyai hak penuh untuk mempertahankan hak hidupnya. Manusia hidup di alam ini adalah anugrah dari Allah SWT. Dan dialah yang mempunyai hak penuh dalam memberikan kehidupan manusia.
Dengan demikian tak ada seorangpun yang yang berhak mengganggu dan memotong hidup manusia kecuali Allah SWT. Hak hidup manusia sebagi pemberian Allah
Firman Allah :




Artinya : Katakanlah: “ Allah-lah yang yang menghidupkan kamu dan mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya ;kan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (AL-Jatsiah: 26)
Firman Allah :
Artinya : Sesungguhnya kami menghidupkan dan mematikan dan hanya mematikan kepada Kami-lah tempat kembali (semua makhluk). (Qaaf : 43)
Demikianlah Allah menegaskan dalan firmannya, semata-mata yang berhak menghidupkan dan mematikan hanya Allah Swt. Selama hal ini tidak terdapat benturan dengan hal lain yang menuntut manusia agar hak hidupnya dicabut melalui tangan manusia, contohnya pelaksanaan hukum kishash.
Kalau kita lihat dalam pelaksanaannya, memang manusia yang melakukannya, akan tetapi dalam kasus semacam ini bukan manusia melanggar atau mengambil hak Allah, melainkan Allah SWT itu sendiri telah memberikan legalitas kepada manusia atau kepada praktisi keadilan untuk menggunakan hakNya karena manusia telah terhukum karena melanggar ketentuan-ketentuan Allah.
Jadi pelaksanaan hukuman mati merupakan akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
Firman Allah SWT:



Artinya : Hai ornag-ornag yang beriman, diwajibkan atas kamu kishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka. Hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah : 178).
Ayat ini merupakan legalitas Allah terhadap manusia supaya menggunakan haknya apabila ada kasus pembunuhan terhadap manusia tanpa hak.
Malah Allah lebih jauh menegaskan dalam firmanNya :



Artinya: Dan dalam kisas itu ada (jamninan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah : 179)
Jadi kalau demikian, jelas bahwa kisas itu bukan berarti memotong hidup manusia dengan begitu saja, tapi justru dibalik itu merupakan perlindungan hak hidup bagi manusia, sebab kalau tidak demikian maka manusia tidak segan-segan membunuh manusia lain tanpa hak dan kesalahan yang mengakibatkan jiwa dan hak hidup manusia terancam. Dari hukum kisas inilah tampak jelas mementingkan hak hidup manusia.
b. Hak mengemukakan pendapat.
Manusia mempunyai kebebasan dalam berpendapat, dimana kebebasan berpendapat ini didasarkan atas kejadian manusia itu sendiri, karena Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan akasl fikiran, dengan demikian maka manusia adalah makhluk yang berfikir.
Firman Allah:
Artinya:



…Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (al-Baqarah : 269).
Firman Allah :



Artinya : Berkata dia (Balqis) : “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majlis(ku)”. (An-Naml: 32).
Kemerdekaan memberikan pendapat kepada penguasa negara yang berguna untuk kemaslahatan umum secara Islam. Ini merupakan hak bagi setiap warga negara, jadi setiap penduduk dapat mengemukakan pendapatnya mengenai tindak-tanduk penguasa negara, hal semacam ini pernah dilakukan dalam pemerintahan Abu Bakar Shiddiq RA.
Abu Bakar R.A. dalam pidato kenegaraannya berkata: “Jikalau kamu melihat aku benar, berilah dukungan padaku, tetapi jika aku bersalah, maka wajiblah kamu betulkan kesalahanku itu”.
Islam menjunjung tinggi hak berpendapat. Dengan adanya manusia yang berbeda-beda kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman, menyebabkan perbedaan pendapat. Ini adalah suatu realita yang telah ditetapkan Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Hud ayat 118 sebagai berikut :



Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (Hud :118)
Islam menjamin adanya kemerdekaan berpendapat bagi ummat dengan jalan yang dapat mengekalkan arti kemerdekaan yang mulia. Islam juga menjaga berdiri teggaknya negara di dalam menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap bangsa dengan kebijaksanaan.Dengan demikian sebagai orang yang beriman dan mempunyai standar nilai kebenaran berdasarkan agama Al-Quran dan hadis dan norma social lainnya seperti Undang-Undang Negara, maka kita harus senantiasa mematuhi terhadap norma-norma tersebut, yang bertentangan dengan peraturan-peraturan agama dan negara.

c. Hak mendapat Keadilan
Seluruh rakyat berhak atas keadilan dan kesamaan pandangan dihadapan hokum dan pemerintahan.
Firman Allah :



Artinya : …. Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (An-nisa :58)
Ayat ini menunjukan persamaan hak terhadap manusia dalam mendapat keadilan, dan ini adalah salahsatu ajaran pokok dalam hokum Islam, karena pada dasarnya manusia mempunyai martabat yang sama, oleh karena itu azas legalitas dalam penerapan hukum dan pelaksanaannya perlu ditegakkan.
Menurut Allah, criteria yang membedakan rendah dan tingginya martabat manusia adalah mengenai ketakwaannya kepada Allah.
Firman Allah SWT.
Artinya :
…Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu … (Al-Hujurat : 13).
d. Hak Kebebasan Beragama
Sesuatu yang amat penting mengenai kemerdekaan manusia, ialah kemerdekaan seseorang dalam memeluk agama yang diyakininya. Agama merupakan agama yang bersemayam dalam hati dan diterima oleh akal atau yang seharusnya diterima oleh pikiran dengan penuh kerelaan dan keyakinan.
Kebebasan beragama erat hubungannya dengan hak berpendapat, karena sama-sama dalam kebebasan berfikir untuk menentukan sikap. Kebebasan beragama ini sangat gamblang ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Firman Allah SWT.



Artinya : Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Yunus: 99)
Firman Allah SWT.



Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Al-Baqarah: 256)
Allah mengemukakan suatu dasar sebagai berikut :
Artinya : Sesungguhnya agama( yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. (Ali-Imran : 19)
Firman Allah SWT.



Artinya : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi (Ali Imran 85).
Tegas sekali pernyataan Allah, bahwa memeluk agama Islam adalah wajib dan agama selain Islam tidak diakui oleh Allah SWT.
Walaupun demikian, karena agama adalah menyangkut soal iman, dan iman adalah soal petunjuk Tuhan, maka memeluk sesuatu agama harus berdasarkan sukarela dan karena kesadarannya.

12.Kewajiban Rakyat
Rakyat mempunyai kewajiban-kewajiban diantaranya:
a. Mematuhi khalifah yang sah
Setelah rakyat memilih dan membaiat Khalifah, baik secara langsung atau melalui wakil-wkilnya (Ahlul Halli Wal Aqdi), maka yang memilih seluruh rakyat wajib mentaatinya, tunduk dan patuh menjalankan peraturan yang ditetapkan Khalifah, selama peraturan-peraturan yang di jalankannya itu tidak bertentangan dengan hokum Allah, dan Rasul-Nya. Rakyatpun wajib mentaati Umara atu wali-wali negeri yang ditunjuk atau diangkat oleh khalifah.
Firman Allh SWT.








Artinya : Hai orang-ornag yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlha ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian ini lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa : 59).
b. Menyintai Tanah air dan dan mempertahankannya dari gangguan musuh
Di dalam suatu hadits disebutkan bahwa “cinta tanah air adlah sebagian dari iman”
Karena itu seluruh rakyat harus menyintai negaranya dan kewajiban mempertahankannya dari setiap gangguan musuh. Kaum muslimin yang menjadi rakyat suatu negara diizinkan melawan setiap gangguan atau ancaman.
Firman Allah SWT :
Artinya :
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) ornag-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata : “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan Masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Al-Haj : 39-40).
Firman Allah SWT.




Artinya : Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti dari (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah : 1903).
c. Wajib memelihara persatuan
Masyarakat dan negara akan utuh dan kuat jika rakyatnya bersatu padu. Karena itu, memelihara persatuan merupakan sebagian dari kewajiban rakyat. Allah melarang bercerai-berai.
Firman Allah SWT.
Artinya :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara kamu karena ni’mat Allah oarnag-ornag yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang meeka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petuj\njuk. (Ali-Imran : 103).

d. Hak dan kewajiban rakyat di tiap negara.
Tiap negara, termasuk Indonesia, merinci dan mengatur pelaksanan hak dan kewajiban rakyatnya di dalam Undang-undang Dasar dan Peraturan perundang-undangan lainnya.
Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD-1945 telah menentukan hak dan kewajiban rakyat Indonesia di dalam berabgai peraturan perundang-undangan di bawah UUD-1945.
Beberapa contoh hak rakyat yang disebutkan di dalam UUD-1945 :
1. Hak mendapatkan lapangan penghidupan (ps. 27 ayat 2).
2. Hak mendapatkan jaminan hokum (ps. 27 ayat 2).
3. Hak mendapatkan pendidikan (ps. 31).
4. Hak mengeluarkan pendapat (ps. 28).
Di antara contoh kewajiban rakyat yang disebutkan dalam UUD-1945 ialah kewajiban membela negara (ps. 30 ayat 1).


I. Pandangan Islam terhadap Agama Lain
Islam adalah agama yang diturunkan kepada Rasul terakhir. Ini berarti bahwa tidak ada agama lain yang akan diturunkan sesudah Islam. Oleh karena menjadi agama terakhir, peraturan yang lama terakhir maka seharusnya semua umat manusia memeluk agama ini, karena dengan datangnya peraturan terakhir, peraturan yang lam berakhir pula dan berganti dengan yang baru, yakni Islam. Agama Islam adalah agama penasikh, sedangkan agama-agama sebelumnya menjadi Mansukh.
Jadi, sejak diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir, maka hanya Islamlah agama yang benar dan diridhai Allah dan manusia tidak boleh mengingkarinya.
Firman Allah :





Artinya : Sesungguhnya agama( yang diridhai) Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Ali-Imran : 19).
Islam menyeru semua umat manusia, termasuk Ahlul kitab untuk beriman kepada dan menyembah hanya Allah. Dengan beriman kepada Allah berarti berpegang kepada tali (agama) yang kokoh kuat.
Firman Allah SWT :








Artinya : Katkanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : Saksikanlah, bahwa kami adalah orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).(Ali-Imran : 64).
Firman Allah :




Artinya :
…Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telaj berpegang kepada buhul tali yang sangat kuatyang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah :256).
Allah menegaskan :



Artinya : Barangsiapa mencari agama selain gama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia diakhirat termasuk ornag-orang yang rugi. (Ali-Imran : 85).

J. Pandangan Agama Islam terhadap Pemeluk Agama Lain
Agama Islam memandang pemeluk agama lain terbagi kepada 4 golongan, yaitu :
1. Golongan “Ahli Zimmah”, yaitu ornag-orang yang mendapat jaminan Tuhan dalam hak dan hukum negara. Terhadap golongan ini berlaku hukum dan hak yang sama dengan kaum Muslimin. Hak-haknya tidak boleh dilanggar atau dikurangi baik mengenai politik, ekonomi, ketentaraan (mereka berhak memanggul senjata), pengajaran, pendidikan dan lain-lain hak yang bersangkutan dengan hak kenegaraan. Mereka mempunyai hak penuh sebagai yang dimiliki kaum muslimin. Adapun mengenai Ibadat diserahkan kepada mereka sendiri mereka berhak beramal dan belajar menurut agama dan keyakinan mereka sendiri, sekali-kali tidak boleh diganggu atau dikurangi. Dalam soal kehidupan dan kenegaraan hak dan kewajibannya hampir sama, tetapi dalam segi agam tetap berbeda, tergantung kepada pendirian masing-masing. Firman Allha:
Artinya : Untukmulah agamamu, dan untukulah agamaku. (Al-Kafirun : 6).
2. Golongan “Musta’man” yaitu pemeluk agam lain yang minta perlindungan keselamatan dan keamanan terhadap diri dan hartanya. Kepada golongan ini tidak dilakukan hak dan hukum negara; diri dan harta mereka wajib dilindungi dari segala yang membahayakan selama mereka berada dalam prlindungan kita.
3. Golongan “Mu’ahadah”. Yaitu perjanjian damai dan persahabatan antara negara Islam dengan negara lain yang bukan negara Islam, baik disertai pula dengan perjanjian kan tolong menolong, bela-membela atau tidak.
Firman Allah :






Artinya : Kecuali orang –orang yang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka ) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian) mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhny Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (At-Taubat : 4)
Terhadap tiga golongan tersebut tidak boleh di musuhi bahkan harus diperlakukan sebagai sahabat karib.
4. Golongan “Harbi” atau musuh. Yaitu pemeluk agama lain yang mengganggu keamanan dan ketenteraman, bersifat zalim atau melakukan penganiayaan, suka menghasut, membuat fitnahmengacau dan memaksa-maksa ornag meninggalkan agamanya atau tidak mengamalkannya. Terhadap golongan ini Islam menganggap musuh, kita diizinkan melawan, mengangkat senjata, mengumumkan perang kepada mereka selama perbuatan mereka yang keji itu masih mereka lakukan, sehingga tercapai keamanan dan kesentausaan bagi setiap pemeluk agama Allah dan sampai dapat tegak berdiri tidak diganggu dan difitnah lagi oleh pengacau dan perusak itu.
Ayat yang menjadi pedoman dalam mengambil sikap atau tindkan terhadap mereka, antara lain :















Artinya : Dan perangilah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-ornag yang melampaui batas.
Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah meeka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan jangnlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hany untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti ( dari memusuhi kamu ), maka tidak ada permusuhan (Lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah : 190-193).

K. Ciri Masyarakat Islam Indonesia
Bangsa Indonesia dengan gembira, senang hati dan penuh keyakinan memeluk agama iSlam yang disebarkan antara lain oleh Saudagar-saudagar dari Timur Tengah dan para Wali. Dengan cepat Islam tersebar diseluruh penjuru tanah air. Kini Ummat Islam di Indonesia mencapai hampir 90 % dari jumlah 145 juta lebih rakyat Indonesia.
Di tiap daerah atau wilayah penduduknya sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Masyarakat Indonesia pada umumnya ialah masyrakat Islam. Hanya beberapa daerah saja yang sebagian besar penduduknya sebagian besar beragama lain, seperti Bali, Irian Jaya dan Timor Timur.
Umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia, melaksanakan ajaran agamanya, baik yang bertalian dengan akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalat. Suasana kemasyarakatan ditandai dan diisi oleh umat Islam melalui pelaksanaan ajaran agamanya ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Tua muda, besar kecil, pria wanita , aktif melaksanakan berbagai syariat Islam.
Masyarakat Islam Indonesia itu diwarnai oleh ajaran Islam yang dalam praktek pelaksanaannya tidak lepasa dari watak (mentalitet) dan kebudayaan bangsa Indonesia yang mempunyai perbedaan-perbedaan dengan watak dan kebudayaan bangsa lain.
Ciri-ciri masyarakat Islam Indonesia sebagai realisasi dari ajaran Islam dan dalam pelaksanaannya dipengaruhi oleh watak dan kebudayaan bangsa Indonesia itu, dapat dikemukakan beberapa contohsebagi berikut :
1. Cinta Damai dan Toleransi
Sejak dari permulaannya, Islam tersebar luas dipersada bumi Indpnesia dengan aman dan dmai. Para pembawa dan penyebar Islam, menyebarkan ajaran Islam secara damai dan kekeluargaan, jauh sama sekali ari sifat paksaan. Bangsa Indonesia menerimanya dengan senng hati dan penuh kerelaan. Demikian seterusnya, tersebar luasnya agama Islam di seluruh pelosok Tanah Air Indonesia berjalan dengan tenang dan damai, karena Islam memang cinta damai dan bangsa Indonesia sendiri senang terhadap suasana damai.
Umat Islam menjalankan agamanya ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang terdiri ari bebrapa golongan pemeluk agama. Terhadap pemeluk agama lain (Kristen, Katolik,, Kristen Protestan, Hindu dan Budha) ummat Islam bersiakap toleran, artinya membiarkan dan menghormati serta tidak mengganggu pemeluk agama lain dalam menjalankan ajaran agamanya. Toleransi bukanlah menganggap sama atau mencampuradukan ajaran agama, tetapi bersikap saling menghormati diantara para pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Ummat Islam menyadari bahwa didalam beragama tidak boleh ada paksaan.
Firman Allah :



Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (Al-Baqarah: 256).
Firman Allah:



Artinya : Untukmulah agamamu, dan untukulah agamaku. (Al-Kafirun : 6).
2. Senang membangun dan bergotong royong
Diantara bukti bahwa umat Islam Indonesia senang melakukan pembangunan dan sekaligus bergotong – royong ialah banyaknya bangunan-bangunan mushalla, mesjid, madrasah dan pesantren. Disamping banguna-bangunan yang bertalian dengan ibadah dan pendidikan itu, ummat Islam melakykan pekerjaan untuk mewujudkan kepentingan umum, sepeti pembuatan balai pertemuan, jalan, jembatan, saluran air dan sebagainya. Tak sedikit pula yang mewakafkan tanah atau bangunan untuk berbagai keprluan, seperti tempat beribadat shalat, pendidikan dan lain-lain.
Kaum muslimin Indonesia melakukan hal itu karena dorongan agamanya dan memang bangsa Indonesia senang kerja bergotong royong. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan Firman Allah:




Artinya : …Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat beratsiksa-Nya. (Al-Maidah :2).
Firman Allah :





Artinya : Dan bagi tiap-tiap umat dan kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah : 148).

3. Senang mempelajari agamanya
Dari dulu sampai sekarang dan masa yang akan datang, kaum muslimin Indonesia pada umumnya senang mempelajari ajaran agamanya. Anak-anak dan remaja belajar agama dan Al-Qur’an, disurau-surau, madrasah, pesantren dan lain-lain tempat pendidikan. Orang tua mengikuti uraian-uraian agama, melalui pengajian-pengajian, siaran radio, televisi, kaset dan sebagainya. Kaum intelektual memahami dan mendalami Islam melalui buku-buku, diskusi dan lain-lain.
Masyarakat Indonesia ditandai dengan kesenangan kaum muslimin mempelajari agamanya., disamping ilmu-ilmu yang lain.
Perhatian dan kesenangan kaum muslimin dalam mempelajari ajaran agamanya itu perlu dikembangkan terus –menerus, agar mereka tetap kuat berpegang kepada agamanya dan dapat mengimbangi cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan umum dan teknologi dimana kaum muslimin banyak ketinggalan. Ketinggalan dalam nidang ini perlu diimbangi kemajuan dibidang lain, yakni bidang pemahaman dan pendalaman ajaran agama, disamping harus berusaha mengejar yang ketinggalan.
Allah dan Rasul-Nya menyuruh kaum Muslimin untuk mencari dan menambah ilmu, baik ilmu keakhuratan atau ilmu keduniaan.
Di dalam Al-Qur’an antara lain disebutkan :





Artinya : Hai orang –orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapanagan untukmu. Dan apabila dikatakan : Berdirilah kamu, mak berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara mu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjkakan? (Al-Mujadalah : 11).
Firman Allah :


Artinya :
…Katakanlah :”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui? “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar “ 9).
Firman Allah :





Artinya :
Dan kami mengutus sebelum kamu, kecuali orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang memepunayi pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl : 43)
Rasulullah bersabda :



Artinya :
Mencari ilmu adalah kewajiban orang-orang Islam. (Dari Ibnu Abdil Bar).
4. Kuat bertauhid, cinta tanah air, tenggang rasa, dan lain-lain
Disamping cirri-ciri masyarakat Islam Indonesia yang baik itu adapula segi-segi kelemahannya, misalnya :
Sarana pendidikan dilingkungan masyarakat Islam kurang memadai. Hal ini disebabkan karena kelemahan dalam koordinasi dan penggalian dana.
Di lingkungan ummat Islam masih sering ditonjolkan perbedaan paham keagamaan dalam segi-segi furu’iyah, yang kadang-kadang mengganggu kesatuan dan persatuan umat Islam setempat.









BAB III
PERADILAN (QADA)

A. ARTI, FUNGSI DAN HIKMAH PERADILAN
1. Pengertian Peradilan
Kata peradilan merupakan terjemahan dari kata qada yang artinya selesai atau ketetapan. Peradilan menurut istilah ialah suatu lembaga pemerintah/negara yang ditugaskan untuk menyelesaikan/menetapkan keputusan atas setiap perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku. Sedangkan pengertian pengadilan ialah tempat mengadili suatu perkara dan orang yang bertugas mengadili suatu perkara disebut Qadi atau Hakim. Dengan demikian kalau peradilan Islam maka yang dijadikan dasar adalah Hukum Islam.
2. Fungsi Peradilan
Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelasaikan dan memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Peradilan Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat dngan tetap tegaknya hukum Islam. Karena itu peradilan Islam mempunyai tugas pokok :
a. Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
b. Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para pelaku perbuatan yang melanggar hukum.

3. Hikmah Peradilan
Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan adanya peradilan akan diperoleh himak yang besar bagi kehidupan umet, yaitu :
Terwujudnya suatu masyarakat yang bersih, karena hak setiap orang terutama hak asasinya dapat dilindungi dan dipenuhi sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi saw :




Artinya : Dari Jabir katanya : Saya dengar Rasulullah saw bersabda : Tidak (dinilai)bersih suatu masyarakat dimana hak orang yang lemah diambil oleh yang kuat (H.R. Ibnu Hiban)
Demikian pula pada pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :
1) Segala warga negara bersamaaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Aparatu pemerintah yang bersih dan berwibawa dapat terwujud di tengah-tengah mansayarakat yang bersih. Dengan demikian pada gilirannya negara akan semakin kuat sejalan dengan tegaknya hukum.
Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya hak-hak setiap rang dihargai dan tidak teraniaya.
Firman Allah dalam Al-Quran :

Artinya : Dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan adil (Q.S. An-Nisa : 58)
Dengan masyarakat yang bersih, pemerintah yang bersih dan berwibawa serta tegaknya keadilan, maka akan terwujud ketentraman, kedamaian dan keamanan dalam masyarakat.
Dapat mewujudkan suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, bagi semua pihak.
Firman Allah SWT :

Artinya : Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa (Q.S. Al-Maidah : 8).

B. HAKIM
1. Pengertian Hakim
Hakim ialah orang yang diangkat oleh pmerintah untuk untuk menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum suatu perkara dengan adil. Dengan kata lain hakim ialah orang yang bertugas untuk mengadili, ia sangat terhormat Selma ia berlaku adil. Dalam kaitan dengan kedudukan hakim ini Rasulullah pernah bersabda :


Artinya : Apabila seorang hakimduduk di tempatnya (seusai dengan kedudukan hakim adil), Maka dua malaikat membenarkan, menolong dan menunjukkannyaselama tidak serong (menyeleweng, apabila menyeleweng maka kedua malaikat meninggalkannya (H.R. Bihaqi)

2. Syarat-syarat Hakim
Sesuai dengan tugas yang diemban dan kedudukan seorang hakim yang amat mulia itu, maka syarat-syarat untuk menjadi hakim cukup berat. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut :
a. Beraga Islam untuk perkara yang berkait dengan hukum Islam tidak boleh menyerahkan suatu perkara kepada hakim yang memeluk agama lain
b. Sudah baligh atau dewasa sehingga sudah dapat membedakan anatara yang hak dan yang batil.
c. Berbadan sehat, tidak gila karena orang gila kata-katanya tidak dapat dipegang dan ia tidak dikenai hukum.
d. Orang yang merdeka, bukan hamba sahaya karena hamba sahaya tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya sendiri terlebih kekuasaan pada orang lain.
e. Bersikap dan bertindak adil, karena ia harus menegakan keadilan dan kebenaran.
f. Seorang laki-laki, bukan perempuan. Hal ini didasarkan kepada Firman Allah SWT :


Artinya : Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (Q.S. Annisa : 34)
Dan sabda Nabi saw :


Artinya : Suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka pada orang perempuan tidak akan bahagia (H.R. Bukhari)

g. Memahami hukum dalam Al-Qur’an.
h. Memahami hukum dalam hadist/sunah.
i. Memahami ijma ulama serta perbedaan-perbedaan tradisi umat.
j. Memahami bahasa Arab dengan baik.
k. Mampu dan menguasai metode ijtihad, sehingga ia tidak boleh taqlid.
Firman Allah SWT :


Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (Q.S. Alisra : 36)
l. Seorang hakim harus bisa mendenganr dengan baik, kalau tuli tidak dapat mengetahui dan membedakan antara yang menerima dan menolak.
m. Seorang hakim harus dapat melihat, kalau buta ia tidak dapat mengetahui dan mengenal penggugat.
n. Seorang hakim haris mengetahui tulisan, namun ada sebagian pendapat tidak perlu syarat ini karena hukum dapat diketahui tanpa mengerti tulisan.
o. Seorang hakim harus memiliki ingatan yang kuat dan dapat berbicara dengan jelas.
3. Macam-macam Hakim
Pengelompokan hakim yang terbagi atas tiga macam didasarkan kepada hadist Nabi saw sebagai berikut :





Artinya : Hakim ada tiga macam, satu di surga dan dua di negara. Hakim yang mengetahui kebenatran dan menghukum dengannya, maka ia masuk surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menghukum dengan menyelisihkannya, maka ia masuk neraka. Hakim yang menghukum dengan kebodohannya ia masuk neraka. (H. R. Abu Daud dan yang lain)
4. Tata Cara Pengadilan Menjatuhkan Hukumannya
Orang yang mendakwa diberikan kesempatan secukupnya untuk mencapaikan tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa atau tertuduh diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan semua tuduhan dengan sebaik-baiknya sehingga apabila telah selesai tuduhan, terdakwa dapat menilai benar atau salahnya tuduhan tersebut.
Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan, maka hakim tidak boleh bertanya kepada terdakwa, sebab dikhawatirkan akan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif pada terdakwa.
Setelah selesai pendakwa menyampaikan tuduhannya, hakim harus mengecek tuduhan-tuduhan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang dianggap penting. Selanjutnya tuduhan tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang benar dan kalau tidak terdapat bukti, maka hakim meminta agar pendakwa bersumpah, akan tetapi hakim tidak boleh memaksa pendakwa untuk bersumpak karena bersumpah adalah haknya.
Untuk menguatkan dakwaannya, pendakwa harus menunjukan bukti-bukti yang benar, dan apabila terdakwa menolak, maka ia harus besumpah bahwa tuduhan atau dakwah itu salah :
Sabda Nabi saw :

Artinya : Orang yang mendakwa harus menunjukkan bukti-bukti dan orang yang terdaqwa harus bersumpah. (H.R. Baihaqi)
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar, maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya jika tidak terdapat bukti-bukti yang benar, maka hakim harus menerima sumpah terdakwa sekaligus membenarkan terdakwa.
Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman (vonis) jika dalam keadaan :
a. Sedang Marah
b. Sedang sangat lapar
c. Sedang bersin
d. Sedang banyak berjaga (berdagang)
e. Sedang sedih
f. Sedang sangat gembira
g. Sedang sakit
h. Sedang sangat ngantuk
i. Sedang menolak keburukan
j. Sedang sangat panas atau sangat dingin
Dalam sepuluh keadaan tersebut kurang dapat melaksanakan ijtihad dengan sungguh-sungguh sehingga mungkin salah hakim tidak dapat menggunakan kemampuan akalnya yang maksimal dan demikian pula dengan keadilannya.
Sabda Nabi saw :

Artinya : Hakim itu tidaklah memutuskan antara dua orang, padahal ia sedangkan dalam keadaan marah. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Terhadap larangan dalam Hadits ini Ar-Rafii berpendapat makruh sedangkan Imam Mawardi berpendapat keputusan hakim dalam keadaan tersebut ditolak.
5. Adab/Kesopanan/Etik Hakim
Adab atau kesopanan atau etik hakim harus dimiliki oleh setiap hakim aadalah :
a. Melaksanakan tata tertib pengadilan antara lain :
1) Bertempat tinggal di kota (tempat) pemerintahan, sebab lebih cepat dapat bertindak dan mendekati keadilan.
2) Pada saat mengadili, hakim duduk di tempat terbuka yang dapat dilihat oleh semua pihak (penggugat, terdakwa, saksi dan pengunjung) agar tidak menimbulkan syakwasangka.
3) Sebaiknya tidak memutuskan perkara di masjid, karena di masjid tidak boleh bersuara keras, tidak semua orang boleh masuk dan lain-lain.
b. Memperlakukan orang –orang yang berselisih atau berperkara sama dalam tiga hal, yaitu : tempat duduk, kata-kata dan perhatian. Artinya setiap pihak diberi tempat duduk yang sama, bebas, dapat melihat dan tidak terasa tertekan, setiap pihak diberi kesempatan untuk mengungkpkan alasan dan pendapat dan setiap pihak diberi perhatian yang sama.

Firman Allah Swt :

Artinya : Jadilah kamu orang-orang yang benar penegak keadilan (Q.S. An-Nisa : 135)
c. Hakim tidak boleh menrima hadiah dari orang-orang yang sedang berperkara dalam bentuk apapun, karena akan dapat mempengaruhi rasa keadilan.
Sabda Rasulullah :

Artinya : Allah melaknat orang yang memberi suap dan diberi suap dalam hukum (H.R. Ahmad dan Tarmizi)
6. Kedudukan Hakim Wanita
Madzhab Maliki, Syafii dan Hambali tidak membolehkan mengangkat hakim wanita berdasarkan hadis Nabis Saw :

Artinya : Suatu Kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada orang perempuang tidak akan berbahagian. (H.R. Bukhari)
Sedangkan Imam Hanafimembolehkan mengangkat hakim wanita untuk menyelesaikan segala urusan kecuali had dan qisas. Bahkan Ibnu Jarir At Tabari membolehkan mengangkat hakim wanita dalam segala urusan seperti halnya hakim pria dengan alasan tidak ada larangan bagi wanita untuk memberi fatwa dalam hal apa saja termasuk tidak ada larangan menjadi hakim.
C. SAKSI
1. Pengertian Saksi
Saksi adalah orang yang diperlukan oleh pengadilan untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan suatu perkara demia tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam pengadilan dan saksi harus jujur dalam memberikan kesaksiannya, karena itu seorang saksi harus terpelihara dari pengaruh/tekanan dari luar maupun tekanan dari dalam sidang pengadilan.
Jadi saksi itu bisa membenarkan suatu peristiwa atau menyatakan bahwa suatu peristiwa tidak terjadi. Sehingga saksi yang dihadirkan bisa memberatkan kepada terdakwa atau meringankan. Akan tetapi kehadiran saksi ini untuk dapat memberikan kesaksian yang sebenarnya, sehingga para hakim dapat mengadili terdakwa sesuai dengan bukti-bukti yang ada, termasuk keterangan dari para saksi. Saksi juga merupakan salah satu alat bukti, disamping bukti-bukti yang lainnya.

2. Syarat-syarat Menjadi Saksi
a. Orang Islam.
b. Sudah baligh atau dewasa sehingga dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.
c. Berakal sehat, tidak gila sehingga dapat memberikan keterangan yang benar.
d. Orang yang merdeka, bukan hamba sahaya karena hamba sahaya tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya sendiri terlebih kekuasaan pada orang lain.
e. Saksi harus adil, sesuai dengan Firman Allah SWT :
Artinya : Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu (Q.S. At-Talaq)
Selain lima syarat tersebut untuk menjadi saksi yang adil ditambah dengan lima syarat lain yaitu:
a. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa bersar.
b. Menjauhkan diri dari kebiasaan berbuat dosa kecil.
c. Menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah.
d. Jujur pada saat marah.
e. Berakhlak luhhur.
Mengajukan kesaksian secara sukarela tanpa diminta oleh orang yang terlibat dalam suatu perkara merupakan akhlak terpuji dalam Islam. Kesaksian yang demikian adalah murni belum dipengaruhi persoalan lain.
Rasulullah saw bersabda:





Artinya : Bersedialah aku beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik saksi ialah orang yang menyampaikan kesaksian sebeleum diminta. (H.R. Muslim)

3. Saksi Yang Ditolak
Saksi yang tidak memberikan keterangan yang sebenarnya harus ditolak kesaksiannya. Saksi yang ditolak itu adalah:
a. Saksi yang tidak adil, saksi yang diketahui bahwa ia seorang yang fasik banyak melakukan maksiat harus ditolak, karena ia tidak akan memberikan keterangan yang sebenarnya bahkan ia akan memutar balikan fakta untuk memperoleh keuntungan pribadinya.
b. Saksi seorang musuh pada musuhnya, saksi ini tidak dapat memberikan keterangan yang jujur bahkan dapat memberatkan musuhnya.
Sabda Rasulullah saw:


Artinya : Tidak diterima kesaksian orang yang bermusuhan dan orang-orang yang berprasangka
c. Saksi seorang ayah (orang tua) kepada anaknya.
d. Saksi seorang anak kepada ayahnya, tidak dapat diterima karena keduanya memiliki hubungan kasih saying.
Sabda Nabi saw:



Artinya : Tidak sah kesaksian anak kepada ayangnya dan ayah kepada anaknya.
e. Demikian pula dengan orang yang menumpang dirumah terdakwa kesaksian tidak dapat diterima.
Sabda Rasulullah saw:



Artinya : Tidak ada persaksian buruh yang menumpang di rumah itu untuk ahli bait. (H. R. Ahmad dan Abu Daud)
4. Kesaksian Orang Buta
Kesaksian dapat diberikan dengan pendengaran dan penglihatan. Salah satu diantara keduanya yang dapat membawa dapat diterima. Kesaksian mengenai nasab, kematian dan hak milik yang mutlak dapat diperoleh melalui pendengaran. Karena itu kesaksian orang buta terhadap tiga hal tersebut dapat diterima.
Menurut sebagian pendapat, kesaksian orang buta tidak dapat mengingat berita yang didengar tidak selamanya benar. Sementara menurut Qadi Abu Tayib kesaksian orang buta dapat diterima apabila ia mendengar dari berbgai sumber.
Demikian pula kesaksian orang buta dalam hal terjemah/salinan dapat diterima karena yang ia dengar dapat disampaikan kepada hakim.
Kesaksian orang buta juga dapat diterima dalam hal-hal yang ia ketahui sebelum buta apabila ia faham tentang nama-namnya.
D. PENGGUGATAN DAN BUKTI (BAYYINAH)
1. Pengertian Penggugat dan Syarat-syaratnya
Materi yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak yang terlibat perkara dalam proe\ses peradilan dinamakan gugatan. Sedangkan penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan karena merasa dirugikan oleh pihak tergugat (orang yang digugat).
Penggugat dalam mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan kebenaran gugatannya harus dapat menunjukan bukti-bukti yang benar, saksi-saksi yang adil atau sumpah dari penggugat seperti : “Apabila gugatan saya ini tidak benar, maka laknat Allah atas diri saya”. Ketiga hal tersebut termasuk tiga syarat mengajukan gugatan.
2. Bukti (Bayyinah)
Barang bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukan oleh pengguat untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Barang bukti tersebut dapat berupa surat-suart resmi, dokumen dan barang barng lain yang dapat memperjelas masalah (dakwaan) terhadap terdakwa. Hadist yang menjerlaskan kekuatan barang bukti adalah :











Artinya: Dari Jabir bahwasannya ada dua orang yang bersengketa tentang seekor unta betina, tiap orang di antara mereka mengatakan diperanakan unta ini di sisi saya, dan keduannya mengadakan bukti, maka Rasulullah saw memutuskan unta itu menjadi hak orang yang unta itu ada di tangannya. (Al-Hadist)
3. Cara Memeriksa Terdakwa dan Terdakwa yang Tidak Hadir di Persidangan
Pemeriksaan terhadap terdakwa dimulai dengan memberika kesempatan kepada penggugat untuk menyampaikan semua tuduhan dan kepada terdakwa dipersilahkan untuk mendengarkan semua tuduhan dengan baik sampai selesai hingga terdakwa dapat menilai benar atau salahnya tuduhan tersebut.
Sebelum tuduhan selesai, hakim dilarang untu8k bertanya kepada terdakwa karena dikhawatirkan akan mempengaruhi terdakwa/penggugat, baik pengaruh itu positif atau negatif.
Pendakwa harus menunjukan bukti-bukti yang nyata dan benar untuk memperkuat dakwaannya dan apabila terdakwa menolak, maka terdakwa harus bersumpah bahwa tuduhan itu salah.
Kalau pendakwa menunjukan bukti-bukti yang nyata dan benar maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan, meskipun terdakwa menolaknya. Akan tetapi kalau tidak ada bukti yang benar, hakim harus menerima sumpah terdakwa dan membenarkan terdakwa.
Bagi terdakwa yang tidak hadir di persidangan perlu terlebih dahulu dicek kebenarannya. Dibolehkan untuk terdakwa mayat yang tidak ada ahli warisnya dan anak yang tidak ada walinya. Demikian pula dibolehkan untuk mendakwa orang yang tidak ada/tidak hadir (menurut Abu Hanifah). Firman Allah SWT :




Artinya : Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil. (Q. S. Shad : 26)
Nabi saw memberi keputusan terhadap pengaduan istri Abu Sufyan tentang Abu Sufyan (yang tidak hadir dan Nabi tidak memanggilnya) kemudian beliau bersabda :



Artinya : Ambilah yang mencukupimu. (H. R. Bukhari dan Muslim)

E. TERGUGAT DAN SUMPAH
1. Pengertian Tergugat
Orang yang terkena gugatan dari penggugat disebut tergugat. Tergugat dapat membela diri dengan membantah kebenaran guagatan dengan menunjukan bukti-bukti administrasi dan bahan-bahan yang meyakinkan, disamping melakukan sumpah. Sabda Nabi saw :


Arinya : Orang yang mendakwa (penggugat) harus menunjukan bukti dan orang yang terdakwa (tergugat) harus bersumpah (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jika tergugat tidak sanggup bersumpah maka penggugat yang bersumpah. Rasululloh saw pernah mengembalikan sumpah kepada penggugat dalam rangka mencari kebenaran (Riwayat Baihaqi dan Damquthi)
Dalam istilah peradilan Islam materi gugatan disebut hak penggugat disebut muda’a alaihi. Keputusan memenuhi hak penggugat disebutmahkum bihi, orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya disebut mahkum alaihi (Bisa jatuh pada tergugat bisa jatuh pada penggugat)
Pada umumnya yang menjadi material gugatan adalah hak manusia semata-mata. Penggugatnya disebut mahkum lah. Mahkum lah ini harus melakukan gugatan sendiri atau melalui orang lain yang diberi kuasa. Sedangkan kalau menyangkut hak Allah semata-mata yang menjadi mahkum lahnya adalah syara dan tuntunan atau guagatan adatang dari lembaga penuntut umum bukan perorangan.
2. Tujuan Sumpah dan Sumpah Guagatan
Dalam Syari’at Islam ada dua tujuan sumpah yaitu :
Menyatakan tekad untuk melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab terhadap tugas tersebut.
Membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa yang bersangkutan berada dipihak benar. Dan tujuan sumoah yang kedua inilsh yang dilakukan di pengadilan.
Sumpah tergugat adalah sumpah yang dilakukan oleh terguagat dalam rangka mempertahankan diri dari tuduhan penggugat disamping harus menunjukan bukti-bukti tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan.
3. Syarat-syarat Orang yang bersumpah
Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut ini :
Mukallaf artinya sudah balig atau dewasa dan berakal sehat.
Didorong oleh kemauan sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.
Disengaja bukan karena terlanjur atau lain sebagainya.

4. Lafal lafal Sumpah
Ada tiga kalimat yang diucapkan untuk bersumpah yaitu : Tallahi, Billahi, dan Billahi
Ketiganya ituditerjemahkan kedalam bahasa Indonesia Demi Allah. Sebagai contoh adalah sumpah yang pernah diucapkan Rasulullah saw sebagai berikut :

Artinya : Demi Allah sesungguhnya saya akan memerangi kami kaum Quraisy. Kalimat ini beliu ulangi tiga kali lagi (H.R. Abu Daud)

5. Pelanggaran Sumpah
Sumpah seseorang yang tidak ditepati disebut pelanggaran sumpah. Bagi orang yang melanggar sumpah diwajibakan membayar kafarat atau denda. Adapaun cara membayar kafarat sumpah dapat memilih salah satu dari tiga ketentuan berikut ini :
a. Memberikan makanan pokok kepada sepuluh orang miskin masing masing ¾ liter
b. Memberikan pakaian yang pantas kepada sepuluh orang miskin
c. Memerdekakan seorang hamba sahaya
Jika orang yang melaanggara sumpah masih juga tidak mampu membayar kafarat dengan salah satu cara diatas, maka ia diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran :




Artinya : Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu makan berikan kepada keluargamu, atau memberikam pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan demikian , maka kafaratlah puasa selama tiga hari (Q.S. Almaidah : 89)

BAB IV
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

F. DASAR HUKUM PERADILAN AGAMA
Sejak jaman VOC peradilana gama Islam sudah bertebaran di seluruh Nusantara Indonesia, kecuali daerah-daera h tertentu yang penduduknya bukan beraga islam.
Lembaga peradilanm Agama pada waktu itu diatur dengan berbagai peraturan yaitu adat dan swapraja, peraturan kesultanan atau raja,perutaran kekuasaan militer Belanda, Resinden, Wali negara, dan sebagainya.
Nama lembaga peradilan Agama pun pada waktu itu beraneka ragam anatar lain, Sidang Jum’at , Rapat Ulama, Rapat Agama, Mahkama Syari’ah, Raad Agma, Kerapatan Qadi Besar, dan sebagainya.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan Peradilan Agama Islam sebelum Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 adalah :
Peraturan tentang Peradilan agama di Jawa dan Madura (Staatblad Nomor 152 dan Statblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610)
Peraturan tentang kerapatan Qadi dan kerapatan Qadi Besar untuk subagian resinden Kalimantan Selatan dan timur. (Staatsblad 1937 Nomor 638 Dan Nomor 639)
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan pengadilan agama/ Mahkama Syar’iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 99)
Keragaman besar hukum Pengaturan Peradilan agama tersebut mengakibatkan beragamnya pada susunan, kekuasaan, dan hukum acara Peradilan Agama. Dalam rangka penerapan wawasan Nusanatara dibidang hukum, maka keragaman tersebut perlu segera diakhiri demi tersciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan agama dalam rangka system dan tata hukum social.
Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifatmendasar terhadap segala peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan peradilan Agama tersebut diatas dan menyesuaikan dengan Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang merupakan induk dan kerangka umumserta merupakan asas dan pedoman bagi semua lingkukan peradilan untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1989 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagian dasar hukum bagi peradilan Agama Islam di Indonesia.
Setelah diundangkannya Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum Acara pengadilan dan lingkungan Peradilan Agama, maka peraturan perundangan yang sebelumnya dinyatakan tidak belaku.
Hal tersebut dijelaskan dalan undang-undang nomor 7 tahun 1989 bab VII ketentuan Pasal 107 yaitu :
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka :
Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1982 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);
Peraturan tentang Kerapihan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaga Negara Tahun 1957 Nomor 99); dan
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.
G. FUNGSI PERADILAN AGAMA
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang.
Fungsi Peradilan Agama setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1989, dilaksanakan oleh Peradilan Agama sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.
Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, washiat, hibah, wakaf dan sodaqoh bersarakan hukum Islam. Bidang perkawinan yang dimaksud adalah hal-hal yang diatur UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain :
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bago orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluar dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan Perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. Penceraian karena talak;
9. Gugatan penceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Mengenai penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suami kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;’
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. Penepatan asal usul seorang anak;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain
Sedangkan bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Adapun Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding bertugas mengadili perkara yang menjadi kewenangannya, dalam tingkat banding dan juga berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili anatara Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan pasal 51 UUPA No. 7 Tahun 1989, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
BAB V
SUMBER HUKUM ISLAM













Artinya : Dari Mu’adz Bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus beliau ke Yaman bersabda : Bagaimana kamu memutuskan jika kepadamu dihadapkan suatu persoalan? Mu’adz menjawab : Aku akan memutuskan dengan Al-Quran? Jika tidak kamu dapatkan di dalam Al-Quran? Mu’adz menjawab dengan Sunnah Rasulullah. Nabi berkata : Jika tidak engkau dapatkan dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab Saya berijtihad dengan pikiran saya. Kemudian Rasulullah memukul dadanya dan berkata : Segala puji bagi Allah yang telah memberi bimbingan kepada utusan rasul-Nya dengan sikap yang disetujui Rasulnya. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa sumber hukum Islam itu pertama Al-Quran kedua As-Sunnah dan ketiga ijtihad Penggunaannya diprioritaskan yang pertama, kemudian yang kedua dan yang ketiga. Jika terjadi perbedaan satu sama lain, hendaklah Al-Quran menjadi pilihan utama, baru Sunnah Rasulullah.

A. SUMBER HUKUM
1. Al-Quran sebagai Sumber Hukum Islam Pertama
a. Pengertian Al-Quran
Al-Quran menurut bahasa berarti bacaan sedang menurut istilah yaitu :






Artinya : Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah.
Definisi di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa :
1. Apa-apa yang diwahyukan Allah dalam ma’nanya kemudian dipahami dalam bahasa Rasulullah, tidak dinamai Al-Quran.
2. Alih bahasa Al-Quran ke dalam bahasa selain bahasa Arab dengan maksud memudahkan pemahaman tidak pula disebut Al-Quran.
3. Wahyu Allah yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad SAW., seperti Taurat, Zabur dan Injil. Tidak dinamakan Al-Quran.
4. Syarat mutawatir mengecualikan kalam Allah yang sekalipun diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak diriwayatkan secara mutawatir. Misalnya hadits Qudsi dan bacaan Al-Quran yang syadz.
b. Pokok-pokok isi Al-Quran
1. Tauhid : yaitu kepercayaan akan kes\esaan Allah SWT dan semua kepecayaan yang berhubungan dengan-Nya.
Ibadah : yaitu perbuatan atau alamiah sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid yang menghidupkan tauhid
3. Janji dan ancaman janji pahala bagi siapa yang percaya, menerima dan mengamalkan isi al-Quran dan siksa ancaman bagi siapa yang mengingkarinya.
Firman Allah :










Artinya : (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungao-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya , dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa men durhakai Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan (An-Nisa : 13-14).








Artinya : Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempatm, tetap (penduduk) nya mengingkari ni’mat-ni’mat Allah : karena itu Allah meraskan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat. (An-Nahl : 112)









Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa si bumi, sebagaimana. Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum emreka berkuasa. Dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridloi-Nya untuk merekam dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) merka, seudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan susuatu apapun Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur : 55).

4. Qishash umat terdahulu, seperti para Nabi, Rasul maupun orang-orang saleh serta kisah umat yang mengingkari ajaran Allah untuk dijadikan suri tauladan.

c. Dasar kehujjhan Al-Quran dan kedudukannya sumber Hukum
Al-Quran menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum yang lain dan merupkan aturan dasar tertinggi. Semua hukum maupun sumber hukum yang ada tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan meninggalkan segala larangannya.
Firman Allah :







Artinya : Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kami mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang-orang yang khianat). (An-Nisa : 105)











Artinya : Dan Hendaklah kamu memutuskan perkara diantara kamu menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesunggahnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Al-Ma’idah : 49)




Artinya : Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. (Az-Zukhruf : 13)




Artinya : Dan Al-Quran itu adalah kitab yang kami turunkan yang diberkati, maika ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat. (Al-An’am : 155)

d. Pedoman Al-Quran dalam Menetapkan Hukum
Al-Quran diturunkan guna meningkatkan kehidupan kehidupan manusia. Upaya peningkatan kehidupan dan peningkatan apapun dalam kehidupan tidak dapat terpengaruhi melainkan setelah melalui tahapan-tahapan.
Pedoman Al-Quran dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan jasmani dan rohani manusia; manusia selalu berawal dari kelemahan dan ketidakmampuan. Untuk itu Al-Quran berpedoman kepada 3 hal.
1. Tidak memberatkan atau menyulitkan
Firman Allah SWT.

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Al-Baqoroh : 286).
Kesulitan-kesulitan itu dimungkinkan karena kondisi keadaan seseorang berada. Dalam ayat lain Allah berfirman :
Kedua ayat di atas menunjukkan, betapa Allah menyayangi manusia sebagai mukallaf, sehingga dalam melaksanakan hukum tidak dituntut pelaksanaan di luar kesanggupan.
2. Menyedikitkan beban
Dasar ini merupakan akibat yang pasti dari dsar yang pertama. Dengan dasar ini pula kita mengenal istilah rukhshoh dalam beberapa jenis Ibadah, seperti :
a) menjama’ dan mengqhasar shalat apabila dalam perjalanan dengan syarat yang telah ditentukan.
b) Tidak berpuasa dalam perjalanan
c) Bertayamum sebagai pengganti wudu
d) Memakan makanan yang haram atau memanfaatkannya jika keadaan menghendaki
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Al-Quran telah menetapkan hukum secara bertahap; haramnya meminum-minuman keras dan sejenisnya, berjudi serta perbuatan-perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam Al-Quran, dalam Al-Quran hanya menjelaskan meminum-minuman keras dan berjudi itu dosa besar tetapi masih tetap ada manfa’atnya, hanya saja dosanya lebih besar dari pada manfa’atnya.
Firman Allah SWT.









Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Al-Baqoroh : 219).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa dalam tahap awal meminum-minuman keras termasuk di dalamnya makanan yang memabukan yang dapat menghilangkan kesadaran manusia tidak dilarang. Tahap berikunya Allah menurunkan larangan meminum khamr sesaat sebelum shalat dilarang shalat dalam keadaan mabuk.
Firman Allah SWT











Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun (An-Nisa : 43).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa larangan mabuk itu sesaat sebelum dan dalam keadaan shalat, sedang diluar shalat tidak dilarang.
Tahap terakhir Allah menurunkan larangan tanpa kecuali. Haramnya khamar tanpa disertai kekecualian. Hal ini dilakukan setelah dipandang orang-orang banyak yang telah meninggal kebiasaan dan setelah dipandang vukup peringatan dengan dua tahap di atas.
Firman Allah SWT








Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Al-Maidah : 90).
Contoh lain adalah tentang ketegasan berperang serta ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perang.
Pada tahap awal berperang baru berupa “diizinkan” apabila jelas-jelas orang Islam telah diperang.
Firman Allah SWT




Artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (Al-Hajj : 39).
Tahap berikutnya Allah memerintahkan untuk bersiaga dengan menyiapkan kekuatan apa saja untuk sewaktu-waktu berhadapan dengan musuh; baik musuh Allah maupun musuh orang mu’min Firman Allah SWT.










Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan) (Al-Anfal : 60).
Tahap selanjutnya adalah ketentuan-ketentuan berperang yang diikuti peraturan-peraturan mengenau twanan ghonimah, dan lain-lain.
e. Sifat hukum yang ditunjukkan Al-Quran
Ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Quran pada umumnya bersifat “kulli” (umum) dan sedikit sekali yang bersifat “juz’I” (terinci). Ayat-ayat “kulli” ialah ayat-ayat yang memerlukan penjelasan.
Perintah shalat dalam Al-Quran secara jelas disebutkan dengan menyebut lafadz “shalat” demikian pula tentang lafadz.




Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku (Al-Baqoroh : 43)
Dalam ayat di atas tidak dijelaskan bagaiman tata cara shalat, dan berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan
Contoh lain dalah mengenai batas-batas muka ketika bertayamum.












Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun (An-Nisa : 43).
Dalam ayat di atas jelas disebutkan bahwa bertayamum adalah dengan menyapu muka dan tangan, tetapi tidak dijelaskan batas-batas keduanya.
Dalam mengambil satu hukum tidaklah cukup dari Al-Quran tanpa mengetahui penjelasannya. Penjelasan itu adalah hadits. Penjelasan ini tak ada yang berhak memberikan kecuali Nabi SAW. sebagaiman firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 44 :





Artinya: keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
Lafadz “litubayyina” mengandung pengertian bahwa tugas Nabi Muhammad SAW. selain menyampaikan ayat dan hukum yang terkandung di dalam Al-Quran juga memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga umat manusia menerima, mengerti dan mengamalkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Lafadz “Adzikra” oleh sebagian ulam adiartikan segala yang berasal dari Rasulullah SAW., baik sabdanya, perbuatannya dan sebagiannya yang menjadi penafsiran bagi Al-Quran dan dinamakan Sunnah.

2. As-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam kedua
a. Pengertian dan dasar kehujjahan As-Sunnah
Sunnah dalam pengertian bahsa berarti :
1) Jalan yang ditempuh atau cara,
2) Cara atau jalan yang sudah terbiasa,
3) Sesuatu yang dilaukan oleh para sahabat, baik ada dasar hukumannya dalam Al-Quran atau hadits maupun tidak
4) Sebagian lawan dari kata bid’ah
Sunnah menurut istilah syar’i adalah :
Artinya : Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan/pengangkutan.
Sepakat para ulama bahwa As-Sunnah dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum. Kekuatan hukum berasal dari As-Sunnah sama dengan kekuatan hukum yang berasal dari Al-Quran dan menjadi sumber hukum yang wajib dipatuhi. Karena itu As-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan terhadap maksud ayat-ayat Al-Quran yang tidak maupun kurang jelas serta penentu dari beberapa hukum yang tidak terdapat hukumnya di dalam Al-Quran.
Dasar kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum adalah Al-Quran, Ijma dan dali ’aqli.
1) Firman Allah SWT.











Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr : 7)




Artinya : Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (An-Nisa : 80).








Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisa 59).
2) Sahabat Rasulullah baik pada waktu beliau masih hidup maupun sesudah wafat, telah bersepakat wajib mengikuti Sunnah Nabi, tanpa membedakan wahyu yang diturunkan dalam Al-Quran dengan ketentuan yang berasal dari Rasulullah SAW.
3) Dalil ‘aqli
Sebagai besar ayat Al-Quran yang mengandung hukum yang masih global dan memerlukan penjelasan secara rinci. Tanpa penjelasan dan keterangan kewajiban-kewajiban itu serta bagaiman cara melaksankannya belum dapat diamalkan. Oleh karena itu penjelasan dan keterangan diperlukan dan penjelasan serta keterangan itu adalah As-Sunnah baik berupa perkataan, perbuatan ataupun penetapan Nabi.
Para ulama sepakat bahwa kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum pada urutan kedua setelah Al-Quran.
b. Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Quran
1) Al-Quran adalah sumber utama bagi syari’at Islam, sedang As-Sunnah adalah kedua. Ayat-ayat Al-Quran adalah qothi dan Allah baik secara mujmal maupun tfshili. Seseorang tidak boleh kembali pada As-Sunnah dalam mencari ketetapan hukum kecuali jika tidak mendapatkannya hukum yang dimaksud di dalam Al-Quran.
2) Maksud As-Sunnah pada hakekatnya sudah tergantung dalam Al-Quran. Sunnah adakalanya menjelaskan apa-apa yang belum jelas dalam Al-quran, membatasi hukum yang datang secara mutlak, serta memberikan ketentuan khusus terhadap hukum yang datang secara umum. Demikian pula As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang telah ada dalam Al-Quran. Oleh karena itu kedudukan yang lebih tinggi dan harus didahulukan dari pada yang menjelaskan.
3) Hadits Mu’adz bin Jabal yang menerangkan urutan dalam menetapkan hukum, menunjukkan kedudukan antara Sunnah Rasul terhadap Al-Quran.
c. Pembagian As-Sunnah
Dari sudut macamnya As-Sunnah dapat dibagi 4 macam, yaitu :
1) Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasul. Sunnah Quliyah disebut juga “khabar” atau “hadits”.
2) Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasul. Tidak semua perbuatan Nabi menjadi sumber hukum wajib dipatuhi. Perbuatan-perbuatan yang bersifat pribadi atau khusus untuk Nabi tidak wajib diata’ati maupun diteladani kecuali ada penjelasan berupa hadits yang menganjurkan mengikutinya. Perbuatan Nabi ayang wajib dipatuhi dan dijadikan sebagai sumber hukum adalah perbuatah yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti tata cara shalat, haji, dan lain-lain.
3) Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan atau perbuatan orang lain. Penetapan dan pengakuan Nabi adalah diamnya Nabi ketika melihat satu perbuatan para sahabat baik dikerjakan didepan beliau. Diamnya Nabi berarti sama dengan Nabi sendiri yang berbuat dan menjadi hujjah bagi seluruh ummat.
4) Sunnah Hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan (diamalkan) oleh Nabi tetapi tidak sempat dikerjakan, sempat beliau ingin mengerjakan puasa pada tanggal 9 Muharram. Walaupun keinginan itu belum terlaksana, namun sebagian besar ulama memandang sunnah berpuasa pada tanggal 9 Muharram.

B. SUMBER PELENGKAP
1. Ar-Ra’yu
Pada garis besarnya ayat-ayat Al-Quran dibedakan atas ayat Mukhamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Yata mukhamat adalah ayat yang sudah jelas dan terng maksudnya dan hukum yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran atau inter prestasi perintah menegakkan shalat, puasa, menunaikan zakat, ibadah haji.
Ayat-ayat mutasbiyat adalah ayat yang memrlukan penafsiran lebih lanjut walaupun bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat-ayat yang mengenai gejala-gejala alam yang terjadi setiap hari. Dengan ayat-ayat mutasyabihat mengisyaratkan kepada kita bahwa Al-Quran mengajarkan kepada manusia mempergunakan akalnya, mengamati dengan benar, harus berpikir dan bertanya secara tuntas tentang segala sesuatu yang diamatinya.
Al-Quran surat Al-Waqiah ayat 63,68 dan 71 di bawah ini sarat dengan perintah Allah kepada manusia agar mau membangkitakan pikiran.




Artinya : Maka terangkanlah kepadaku tentang bibit yang kamu tanam. Mak terangkan lah kepada tentang air yang kamu minum. Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu)
Ayat berikut meminta manusia untuk mengamati dan berpikir.




Artinya : Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.









Artinya : Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir(Ar-Rodu’ : 4).
Ayat-ayat Al-Quran di atas cukup mengisyaratkan kepada kita manusia tentang kedudukan akal yang menghasilkan pendapat dan pemikiran. Akal sebagia daya berpikir yang ada dalam diri manusia selalu berusaha untuk menedaptkan penjelasan dan ketetapan hukum peristiwa tertentu ysng tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW. hadits yang menrangkan dialog Nabi dengan Mu’adz bin Jabal cukup memperkuat mengenai kedudukan akal itu.
Dasar kehujjahan Ar-Ra’yu sebagai sumber pelengkap dari syari’ah adalah :
1) Ketetapan Al-Quran mengenai landasan musyawarah dalam menetapkan sesuatu.
Firman Allah SWT.





Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (As-Syuuro : 38).
2) Allah memerintahkan dalam Al-Quran untuk mengembalikan segala pertentangan dan saling pendaoat kepada o\ulil amri, yaitu orang-orang yang memiliki tingkat pemahaman syari’ah yang tinggi dan menguasai tata cara menetapakan huku.
3) Adanya ketegasan Nabi kepada para sahabatnya agar berijtihad dan merumuskan ketetapan hukum melalui pemikiaran dalam masalah yang tidak terdapat hukumnya di dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.






BAB VI
PEMBINAAN HUKUM ISLAM

A. Ijtihad
Hukum Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan jaman atau waktu. Dengan demikian Hukum Islam tidak bersifat statis dan tidak kaku, akan tetapi senantiasa diterapkan dalam segala keadaan dan kondisi masyarakat, kapanpun dan di manapun mereka berada.
Para Ulama sejak dahulu selalu berusaha mendalami hukum hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunah yang kadang-kadang di antara mereka terdapat perbedaan paham dan pendapat dalam menetapkan hukum yang mereka istimbatkan dari Al-Quran dan As-Sunah tersebut. Hal ini dikarenakan di antara ayat Al-Quran ataupun Hadis Nabi itu ada yang bersifat zhanni, sehingga memerlukan pemikiran dan usaha yang sungguh sungguh untuk dapat memahami nash-nash yang demikian.
Di samping itu seringkali para Ulama menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi pada jaman Nabi dan belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian mereka harus berusaha dengan segala daya serta kemampuannya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru tersebut sesuai dengan prinsip prinsip hukum yang ada dalam sumber-sumber pokoknya yaitu Al-Quran dan As-Sunah.
Usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para Ulama untuk menetapkan hukum Islam inilah yang dikenal dengan sebutan “Ijtihad”, sedangkan para Ulama yang melakukannya disebut “Mujtahid”.
Berusaha mendalami hukum Islam memang merupakan sesuatu keharusan dalam ajaran Islam, dan orang yang melakukannya sudah barang tentu akan memperoleh deajat yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Firman Allah :






Artinya :”Tidak sepatutnya bagi orang orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang) mengapa tidak pergi tiap tia golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)
1. Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, Ijtihad berarti : mengarjakan sesuatu dengan segala keteguhan sedangkan menurut syara’ Ijtihad berarti : mengerahkan semua potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum hukum syari’ah berdasarkan dalil-dalil syara.
Diantara nash-nash hukum yang ada, adakalanya merupakan nash yang Qath’I, artinya nash tersebut menunjukan kepada hukum yang jelas dan tertentu sehingga tidak mungkin adanya interprestasi atau penafsiran lain. Terhadap nash yang demikian tidak diperlukan adanya Ijtihad.
Sebagai contoh, Firman Allah :






Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur : 2)
Dalam memahami ayat tersebut diatas, tidak memerlukan ijtihad karena ayar tersebut telah menunjukan hukum yang jelas dan tidak mungkin ada interprestasi lain, yaitu bahwa hukuman bagi orang yang melakukan zina (dalam hal ini yang ghar mushan) adanya sebanyak seratus kali dera.
Akan tetapi adakalanya dianatara nash-nash itu bersifat zhani, artinya nash tersebut belum menunjukan kepada hukum yang jelas dan masih dimungkinakan adanya interprestasi atau penafsiran lain.
Sebagai contoh, Firman Allah :


Artinya : “Wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (Al-Baqoroh : 228)
Ayat tersebut belum menunjukan kpada hukum yang jelas dan pasti, karena pengertian quru’ dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu : suci dan haid. Jadi berdasarkan ayat diatas, wanita wanita yang dicerai (ditalak) itu iddahnya ada dua kemungkinan yaitu : Tiga kali suci, atau tiga kali haid. Diantara dua kemungkinan hukum tersebut, mana yang akan mengambil ketetapan hukumnya? Dalam hal ini memerlukan ijtihad.
Ijtihad ImamSyafi’I menetapkan bahwa wanita waita yang ditalak oleh suaminya, masa iddahnya tiga kali suci : sedangka Ijtihad Imam hanafi menetapkan bahwa wanita wanita yang ditalak oleh suaminya masa iddahnya tiga kali aid.
Selain dari itu adakaanya timbul masalah masalah yang terjadi dalam masyarakat ketetapan hukumnya belum ada baik dalam A-Quran maupun Sunnah. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik), pada manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata, dan lain lain. Semua itu memerlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tempat atau lapangan ijtihad itu adalah
· Dalam mengistibatkan hukum dari nash nas yang sifatnya zhanni.
· Dalam menetapkan hukum terhadap masalah masalah baru yang ketetapan hukumnya belum ada.

2. Hukum Ijtihad
a. Wajib ‘ain yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang masalah sedang masalah tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
c. Sunnat, yaituIjihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.


3. Syarat Syarat Ijtihad
a. mengetahui Al-Quran dan Al-Hadist. Kalau tidak mengetahui salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Brapa jumlah ayat Al-Quran dan Al-Hadis yang harus diketahuinya? Mneurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi, ayat ayat harus diketahui adalah kurang lebih 500 ayat, harus lebih banyak lagi dari 500 ayat hukum tersebut. Jumlah hadis yang harus diketahui mujathid yang ada yang mengataka harus 3000 nuah, ada pula yang mengatakan harus 1200 buah . menurut As-Syaukani harus mengetahui hadis hadis yang ada dalam kitab kitab yang enam. Baik tentang ayat ayat Al_quran maupun hadis hadis tidak disyaratkan hafal, tetapi cukup apabila dibutuhkan dapat mencarinya dalam al-quan dan kitab kitab Hadis. Tntang hadis selain mengetahui keadaan perawi pwrawi hadis mana yang tercela dan mana yabng tidak
b. mengetahui hukum hukum yang ditetapkan dengan Ijma’ sehingg ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
c. Mengetahui serta memahami bahasa Arab, Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang hakikat, yang majmaz. Am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlak, muqayad, muntaq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan AL-Hadits.
d. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal soal cabang kepada soal soal pokoknya
e. Mengetahui nasikh dan mansukhsehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudak dimansukh.
f. Tingkatan Tingkatan Mujtahid
g. mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab
h. mujtahid muntasib yaitu orang yang mempunyai sarat syarat iujtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara cara yang ditetapkan oleh imam madzhab tersebut dalam berijtihad.

4. Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam hasil berijtihadnya, menurut Abu hanifh, Malik dan Syafi’i. Tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada yang tidak. Sabda Rasululloh saw.


Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran ) maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari )
Hadis tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu sebagian mujtahid dapai mencapainya maka ia dikatakan yang encapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.

5. Pendapat Para Ulama Tentang Ijtihad Nabi Dan Sahabat
Para Ulama sepakat bahwa nabi boleh berijtihad dalam masalah masalah yang berhubungan dengan soal dunia seperti dalam soal peperangan perdamaian menentukan startegi dan lain lain. Adapun ijtihaf Nabi dalam hukum hukum syari’ah, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut golongan Asy’ari Nabi tidak boleh berijtihad sedak ia tidak terhindar dari kemungkinan salah, mengapa nabi tidak boleh berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan.
Adapun mengenai kebolehan para sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pula pendapatnya. Pendapat yang kuat membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan dengan Nabi maupun di kala berjauhan dengan beliau.
Nabi pernah berkata kepada ‘Amr Bin Ash : putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata : apakah saya boleh brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi : Ya, apabila tidak benar kamu mendapat satu pahala.

6. Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan urutan di bawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Adapun urutan urutan tersebut adalah sebagao berikut
a. Dalil dalam bentuk :
· Nash-nash Al_Quran
· Hadis mutawattir
· Hadis Ahad
· Zhahir Al-Quran
· Zhahir Hadis
b. Dalil mufham
· Mufham Al-Quran
· Mufham Hadis
c. Pebuatan dan taqrir nabi
d. Qiyas
e. Bara’ah ashaliyah
Kalau ia menghadapi dalil dalil yang berlawanan, hendaknya ditermpuh bebrapa alternatif berikut :
a. memadukan/mengkomproikan dalil dalil tersebut
b. mentarjihkanb (menguatkan salah satunya)
c. menashkan yaitu dicari mana yang lebih dulul dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak berlaku lagi)
d. Tawaqquf, ia tidak boleh menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut
e. Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya

B. Ittiba’
Menurut bahasa ittiba’ berarti mengikuti
Menurut pengertian syara ittiba’yaitu : menerima atai mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan, sebagaimana Firman allah :




Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yanbg mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An Nahl :43)
Maksud ayat tersebut diatas yakni, tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari al-Quran dan hadis dan bukan dari pendapat mereka semata mata/. Dzikr dalam ayat diatas maksudnya adalah al-Quran dan hadis. Dengan demikian yang dimaksud Ali Dzikr dalam ayat diatas yaitu Ahli Quran dan ahli Hadis. Apabila mereka ditanya tentang sesuatu masalah hukum, maka jawalah : Alah menetapkan begini, atau dalam hadis disebutklan begitu, dan sebaginya.

C. Taklid
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya.
Kalau kita teliti dari kurang 90 % umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadis tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri orang orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan mejadi berkurang karena mau tidak mau orang orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dengan keadan terpaksa
Firman Allah :


Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, oenglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (Al-Isra ayat 36)
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat syarat orang yang ditaklidi, indetitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasululloh saw karena itu haram hukumnya taklid kepada orang yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui indetitas serta keahliannya dalam agama.

Syarat syarat taklid
1. Syarat orang yang bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanssup mencari sediri hukum syari’ah. Amak ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal hal lain (soal soal ibadat), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya

2. syarat syarat masalah yang ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu :
· hukum akal
· Hukum Syara’
Taklid dalam masala hukum akal
Dalam masalah hukum akan tidak dibolekan taklid kepada orang lain, sperti mngetehui adanya zat yang menjdaikan alam serta sifat sifatnya.hal ini karena jalan untuk menetapkan hukum hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal. Karea itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid soal soal tersebut dengan firman Nya :





Artinya : Apabila dikatan mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah mereka terjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapt dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (Al-Baqoroh 170)
Taklid dalam masalah hukum syara’
Hukum syara’ dibagi dua yaitu:
a. yang diketahui dengan pasti dari agama, seperti wajibnya shalat lima waktu, puas, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam soal soal diatas tersebut tidak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya
b. yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal soal ibadahnya yang kecil kecil dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat para Imam yang empat dan Ulama lainnya :
1. Imam Abu Hanifah berkata : Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
2. Imam Malik berkata : saya hanya manusia biasa yang kadang kadang salah dan kadang kadang benar, selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-quran dan Al-Hadis maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan
3. Imam Syafi’I berkata : Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alaan) seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
4. Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atu Auza’I tetapi ambillah dari mana mereka mengambil
5. Ibnu Ma’sud berkata : kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Imam maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.

D. Ta’adul, Tarjih, dan Tafliq
Pengetian Ta’adul, Tarjih danm Talfiq
Yang dimaksud dengan Ta’adul yaitu : mengadakan perbandingan diantara dua masalah yang mempunya alasan sama kuat, sehingga hukum tersebut sama sama ditunjang oleh dalil (alasan) yang sama kuatnya.
Tarjih yaitu : menguatkan suatu alasan hukum atas hukum yang lain disebabkan terdapatnya alasan alasan yang lebih meyakinkan atau terdapat aspek aspek lain yang menunjang. Hal ini dimaksudkan agar hukum syari’ah yang berdasarkan dalil dalil zhani, bila terdapat perlawanan diantara dalil dalil tersebut, ketidak jelasan, ataupun terdapat aspek aspek lain yang memungkinkan diperjelas salh satunya, makaperlu ditarjihkan sehingga dalil atau alasan yang kuat itulah yang kita pegangi.
Adapun Tarjih ini dasarnya sebagai berikut :
Ijma sahabat dalam melaksanakan tarjih. Mereka memakai hadis yang diriwayatkan Aisyah yang mnerangkan wajibnya mandi karena bertemu dua kelamin laki laki dan perempuan dan mereka meningga;kan hadis yang menerangkan bahwa Air itu hanya karena air (maksudnya wajibnya mandi itu bila terjadi persetubuhan yang mengeluarkan air mani ). Yang ditarjihkan oleh para sahabat adalah hadis aisyah yang menerangkan bahwa persetubuhan anatar laki laki dan perempuan itu mewajibkan mandi walaupun tidak keluar air mani.
Kalau ada dugaan yang berlawanankemudian salah satunya lebih kuat maka dengan memakai dugaan yang lebih kuat itu menjadika kita ragu ragu menurut adat kebiasaan. Demikian pula dalam hukum hukum syari’ah kalau kita tidak mamakai yang lebih kuat tentu kita memakai yang lemah. Sedangkang pemakaian yang lemah dengan meninggalkan yang kuat tidak dapat diterima akal
Syarat syarat tarjih
dalil dalil yang berlawan itu setingkat atau sebanding kekuatannya sepereto al-Quran dengan al-quran, al-Quran dengan Hadis mutawattir, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis ahad dengan hadis ahad. Kalau tidak sama/sebanding kekuataanya seperti al-Quran dengan ahad maka tidak perlua da tarjih lagi sebab yang lebih kuat sudah tentu Al-Quran dan inilah yang dipakai.
Sama hukumnya, dan bersatu pula dalam hal waktu, tempat, maudlu’ (subjek), mahmul (predikat) dan kseluruhan atau sebagian.
Kalau berbeda waktu misalnya, seperti : Jual beli sesudah adzan jum’at dilarang, diwaktu yang lain jual beli dibolehkan. Disini tidak ada perlawanan karea berbeda waktunya.
Macam Macam Tarjih
Macam tarjih adalahsesuai dengan macam perlawanan antara dalil dalil yang harus ditarjihkan menurut peneitian, macam macam perlawanan dalil dalil itu ada 10 macam yaitu :
· antara Al-Quran dengan Al-Quran
· Antara Al-Quran dengan Hadis
· Antara Al-Quran dengan Ijma’
· Antara Al-Quran dengan Qiyas
· Antara Hadis dengan Hadis
· Antara Hadis dengan Ijma’
· Antara Hadis dengan Qiyas
· Antara Ijma’dengan Ijma’
· Antara Ijma’ dan Qiyas
· Antara Qiyas dengan Qiyas
Yang akan dibicarakan disini hanyalah mengenai perlawanan antara hadis dengan Hadis. Perlawanan selebihnya boleh dikatakan tidak pernah terjadi.
Cara-cara mentarjih Hadis Hadis yang berlawanan
Tarjih mengingat Isnad
Mentarjih hadis mengingat Isnad, didahulukan hadis hadis sebagai berikut :
Yang banyak perawinya
Yang diriwawyatkan oleh orang orang besar (orang kenamaan) dari pada yang diriwayatkan oleh orang orang yang tidak kenamaan
Yang diriayatkan oleh orang orang Fiqih ( ahli Fiqh) dari pada yang meriwayatkan oleh orang orang yang tidak Fiqh.
Yang diriwayatkan oleh orang yang lebih dipercaya dan teliti
Yang diriwayatkan oleh orang yang langsung mengalami peritiwa (Shahibul qissah)
Yang diriwayatkan oleh orang yang langsung menerimanya
Yang diriwayatkan oleh orang yang banyak bergaul dengan Nabi
Yang diriwayatkan oleh orang yang kuat hafalannya dan tidak pelupa
Riwayat yang disebutkan sebabnya
Riwayat yang didengar berhadap harapan dari pada yang didengar dari belakang tirai
Hadi yang terdapat dalam kedua kitab Bukhari dan Muslim.

Tarjih mengingat matan
Dalam mentarjih hadis mengingat matan, didahulukan hadis sebagai berikut
a. Yang hakikat dari pada majaz
b. Yang menunjukan kepada maksud dari dua jalan dari pada yang hanya satu jalan
c. Yang mengandung isyarat kepada hukum dari pada yang tidak demikian
d. Yang memakai penjelasan dari pada yang tidak
e. Yang mengandung mafhum muwafaqah dari pada yang mengandung mafhum mukhalafah
f. Yang mengandung larangan dari pada yang mengandung suruhan

Tarjih mengingat madlul
Dalam mentarjih hadis mengingat madlul (maksud dan kandungan hadis, didahulukan hadis hadis berikut:
a. yang berisi hukum yang lebih ringan
b. yang menetapkanb hukum (musbit) dari pada yang meniadakannya (nifa)
c. yang berisi pembatalan hukum had (hukuman tertentu) dari pada yang menetapkannya
d. yang mendekati ihtihati (hati hati)
e. Yang menetapkan hukum asal usul bara’ah asliyah

Tarjih mengingat hal hal di luar hadis
Dalam mentarjihkan hadis menbgingat hal hal diluar hadis itu sendiri, didahulukan hadis hadis berikut :
hadis yang dikuatkan oleh dalil yang lain
hadis yang menyerupai zhahir Al-Quran
Hadis yang berupa perkataan dari pada yang berupa perbuatam, sebab dialah (petunjuk) perkataan lebih kuat dari pada dialah perbuatan
Adapun yang dimaksud dengan talfiq menurut Ushul Fiqih ialah mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai masdzhab atau pendapat yang berbeda.
Talfiq tidak diberankan dalam ajaran syari’at, yakni bila penggabungan pendapat mengakibatkan batalnya amal. Dan dibenarkan sepanjang tidak membatalkan amaliah. Demikian pula perpindahan madzhab dalam masalah yang berbeda pendapat, dibenarkan.

E. Fatwa
Hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Islam senantiasa menetapkan ketentuan dan kepastian hukum yang dapat digunakan untuk kepentingan Islam di segenap waktu dan tempat.
Para fuqoha berkewajiban memberikan nasihat, pendapat tentang suatu masalah, baik diminta maupun tidak diminta, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk dakwah dan amar ma’ruf nahyil munkar. Landasannya adalah Q.S. An-Nahl ayat 43 “tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui”. Dan secara logis dipahami bahwa setiap masalah wajib ada ketentuan hukumnya.
Setiap orang berhak menerima fatwa dari orang yang berkomepeten dalam bidangnya.

F. Tujuan Umum dari Penetapan hukum
Mengetahui dan memahami tujuan umum tentang ditetapkannya hukum hukum syara’ merupakan masalah yang sangat penting. Hal ini agar kita tidak mengalami kekeliruan dalam mamehami nsh nash hukum, dan jug agar dapat menetapkan hukum dalam masalah masalah yang belum terdapat nashnya sesuai dengan prinsip prinsip yang terdapat dalam hukum, Islam.
Adapun maksud pokok dari pencipta hukum (Allah swt) dalam menetapkan hukum hukum Nya yaitu :



Artinya :
Mewujudkan kemaslahatan atau kesejahteraan manusia dalam kehidupan mereka, dengan jalan mendatangkan hl hal yang bermanfaat bagi mereka dan menghindarkan hal hal yang merugikan mereka.
Untuk merealisir tujuan tersebut, maka Allah Swt menetapkan berbagai macam hukum yang menyangkut segala kebutuhan dn epentingan manusia yang terdiri dari tiga macam, yaitu :
Dlarury (hal hal yang mesti ada, yang sifatnya merupakan kebutuhan pokok)
Haajy (hal hal yang diperlukan yang sifatnya merupakan kebutuhan penting).
Tahsiny (halhal yang lebih baik adanya, yang sifatnya merupakan kebutuhan perlengkapan)
Kebutuhan manusia terhadap masalah duniawi tidak terlepas dari ketiga hal tersebut diatas, yang kebutuhan pokok, kebutuhan penting, dan kebutuhan yang sifatnya perlengkapan. Sebagai contoh : kebutuhan pokok manusia terhadap tempat tinggal (rumah) adalah adanya suatu tempat yang dapat memlihara diri dari kehujanan dan kepanasan. jadi kalau seseorang membangun rumah dengan mendirikan tiang tiangnya, memasang atap dan dingdingnya, ini sebenarnya sedah cukup hanya sampai disitu, tapi dibikinnya pintu pintu dan jendela jendela yang bnisa dibuka dan ditutup sesuai dengan keperluan ini merupakan kebutukan penting. Lebih lanjut rumah tadi lebih diperindah lagi dengan jalan dikapur, dicat, dan lain lain. Ini adalah merupakan kebutuhan perlengkapan terhadap rumah yang dibangunnya. Demikian pula hal ini berlaku dalam masalah makanan, pakaian, dan lain lain.
Allah swt menetpkan berbagai macam hukum baik dalam masalah ibadat muamalat maupun uqubat (hukuman) tujuan pokoknya tidak lain adalah untuk mewujudkan kemashalahatan manusia. Dan kemaslahatan manusia hanya akan terwujud bilamana telah terpebuhi kebutuhannya yang bersifatpokok, penting dan perlengkapan termasuk dalam hal kebutuhan mereka terhadap hukum
1. Hukum hukum yang ditetakan Allah yang bersifat dlarury (pokok)
Hukum hukum yang bersifat dlarury yaitu hukum hukum yang sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya dan mesti adanya sehingga kalau hukum hukum yang bersifat dlarury itu tidak ada, maka akan kacaulah kehidupan manusia ini.
Hukum hukum yang bersifat dlarury ini berprinsip kepada menjaga serta melindungi 5 (lima) hal yaitu :
memelihara / melindungi agama
memelihara / melindungi jiwa
memelihara / melindungi akal
memelihara / melindungi kehormatan
memelihara / melindungi harta
Ad. 1
Yang dimaksud dengan agama disini yaitu ketentuan ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia sesamanya
Untuk melindungi dan memelihara agama ini Hukum Islam menetapkan adanya kewajiban beriman kepada Allah Pencipta Alam Semesta, kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lima yaitu : mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan menunaikan Haji ke Baitullah, dan lain lain ibadat yang bersifat pokok.
Ad. 2
Untuk melindungi jiwa manusia yang sangat berharga, hukum Islam menetapkan haramnya membunuh seseorang yang tidak berdosa (tidak halal darahnya), diharamkannya bunuh diri, ditetapkannya hukum kisas, diyat dan kifarat dalam pembunuhan. Juga untuk mengembangkan keturunan manusia, Islam menetapkan adanya syari’ah nikah dengan syarat syarat serta rukun rukun tertentu.
Ad. 3
Untuk melindungi dan memelihara akan manusia, hukum Islam menetapkan haramnya minum khamr dan setiap minuman yang memabukkan, juga menghukum orang yang meminumnya.
Ad. 4
Untuk memelihara dan melindungi kehormatan manusia Hukum Islam menetapkan haramnya perbuatan zina dan orang yang menuduh zina tanpa keterangan yang benar.
Ad. 5
Untuk melindungi harta manusia, hukum Islam menetapkan harmnya perbuatan mencuri harta orang lain, juga menghukum orang/pelaku pencurian tersebut diharamkannya setiap perbuatan korupsi dan manipulasi serta diharamkannya setiap perbuatan untuk mendpatkan dan memakan harta orang dengan jalan yang batil

2. Hukum hukum yang ditetapkan Allah yang bersifat Haajy (penting)
Hukum hukum yang bersifat haajy (penting) yaitu hukum hukum yang beryujuan untuk melaksanakan hukum. Bila hukum hukum yang besifat haajy (penting) ini tiudak ada, maka timbul kesulitan dan keberatan dalam melaksanakan hukum.
Contoh : Dalam masalah ibadah, hukum Islam menetapkan adanya berbagai rukhshah (keringanan) bagi mukallaf dalam melaksanakan hukum, seperti : dibolehkannya mengqashar salat bagi orang yang berpergian, dibolehkannya bertayammum dalam keadaan tidak ada air untuk berwudlu dan lain lain.
Dalam hal mu’malat hukum Islam menetapkan dibolehkannya melakukan berbagai macam akad dan transaksi seperti jual beli, sewa sewanya syirkah, dan lain lain
Dalam hal hukum, hukum Islam menetapkan adanya hak orang yang membunuh adanya ketentuan Diyat (denda)sebagai keringanan bagi orang yang melakukan pembunuhan tanpa sengaja dan lain lain.
3. Hukum hukum yang ditetapkan Allah yang bersifat Tahsiniyah (pelengkap)
Hukum yang bersifat tahsaniyah yaitu hukum hukum yang bertujuan untuk mewujudkan apa yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang maupun masyarakat, menurut pertimbangan susila dan kesopanan.
Apabila hukum hukum yang bersifat tahsiny ini tidak ada maka tidak mengakibatkan kehidupan mansuai menjadi kacau sebagaimana kalau tidak ada hukum yang bersifat dlarury, juga tidak akan terasa berat dan sulit sebagaimana kalau tidak ada hukum yang bersufat haajy, hanya saja kehidupan manusia akan menjadi asing dn dibenci oleh akal dan tabi’at.
Contoh :Dalam masalah Ibadat,hukum Islam menetapkan adanya kharusan bersuci, menutup aurat, memakai pakaian yang paling bagus dan memakai wangi wangian ke mesjid dan lain lain.
Dalam masalah mua’malat hukum Islam dilarangnya menjual barang najis, membeli atau menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
Dalam masalah pidana ( jinayat) hukum Islam menetapkan bahwa dalam peperangan melawan kafir diharamkan membunuh anak anak, wanita para pendeta agama.

G. Urutan Pengutamaan Hukum
Berlakunya hukum yang bersifat dlarury merupakan tujuan syari’ah yang paling peting, karena hilangnya hukum yang menyangkut hal hal yang dlarury ini akan mengakibatikan kesulitan baik bagi perorangan maupun masyarakat. Setelah itu hukum yang bersifat tahsiny, karena tidak adanya hukum ini akan menimbulkan hal hal yang dibenci akan dan akan semakin menjauhkan tercapainya kesempurnaan hidup manusia.
Berdasarkan urutan urutan hukum tersebut di atas, maka sesuatu hukum yang bersifat tahsiny tidak akan dijalankan kalau sekirany akan meninggal hukuk yang bersifat haajy, dan hukum yang bersifat haajy tidak pula akan dipertahankan apabila akan mengabaikan hukum yang bersifat dlarury sendiri.
Contoh contoh :
Dibolehkan membuka aurat, kalau diperlukan untuk berobat. Menutup aurat termasuk hukum tahsiny, sedangkan keharusan berobat untuk memelihara jiwa adalah hukum dlarury. Karena itu dalam hal ini hukum tahsinyditinggalkan karena mengutamakan hukum dlarury.
Boleh menggunakan barang najis untuk berobat dan dalam keadaan dlalurat. Karagan menggunakan barang najis termasuk hukum tahsiny. Larangan menggunakan barang najis termasuk hukum tahsiny, sedangkan perintah menolak bahaya dan berobat termasuk hukum dlarury,
Kewajiban kewajiban agama harus dijalankan, meskipun membawa kesulitan kesulitan oleh karena menjalankan kesulitan termasuk dlarury, sedangkan menghindari kesulitan termasuk haajy, maka hukum haajy tidak perlu dijalankan kalau akan mengabaikan hukum dalalury.
Selanjutnya hukum hukum yang berhubungan dengan masalah dlarury tidak boleh ditinggalkan, kecuali kalau akan mengabaikan hukum dlarury lainnya yang lebih pentingdari padanya. Dalam hal nii hukum dlarury lainnya yang lebih penting dari padanya. Dalam hal ini hukum dlarury yang lebih rendah tingkatannya boleh ditinggalkan. Contoh-contoh :
1. Berperang adalah wajib, meskipun bisa membawa kematian. Hal ini karena memelihara agama lebih penting dari pada memelihara jiwa
2. Minuman minuman krena dibolehkan bagi orang yang teroakasa sakit. Kal ini karena menjaga keselamatan jiwa lebih penting dari pada memelihara akal.

BAB VII
PENEGAKKAN SYARIAH DI MUKA BUMI

Menegakkan Syari’ah
1. Manusia sebagai khalifah
Pelaksanaan syari’ah adalah kewajiban seluruh kaum muslimin, termasuk perintah, dan amanat Allah swt. Untuk diamalkan di muka bumi.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah berfungsi sebagai khalifah Allah dimuka guna memanfaatkan, memakmurkan, mengolah, menikmati segala apa yang ada dan terkandung didalamnya,s eraya melaksanakan ketentuan ketentua Allah dan terkandung didalamnya seraya melaksanakan ketentuan ketentuan Alah diatas dunia ini, untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia itu sendiri baik didunia yang fana ini maupun dialam baka nanti
Ayat ayat Al-Quran yang mengatakan bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi anatara lain. Firman Allah :




Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (AlBaqoroh : 30)
Firman Allah







Artinya: “Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikannya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat sikasanya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Anam : 165)

Firman Allah :












Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal amal yang saleh bahw Dia sunguh sungguh akan menjadikan mereka berukuasa di bumi sebagaimna dia telah menjadikan orang orang yang seblum mereka agama yang telah diridhainya untuk mereka. Dan dia benar benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapu dengan aku. Dan barang siapa yang (tetp) kafir sesudang (janji) itu, maka mereka itulah orang orang yang fasik (An-Nur 55) .

Manusia memikul amanat tuhan untuk bertaqwa dan beribadaj kepada Nya dengan melaksanakan segala perintahnya serta menjauhkan segala larangann-Nya.
Agar manusia dapat melaksanakan tugas suci dan mulia ini dengan sebaik baiknya, maka Allah memberikan anugerah kepada manusia unsur unsur potensial yang berupa akal sebagai alat dan pusat daya cipta dengan menumbuhkan kemampuan penalaran dan pemikiran, kalbu sebagai alat dan pusat daya rasa, dan karsa yang memperhalus dan mempelajari perasaan serta memperlurus dan memperkokoh kemampuan kehendak atau kemauan, juga indera dan anggota badan sebagai alat dan pusat daya karya dengan mengembangkan kekuatan fisik serta kemampuan berkarnya.
Dengan membina dan membangun kemampuan daya cipta, daya rasa, daya karya, anugerah Tuhan yang sangat tinggi nilainya ini secara terarah dan terpadu, maka terwujudlah pembangunan manusia seutuhnya, yang mencakup segi lahir maupun batin, fisik materil maupun mental spiritual
Peningkatan kemampuan daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya haruslah seimbang dan berkesenambungan, misalnya hanya mengutamakan penalaran dan pemikiran semata , sebab dengan demikian berarti hanya membangun manusia sebahagiannya, yakni hanya membangun kepala manusia tanpa badan dan tanpa anggota.
Menurut syari’ah kemampuan daya cipta, daya karsa, dan daya karya tersebut wajib dimanfaatkan semaksimalnya untuk kemaslahatan hidup, kehidupan penghidupan manusia beserta lingkungannya agar memperoleh ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akherat.
Manusia bertanggung jawab terhadap Allah tentang pendayagunaan potensi akal, kalbu dan fisiknya itu.
Pengamalan syari’ah di muka bumi adalah kewajiban manusia yang beriman, dan hal ini akan dipertanggungjawabkan ke hadirat Allah swt.
Orang yang beriman tiap kali mengucapkan kalimat syahadat berarti mengikatkan diri dan berjanji untuk tetap beriman, taat, patuh, takwa kepada Allah dan penuh rasa tanggung jawab dalam menjalankan syari’ah.
Ayat ayat yang bertalian dengan janji itu, antara lain :
1. Firman Allah :








Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu ) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji dan pewrbuatan musuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamuberjanji dam janganlah kamu membatalkan sumpah sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi mu terhadap sumpah sumpah itu) sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (An-Nahl 90-91)
Firman Allah


Artinya : Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya (Al – Isra : 34)

2. Syari’ah
Syari’ah ialah peraturan Allah bagi manusia yang disampaikan melalui rasul rasul Nya berupa ketentuan ketentuan hukum, baik yang bersifat I’tiqaduyah (Akidah), Khlulqiyah (Akhlak) maupun Amaliyah (Amal perbuatan).
Ketentuan ketentuan yang bersifat akidah dibahas dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuludin atau Ilmu Tasawuf sedangkan yang bersifat amal dibahas dalam Ilmu Fiqih atau Ilmu Syari’ah atau Ilmu Hukum Islam.
Secara luas, Syari;ah meliputi hukum tentang akidah, hukum tentang akhlak, serta hukum tentang amal. Tetapi secara sempit, syari’ah lazim dipakai untuk maksud hukum yang bertalian dengan amal perbuatan saja.
Syari’ah atau disebut juga Fiqih Islam ialah hukum yang mengatur tentang bagaimana semestinya seorang manusia itu bersikap, bertutur kata, bertingkah laku, bertindak tanfuk serta berbuat terhadap Allah, terhadap dirinya maupun terhadap sesama makhluk, baik manusia maupun selain manusia, yakni alam sekitar berupa benda, tumbuh tumbuhan maupun binatang.
Materi syari’ah meliputi enam komponen atau sub sistem yaitu Hukum Ibadat (peribadatan), hukum Muamalat (pergaulan atau hubungan kerja), muhkamat (perkawinan), muwaratsat (perwarisan) Jinayat (Pidana) dan siyasat (kenegaraan).
Semua ketentuan ketentuan Allah tentang berbagai bidang hukum tersebut harus dapat dilaksnakan oleh subyek hukum, yakni manusia yang lazim disebut istilah mukallaf (orang yang dibebani taklif atau beban hukum).
3. Pengamalan Syari’ah di Indonesia.
Di atas dan didalam kedaulatan rakyat ada “kedaulatan Allah swt”.
Keutamaannya adalah berdasarkan keinsafan bahwa dialah yang paling agung karena langsung bersumber kepada Allah yang telah berkenan mempercayakan kepada manusia tugas dan tanggung jawab ikut serta memelihara keselamatan diatas bumi (QS. 2:30;6 : 165)
Jelas bahwa syahadat Islami mengandung tugas yang sangat mulia, suatu kewajiban yang mesti dilakukan karena Allah dan untuk Allah demi keselamatan makhluk Nya dibumi ini. Karena itu hendaklah dipahamkan bahwa menjalankan amanah Allah itu wajib dilakukan dengan penuh dedikasi tanpa pamrih dan selaras dengan itu wajiblah setiap sumpah jabatan dengan “Demi Allah” seperti yang telah dicontohkan Rosululah.
Walaupun Allah mengajak semua manusia untuk bernaung dalam agama Islam, sebagai bentuk agama tertakhir yang telah disempurnakan Nya untuk berlaku permanen dan abadi sampai akahir zaman, tetapi Allah tidak mengizinkan kepada siapa pun didunia ini untuk melakukan sesuatu paksaan, dalam bentuk apapun juga, supaya orang ,memasuki sesuatu agama baik agama Islam maupun lain lain agama Allah yang telah ada sebelumnnay (!.S.3 110; Q.S. 4 : 47 ; Q.S. 2 : 256) bahwa sebaliknya, Allah memberikan kemerdekaan penuh kepada manusia untuk memilih, atas tanggung jawabnya sendiri kepada Allah pada hari Perhitungan, agama mana diantara agama agama Allah itu yang akan dianutnya, oleh karena Allah telah membentangkan dalam al-Quran semua dalil dalil tentang yang benar dan yang batil.
Tentang kemungkinan murtad dari agama Islam, Allah tidak mengancam hukuman mati hukuman bunuh, tetapi lebih sengit dari pada itu, yakni kekal tempatnya nanti dalam neraka jahanam, jika tidak bertaubat sebelum mati (Q.S. 2: 217 jo Q.S. 5 : 54).
Dari apa yang telah diuraikan diatas tadi jelaslah bahwa toleransi, yakni hidup berdampingan serta rukun dan damai antara ummat pelbagai agama Allah, termasuk ke dalam Indonesia. Mengenai hidup berdampingan umat umat pelbagai agama dalam rukun dan damai itu, allah memesankan pula supaya berlomba lombalah semua pemeluk pemeluk agama itu dalam mendirikan amal kebajikan di muka bumi (2 : 145; 148; Q.S. 5 : 48)


Beberapa problema Penegakkan Syari’ah di Indonesia
Manusia sebagai hamba Allah dan sebagai makhluk bermasyarakat harus mematuhi hukum hukum Allah dan hukum hukum kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan hukum hukum Allah.
Proses penegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi memerlukan waktu lama serta menghendaki pengerahan potensi dan kemampuan seluruh masyarakat muslim.
Hukum Islam yang diyakini oleh hampir 90 % Bangsa Indonesia harus ditempatkan pada kedudukan yang semestinya. Bahwa dalam rangka Pembinaan Hukum Nasional diperlukan partisipasi positif dari seluruh masyarakat, antara lain dari setiap ribadi muslim yang sudah tentu merasa sangat berkepentingan dalam pembinaan Hukum Nasional itu.
Ius Contstitutum dan Ius Consitutendum.
Akibat dari penjajahan Belanda 3 ½ abad lamanya, sampai saat ini di Indonesia masih berlaku hukum hukum yang dulu dijalankan di masa penjajahan. KUH Perdata yang dilihat dari segi materiilnya memuat Hukum Purusa (Personen recht), Hukum Keluarga (Familiercht), Hukum Harta (Vermogensrecht) dan Hukum Waris (Erfrecht) yang sekarang ada, bersumber pada hukum perdata yang berlaku di Negeri Belanda tahun 1938 atas azas concordite.
Melihat kepada sumbernya dan siapa yang menyusunnya, maka sudah selayaknya KUH Perdata itu segara diganti dengan KUH Perdata yang materinya digali dari kekayaan yang ada pada bangsa Indonesia sendiri dewasa ini. Demikian pulalah halnya dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan lain lainnya.
Hukum hukum lama itu berlaku atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD-1945 yang berbunyi : “Segala Badan Negra dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang dasar ini.” Pasal ini memberikan dasar yuridis atas berlakunya hukum hukum dan peraturan peraturan yang adala sebelum UUD-1945 dinyatakan berlaku; tentu yang tidak bertentangan dengan semangat kemerdekaan.
Kini hukum hukum “Yang baru” yang dikehendaki atau dimaksud oleh UUD 1945 yang telah diundangkan sampai saat ini belum dapat menggantikan seluruh hukum masa penjajahan itu. Saat ini masih terlalu jauh untuk menciptakan hukum yang lengkap yang sesuai dengan cita cita kemerdekaan dan kesadaran hukum dari rakyat. Jadi hukum hukum yang saat ini ada (Ius Costitutum) terdiri dari hukum hukum sebagai produk Badan Legislatif setelah Indonesia merdeka, dan sebahagian lagi masih berupa peninggalan penjajahan. Kita masih dalam masa transisi di bidang hukum menuju kepada hukum positif yang berlaku di persada Ibu Pertiwi ini benar benar hukum yang sepenuhnya berdasarkan hukum Islam sebagai mayoritas rakyat Indonesia sendiri yang keyakinan, kepribadian dan berkesadaran hukum dan mempunyai ciri serta keyakinan yang kuat untuk selalu menjaga keharmonisan hidup untuk kepentingan jasmaniah dan rohaniah, kepentingan dunia dan akhirat. Watak inilah yang membedakan kepentingan Indonesia dari bangsa bangsa lain yang umumnya hanya mementingkan kehidupan jasmaniah. Dalam segi materiil dan teknologi mungkin sekali kita ketinggal oleh orang orang berat, tetapi dengan mengutamakan dan memupuk terus segi keagamaan, kita akan tetap memiliki kelebihan, terutama dibidang mental spritual.
Untuk menuju Ius Constituendum yang kita cita-citakan, perhatian terhadap agama dan prinsip keseimbangan perlu dijadikan pokok pikiran. Dalam hal ini perlu diperhatikan penegasan Prof. Dr. H. M Rasjidi dalam bukunya “Hukum Islam dalam pelaksanaannya Dalam Sejarah” bahwa “…. Kekuasaan materiil dengan tanpa pedoman spritual sangat berbahaya”. Selanjutnya beliau menyatakan : “…dalam zaman kemajuan teknologi ini agama tetap diperlukan oleh manusia bahkan lebih diperlukan dari masa yang lampau. Pendapat umum di dunia setelah Perang Dunia ke 2 menunjukan bahwa manusia sekarang tidak lagi mendewa-dewakan akal, akan tetapi mencari pegangan hidup yang memberi bimbingan bagi keseimbangan rohani dan jasmani.
Dasar hukum dari Pembinaan Hukum
Dasar hukum dari pembinaan Hukum Nasional Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menetapkan UUD 1945 berlaku lagi segenap Bangsa Indonesia dan selurh tumpah darah indonesia. Dalam penjelasan UUD 1945 ini dinyatakan : “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (techtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan (Machtstaat)”. Ini berarti bahwa segala kekuasaan, jalannya pemerintahan, pengaturan negara dan pembinaan serta pembangunan masyarakat bangsa Indonesia harus didasarkan kepada hukum. Dan hukum yang diberlakukan di indonesia itu harus berdasarkan kepada Pancasila yang merupakan filsafat hukum dan dasar umum bagi hukum di Indonesia.
Filsafat hukum Pancasila menghendaki bahwa hukum negara harus menjamin hubungan penduduk, baik dalam hubungan secara horizontal, yaitu hubungan dengan sesama manusia dan alam, maupun secapa vertikal, yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Sila pertama pancasila menunjukan keharusan terjaminnya hubungan vertikal tersebut dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing maing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” lebih menegaskan keharus adanya jaminan menjalankan hukum hukum agama.
Dasar pelaksanaan Pembinaan Hukum Nasional dewasa ini ialah ketetapan Mahelis Permusyawaratan Rakyat No : IV/MPR/1978.
Untuk mewujudkan Tujuan Nasional seperti termaksud di dalam Pembukaan UUD 1945, MPR telah menetapkan Garis Garis Besar haluan Negara yang dalam bidang hukum dirumuskan :
Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan undang undang Dasar 1945.
Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga dapatlah diciptkan ketertiban dan kepastuan hukum dan memperlancar pelaksanaan pembangunan.
Dalam rangka ini perlu dilanjutkan usaha usaha untuk :
Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifiaksi serta unifikasi hukum dibidang bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
Menertibkan badan badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewengan masing masing.
Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum
Membina penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan masyarakat yang kurang mampu.
Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga menghayati hak dan kewajibannya dan meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perindungan terhadap harta dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang Undang dasr 1945.
Mengusahakan terwujudnya PeradilanTata Usaha Negara.
Dalam uasaha Pmebangunan Hukum Nasional perlu ditingkatkan langkah langkah untuk penyusunan perundang undangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan Undang undang dasr 1945.
Bagi umat Islam tentu menjadi persoalan : Hukum Hukum manakah yang menjadi kebutuhan kebutuhan hukum sesuia dengan kesadaran hukum rakyat itu ? dalam hal ini salah satu yang harus menjadi bahan pertimbangan adalah kebutuhan kebutuhan hukum dari ummat Islam yang merupakan bahagian terbesar dari penduduk Indonesia. Karenanya dalan usaha usaha penyempurnaan pembinaan hukum nasional, pembaharuan dan kodifikasi hukum, kebutuhan mayoritas penduduk ini seyogianya mendapat perhatian penuh.
Sebaliknya menjadi persoalan pula bagi kita bagaimana caranya menumbuhkan kesadaran hukum dikalangan umat Islam sendiri, baik terhadap hukum yang diberlakukan di Indonesia secara resmi dewasa ini, maupun terhadap setiap segi hukum Islam yang belum dinyatakan atau belum dijadikan hukum positif menurut penrundang undangan hukum Indonesia.




BAB VII
DASAR-DASAR PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM

ISTIHSAN
Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Istihsan menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah meninggalkan qiyas jali (Qiyas yang nyata) untuk berpindah kepada qiyas khafi (Qiyas yang samar-samar) atau meninggalkan hukum kuli untuk berpindah kepada hukum juz’I atau hukum istisna’I (pengecualian) disebabkan terdapat dalil yang membenarkan kepindahan menurut logika.
Jika seseorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa tetapi tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, maka seorang mujtahi ini menggunakan Qiyas untuk mengetahui hukum tentang peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya. Di dalam menetapkan hukum menurut istihsan ialah menggunakan Qiyas yang samar-samar dengan meninggalkan qiyas yang nyata. Demikian juga seorang mujtahid menemukan satu peristiwa, ia dalam menetapkan hukum itu menggunakan ddalil ististnai dan meninggalkan dalil yang bersifat kuli. Kedua cara yang ditempuh oleh mujtahid itu disebabkan karena terdapat kebaikan yang dapat diterima oleh logika.

Macam-macam Istihsan
Berdasarkan pengertian Istihsan menurut syara’, berarti istihsan dapat dibagi menjadi dua bagian :
Istihsan yang mengutamakan qiyas khafi dar pada qiyas jali. Contoh :
Apabila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka menurut qiyas hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan lorong-lorong di ats tanah tersebut tidak termasuk yang diwaqafkannya jika tidak disebutkan pada waktu penyerahan tanah waqaf itu, Menurut istihsan jika seseorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan hal-hal yang ebrkaitan dengan tanah itu termasuk di dalam pengertian waqaf secara langsung. Adapun segi istihdannya ialah bahwa tujuan berwaqaf itu ialah untuk memberikan manfa’at sesuatu benda yang diwaqafkan kepada yang diberi waqaf.
Sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti burung rajawali burung elang dan sebagainya menurut istihsan adalah suci, jika sisa minuman dari burung-burung yang diharamkan dagingnya adalah najis karena diqiyaskan dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas seperti singa, harimau, serigala dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena hukum sisa minuman dari binatang-binatang buas itu mengkuti kepada hukum dagingnya yaitu haram sehingga minuman sisa binatang-binatang itu menjadi najis
Dalam hal ini seorang mujtahid tidak menggunakan qiyas jalli yaitu qiyas sisa munuman burung-burung buas kepada sisa minuman binatang buas; tetapi berpindah kepada qiyas khafi yaitu mengkiyaskan paru burung-burung buas itu dengan tulang. Tulang jika menjadi air, maka air yang terkena tulang itu tidak menjadi najis. Demikian juga air sisa burung-burung buas itu meminumnya melalui paruh yang dapat diqiyaskan dengan tulang.
Meninggalkan hukum kulli untuk beralih kepada hukum istihsan. Contoh :
Menurut hukum kulli (prinsip secara umum), syara’ melarang memeperjualbelikan barang-barang yang belum yang belum ada pada saat aqad terjadi. Tetapi menurtu hukum ististanai menjalankan salam (jual beli dengan pembayaran terlebih dahulu tetapi benda yang dijual belikan dikirim kemudian) menurut istihsan diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena ada sesuatu yang dianggap membawa kebaikan dalam kehidupan. Hukum kulli menetapkan tidak sah menjalankan jual beli dengan cara salam, tetapi menurut hukum istitsnai jual beli secara salam ini dibenarkan menurut istihsan.
Seseorang yang ditahan untuk membelanjakan hartanya karena pemboros menurut hukum kulli tidak sah menjalankan transaksi. Tetapi menurtu istihsan seseorang yang beramal sosial dari hartanya sendiri diperbolehkan karena terdapat kebaikan di dalam pelaksanaan beramal sosial daris eseorang yang ditahan untuk mentasharufkan hartanya karena pemboros.

Kehujjahan Istihsan
Pada dasarnya istihsan ini tidak berdiri sendiri sebagai sumber hukum tetapi termasuk di dakam qiyas, atau merupakan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli. Hal ini disebabkan karena mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Para ulama yang berpegang kepada istihsan sebagai sumber hukum kebanyakan alasan sebagai berikut : Menetapkan dalil dengan istihsan sebenarnya adalah penggunaan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jali atau mengecualikan suatu hukum dari hukum kulli karena kedua usaha ini mengandung masalahp-masalah dan usaha menetapkan dali dengan dua cara seperti ini adalah termasuk usaha yang shahih. Selain usaha-usaha Hafiyah maupun fuqoha Malikiyah baru memakai dalil istihsan apabila penerapan hukum berdasarkan qiyas jali itu mengakibatkan kejanggalan dan ketidakadilan. Menurut Imam Syafi’I istihsan itu adalah berarti menetapkan suatu hukum syara’ menuurut kemauan hawa nafsu. Letak perbedaan antara ulam ayang pro dan ulama yang kontra terhadap istihsan ialah pemahamannya terhadap ungkapan istihsan sendiri. Bagi yang kontra terhadap istihsan menganggap bahwa istihsan itu adalah usaha untuk menetapkan hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata-mata didasarkan kepada hawa nafsunya. Padahal sebenarnya dimaksud dengan istihsan itu adalah sah untuk mendapatkan kemaslahatan dalam kehidupan.

ISTISHHAB
Pengertian Istishhab
Istishhab menurut bahasa artinya pengakuan terhadap hubungan pernikahan. Menurut istilah ulam Ushul Fiqih istishhab ialah menetapakan sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan tersebut. Atau menurut ibarat lain istishhab ialah menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa yang lalu secara abadi berdasarkan keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Contoh :
Amin menikahi Aminah secara sah. Setelah itu Amin meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian yang saha. Dalam keadaan Aminah ditinggalkan oleh suaminya ada seorang yang ingin menikahi Aminah bernama Ahmad. Keinginan Ahmad untuk menikahi Aminah tidak dapat dilangsungkan karena Aminah menurut status hukumnya adalah istri dari Amin. Selama tidak ada bukti bahwa Aminah telah dicerai oleh Amin maka status Aminah tetap sebagai istri Amin.

Macam-macam Istishhab
Istishhab ada dua macam. Pertama : Istishhab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau bara atul ahsliyah (kemurnian menurut aslinya). Contoh :
1) Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah hukumnya. Hal ini disebabkan karena Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini dapat dimanfa’atkan oleh seluruh manusia
2) Ketetapan tidak wajib menjalankan shalat fardh 5 kali dalam sehari semalam adalah berdasarkan istishhab kepada hukum akal dengan bara-atul ashliyah (bebas menurut aslinya). Hal ini disebbakan karena tidak ada dalil yang menetapkannya.
Kedua, Istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil yang mengubahnya.
Contoh : Hukum-hukum yang diciptakan oleh syar’I berdasarkan sebab-sebab tertentu. Oleh karena itu apabila sebab-sebab itu dengan yakin maka tercipatalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. Dalam suatu contoh yang lebih nyata apabila ada seserang yang berwudlu, kemudian ragu apakah sudah bata atau belum, maka ia dihukum sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudlu berdasarkan istishhab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya. Pada umumnya orang Ushul Fiqih berpendapat bahwa istishhab merupakan tempat fatwa yang berakhir untuk mengetahui sesuatu berdasrkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yange mengubahnya. Hal ini merupakan metode di dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan manusia pada penetapan hukum mereka. Sebagai contoh serang yang bepergian dengan tisak diketahui kabar beritanya apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dan tidak diketahui pula tinggalnya, orang seperti ini secara hukum ia ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan keadaan semual sewaktu ia bepergian sampai ada bukti yang menunjukkan kematiannya.

MASHALIHUL MURSALAH
Pengertian Mashalihul Mursalah
Yang dimaksud dengan mashalihul mursalah ialah suatu kemaslahatan yang ditetapkan oleh syara’ dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkannya. Mashlahajh seperti ini disebut dengan mashalahat mutalak karena tidak terkait oleh dalil yang menyatakan benar atau salah. Adapun mashlahah yang ditetapkan oleh dalil syara’ disebut dngan mashlahah mu’tabarah. Contoh mashlahah mursalah ialah kemaslahatan yang dilaksnakan oleh para sahabat di dalam mengisyaratkan adanya penjara, dicetaknya mata uang, ditetapkanya pajak penghasilan dan kemaslahatan0kemaslahatan yang lain yang diadakan berdasarkan keperluan dalam kehidupan.
Adapun contoh mashlahah mu’tabarah uaitu mashlahah dalam pemeliharaan kehidupan ummat manusia berupa hukum qishas, hukum potong tanganbegi pencuri yang sudah sampai kepada nisab atau dara bagi orang yang zina dan hukum-hukum lain yang telah ditetapkan berdasarkan dalil nash. Sedangkan mashlahah yang tidak terdapat dalam nash-nash syara’ inilah yang disebut dengan mashlahah mursalah.
Contoh lain yang dapat dikemukakan ialah seseorang yang mengadakan transaksi jual beli untuk dinyatakan dengan tidak tercata, tidak dapat dipakai dasar untuk menyatakan bahwa jual-beli itu tidak sah berdasarkan kepada mashlahah.

Kehujjahn Mashlahah Mursalah
Jumbur ulama menetapkan bahwa mashalaha mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum berdasarkan alasan sebagai berikut
a. kemaslahatan manusia itu berkembang dan bertambah terus, mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan ini hanya mempedomani kepada kemaslahatan yang terdapat pada nash saja maka ada kemungkinan pada periose teertentu akan mengalami kekosongan hukum, dan dengan demikian hukum Islam tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan hukum Islam ialah untuk menciptakan kemaslahatan manusia pada semua tempat dan waktu.
b. Menurut penelitin bahwa hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang diproduksi oleh para sahabat tabi’in dan imam-imam mujtahid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Kalau sesudah periode itu tidak ada lagi prduk kemaslahatan maka keadaan umat setelah periode ini akan menemui kesulitan dalam menghadapi kehidupan.

Syrat-syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Untuk menjadikan mashlagag mursalah sebagai hujjah harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut :
a. Maslahah tersebut haruslah mashahah yang haqiqi bukan hanya berdasarkan kepada perkiraan saja. Jadi masalah ini adalah mashlahah yang benar-benar dapa membawa manfaat dan dapat menolak kemudharatan.
b. Kemaslahatan itu hendaklah kemashlahatan yang umum bukan kemashlahatan yang khusus untuk seserang. Oleh karena itu kemashlahatan itu harus dimanfa’atkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemadharatan yang menimpa orang banyak.
c. Kemasghlahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang tekah digariskan oleh nash atau ijma’.

‘URF (ADAT KEBIASAAN)
Pengertian ‘Urf
‘Urf (adat kebiasaan) adalah segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia dan telah dibiasakan oleh mereka dan dijalankan secara terus menerus baik berupa perkataan atau perbuatan. Sebab contoh ‘urf dalam bentuk perkataan mislanya perkataan w\”walad” (anak) menurut bahsa sehari-hari hanya termasuk dalam perkataan walad. Itu. Contoh yang lain perkataan “lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak termasuk daging ikan.
Se bagai contoh ‘urf yang berupa perbuatan (‘urf amali) seperti jual beli dengan cara pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas benda yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab qabul karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.
‘Urf berbeda dengan ijma’ karena ‘urf itu terjadi berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan mereka. Sedang ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari kalangan para mijtahidin. Dalam ijma’ ini orang-orang umum tidak ikut dalam pembentukan ijma’.

Macam-macam ‘Urf
‘Urf ada 2 macam, yaitu ‘urf shahih (benar) ‘urf fasid (rusak.
‘Urf shahih ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan adat kebiasaan itu tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan yang wajib. Hal ini dapat dicontohkan seperti adat kebiasaan dalam dunia perdagangan dengan pembelian secara indent (Pembelian dengan cara memberikan pembayaran terlebih dahulu sedangkan benda yang dibeli akan dterima oleh pembeli dalam waktu kemudian). Adat kebiasaan shahih juga dapat dicontohkan seperti pembayaran mahar secara kontan atau hutang, kebiasaan seseorang melamar dengan memberikan sesuatu kepada pihak perempuan sebagai hadiah dan bukan sebagai mahar. Masih banyak adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
‘Urf fasid ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan adat kebiasaan itu bertentangan dengan syari’at, mungkin karena membawa kepada menghalakan yang haram atau membatalkan yang wajib. Ada kebiasaan ini dapat dicontohkan seperti mengandung unsur syirik atau kebiasaan-kebiasaan yang diiringi dengan minum-minuman yang haram, dan sebagainya.

Kedudukan ‘Urf
a. ‘urf shahih dipelihara oleh mujtahid, di dalam menciptakan hukum-hukum Islam dan oleh hakim dalam memtuskan perkara yang diajukan oleh masyarakat. Adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat merupakang kebutuhan dan menjadi mashlahat di kalangan masyarakat itu. Selama itu tidak bertentangan dengan syari’at hendaknya kebiasaan itu tetap dipeliharanya. Dalam halini para ulama ahli Ushul Fiqih mencipatakan kaidah yang berbuny (adat kebiasaan itu meupakan syar’at yang ditetapkan sebagai hukum).
b. ‘urf fasid tidak perlu diperhatikan dan dipertahamnkan karena mempertahankan ‘urf fasid berarti menentang dalil syara’ atau membatalkannya. Oleh sebab itu kebiasaan mengadakan transaksi jual beli mengandung riba atau kebiasaan lain menghalalkan transaksi itu. Hanya saja transaksi seperti itu dapat ditinjau dari segi lain yaitu misalnya transaksi semacam itu sangat dibutuhkan, atau dari segi darurat baru transaksi itu dibolehkan untuk mengerjakannya. Jadi transaksi jual beli yang mengandung riba dibolehkan karena alasan darurat bukan karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh orang banyak.

SYAR’U MAN QABLANA (Syari’at Sebelum Islam)
Apabila Al-Quran atau Hadits Shahih menerangkan tentang suatu hukum yang diisyaratkan oleh Allah SWT kepada ummat sebelum Islam, kemudian Al-Quran atau hadits tersebut menetapkan bahwa ulama sepakat bahwa hukum itu adalah merupakan syari’at bagi kita sebagai hukum yang harus diikuti. Hal ini dapat dicontohkan seperti kewajiban puasa yang diwajibkan bagi ummat sebelum Islam dan juga bagi kita selaku ummat Islam.
Allah SWT berfirman




Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al-Baqarah : 183)
Demikian juga jika Al-Quran atau Hadits shahih menerangkan tentang suatu hukum yang disyari’atkan bagi ummat terdahulu kemudian hukum itu disusul oleh dalil syara’ yang membatalkannya maka para ulama juga sepakat bahwa hukum itu bukanlah merupakan hukum syara’ bagi kita. Hal ini dapat dicontohkan seperti syari’at yang berlaku pada zaman Nabi Musa A.S., bahwa seserang berbuat maksiat tidak dapat diampuni dosanya kecuali ia membunuh dirinya. Demikian juga pakaian yang terkena najis tidak dapat disucikan kembali sebelum dipotong bagian yang terkena najis itu.
Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang dilakukan oleh ummat Nabi Musa AS antara lain ialah firman Allah SWT :


Artinya : dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.(Hud : 3)
Taubat menurut syari’at Islam harus memenuhi tiga syarat yaiu berhenti dari berbuat ma’siat, menyesali perbuatan ma’siat yang dikerjakan dan berniat tidak akan mengulangi lagi perbuatan ma’siat itu.
Adapun dalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang terkena najis bagi kamu Nabi Musa ialah Firman Allah SWT.



Artinya : dan pakaianmu bersihkanlah, (Al-Mudatsir : 4)
Hukum yang diterangkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak ada nash yang menunjukkan bahwa hal itu wajab bagi kita sebagaimana diwajibkan juga kepada mereka atau diperselisihkan oleh para ulama. Allah SWT berfirman sebagai berikut :







Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah : 32
Allah SWT berfirman :




Artinya : Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (Al-Maidah :45)
Dalam hal ini menurut kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syari’at yang ditetapkan untuk ummat Bani Israil juga berlaku bagi ummat Islam karena ayat ini tidak dinashahkan oleh dalil lain. Dengan demikian maka orang Islam yang membunuh kafir dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh perempuan harus dihukum qishas sebagaiman hukum yang berlaku bagi orang-orang Bani Israil. Menurut ayat ini bagi orang yang membunuh orang lain harus dibunuh juga, dengan tidak membedakan antara muslim dan kafir dan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayar’at yang berlaku untuk ummat terdahulu tidak berlaku bagi ummat Islam sekarang ini. Hal ini disebabkan karena syari’at yang berlaku bagi umat kita sekarang ini telah menashahk (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan bagi ummat sebelum kita, kecuali ada dalil yang menetapkan bahwa syari’at itu juga berlaku bagi kita.

SADDUDZ DZARAI’
1. Pengertian
Saddudz Dzarai’ ialah menutup pintu-pintu (melarang perkara-perkara) yang menurut dzhairnya adalah mubah tetapi perkara itu menjadi pendorong untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’.
2. Kedudukan Saddudz Dzarai’
Imam Malik menetapkan adanya Saddudz Dzarai’ sedang kebanyakan ulam ayang lain tidak menetapkannya. Menurut Imam Malik bahawa hal-hal yang mudah itu harus dilarang kalau memang benar-benar membuka jalan ke arah ma’siat. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal yang mudah itu tidak boleh dilarang karena hukum ashalnya ialah mubah. Adapun alasan bagi ulam ayang berpendapat melarang yang mubah yang akan membuka jalan kearah yang ma’siat ialah hadits sebagaimana berikut ini :







Artinya : “Tinggalkan apa yang meragukan padamu kepada yang tidak meragukan.” (HR. Tirmidzi).
Hadits lain menyatakan sebagai berikut :




Artinya : “Siapa yang berputar-putar di sekitar larangan-larangan Tuhan ia akan jautuh di dalamnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Agar seorang tidak terjatuh di dalam satu larangan hendakalah menjauhkan diri dari larangan itu.

MASDZHAB SHAHABI
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah perkataan para sahabat Nabi yang bukan berdasarkan kepada pemikiran semata-mata adalah menjadi hujjah bagi ummat Islam. Yang demikian karena apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohkan seperti perkataan Aisyah r.a. :



Artinya : “Kandungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih panjang bergesernya bayang-bayang benda yang ditancapkan dari dua tahun”. (HR Ad-Daruqthni)
Menurut keterangan Aisyah ra. Ini bahwa waktu mengandung maksimal adalah dua tahun tidak lebih sedikitpun. Pendapat ini tidaklah semata-mata hasil ijtihat atau pwnywlidikan yang dilakukan oleh Aisyah ra. Dengan demkikian keterangan ini adalah bersumber dari apa yang telah didengarnya dari Rasulullah SAW, meskipun secara lahiriyah pendapat ini diungkapkan oleh Aisyah ra.
Demikian juga perkataan shahabat yang lain adalah menjadi hujjah bagi orang Islam. Dalam hal ini disebabkan persesuaian antara para sahabat dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW. Pengetahuan para sahabat yang mendalam mengnai rahasias-rahasia syari’ah itu adalah menjadi bukti berdasarkan kepada dalil yang qoth’I dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohakan seperti keputusan khalifah Abu Bakar ra mengenai bveberapa orang nenek yang mewariskan bersama-sama mendapatkan seperenam harta peninggalan yang dibagikan kepada mereka secara merata. Dalam hal ini tidak seorang sahabat pun yang bereaksi keputusan Khalifah Abu Bakar ini.
Adapun perkataan para sahabat yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabt ini dapat dijadikan sebagai hujjah. Selanjutnya Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila aku tidak mendapat ketentuan dari kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku meninggalkan pendapat sahabat lain yang tidak kukehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat para sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain pendapat sahabat”. Perkataan Imam Abu Hanifah membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat. Dalam hal ini Imam Abu Hanfah tidak mengambil qiyas selama masih ada fatwa dari shahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang saja yang dikehendaki.
Imam Syafi’I tidak sependapat, jika pendapat salah seorang sahabat itu menjadi hujah. Imam Syafi’I membolehkan melawan pendat seluruh sahabat untuk berijtihad menteapkan pendapat para sahabat itu tidak lain adalah kumpulan ijtihan perorangan yang tidak luput dari kesalahan. Seorang sahabat dapat berpendapat berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain, maka para mujtahid setelah sahabatpun demikian juga halnya. Oleh sebab itu Imam Syafi’I berpendapat : “Menetapkan hukum atau memberi fatwa tidak boleh selain berdasarkan dengan dasar yang kuat yaitu Al-Kitab, Al-Hadits, pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan atau qiyas kepada salah satu yang telah disebutkan.

DILALAH IQTIRAN
Pengertian
Dilalah Iqtiran ialah apabila ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan yang lain karena kedua-duanya disebut bersama-sama dalam dalil itu juga. Iqtiran artinya bersama-sama (berbarengan).
Pendapat Ulama tentang Dilalah Iqtiran
Sebagian golongan Hafiyah dan sebagi golongan Syafi’iyah serta sebagian golongan Malikiyah menggunakan dilalah iqtiran menurut jumhur ulama mereka tidak membenarkan untuk menetapkan dilalah iqtiran yaitu bahwa kuda tidak wajib dizakati sebagaiman keledai juga tidak wajib dizakati. Kedua-duanya disebvutkan bersama-sama dalam satu ayat sebagaiman Firman Allah SWT berikut ini :




Artinya : dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (An-Nahl : 8)
Jika keledai tidak wajib dizakati maka kudapun tidak wajib dizakati juga. Dalam hal ini wau athaf menunjukkan bersekutu (berbarengan) tentu saja bersekutu di dalam hukumnya. Kalau yang satu wajib yang lainnya juga wajib. Bagi yang berpendapat bahwa dilalah iqtiran tidak dapat dijadikan sebagai hujjah bahwa dua hal yang hukumnya sama yang disebutkan secara berbarengan bukan karena dilalah iqtiran tapi semata-mata karena keduanya itu mempunyai ilalat yang sama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT sebagi berikut :



Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, (Al-Fath : 29)
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad SAW adalah Rasul Allah sedangkan orang-orang yang besertanya tidak ikut menjadi Rasul, mereka ini keras terhadap orang-orang kafir.




BAB VIII
KAIDAH-KAIDAH/POKOK-POKOK FIQIH ISLAM

A. AMAR DAN NAHI
1. Pengertian Amar
Amar menurut istilah ulama ahli Ushul Fiqih ialah perintah dari atasan kepada bawahannya. (dari Tuhan kepada manusia), tentang sesuatu perbuatan yang harus dilakukan.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa amar itu suatu perintah yang harus dilakukan oleh orang yang diperintah yang datangnya dari atas kepada bawahannya. Dalam hal ini perintah-perintah itu tercantum di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut pengertian ini perintah atau permintaaan sesuatu kepada sesamanya yang sederajat (iltimas) atau permintaan sesuatu dari bawahan kepada atasan (du’a) maka kedua-duanya itu tidak termasuk dalam lingkup amar.

2. Bentuk-bentuk Amar
a. Fi’il amar
Contoh :



Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku (Al-Baqoroh : 43)

b. Fi’il Mudhari’ yang didahuluI oleh lam Amar
Contoh :





Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (Ali Imran : 104)

c. Isim Fi’il
Contoh :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (Al-Maidah : 105)

d. Jumlah khobariyah (kalimat berita) yang diartikan sebagi jumlah isyaiyah (kalimat yang mengandung tuntunan)
Contoh :




Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqoroh : 228)
Bentuk-bentuk amar selain yang dikemukakan pada uraian sebelumnya masih ada lagi bentuk amar yang lain.
Menurut kaidah yang asli bagi bentuk amar adalah untuk mewajibkan sesuatu perintah yang terkandung di dalam amar itu. Tetapi jika ada suatu keterangan yang dapat mengalihkan lafadz amar itu dari arti wajib kepda arti yang lain maka bentuk amar itu dimaksudkan sebagaimana dikehendaki oleh qarinah (keterangan) tersebut. Dalam hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut :
1) Amar yang menunjukkan nad atau sunnat
Contoh :


Artinya : …. hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, …. (An-Nur : 33).

2) Amar yang menunjukkan Irsyada atau pengarahan
Contoh :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Al-Baqoroh : 282).

3) Amar yang menunjukkan Ibahah atau membolehkan
Contoh :

Artinya : ….dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (Al-Baqoroh : 187).

4) Amar yang menunjukkan Doa atau berdoa
Contoh :



Artinya : …"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".

5) Amar yang menunjukkan ta’jiz taua memperlihatkan kelemahan lawan
Contoh :


Artinya :…. Maka buatlah satu surat (saja) semisal Al-Quran itu …. (Al-Baqoroh : 23).

6) Amar yang menunjukkan tahdi anacaman
Contoh :


Artinya : …. perbuatlah apa yang kamu kehendaki …. (Fushilat : 40)

7) Amar yang menunjukkan indzar atau menakut-nakuti
Contoh :



Artinya : Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka" (Ibrahim : 30).

8) Amar yang menunjukkan ikram atau menunjukkan penghormatan
Contoh :



Artinya : "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman" (Al-Hijr : 46)

9) Amar yang menunjukkan tskhir (merendahkan)
Contoh :
Artinya :jadilah kamu kera yang hina ( Al-Baqoroh : 65)

10) Amar yang menunjukkan ihanah (penghinaan)
Contoh :


Artinya : Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.(Ad-Dukhan : 49).

3. Nahi dan Larangan
a. Pengertian
Nahi ialah perintah meninggalkan suatu perbuatan dari atasan kepada bawahannya.
Yang dimaksud dengan larangan dari atasan kepada bawahannya ialah larangan dari Tuhan kepada manusia. Nahi dalam bahasa lain sering disebut dengan mencegah (al-mani’)
Pada dasarnya nahi itu menunjukkan kepada hukum haram sebagai ulam ada yang berpendapat bahwa nahi pada dasarnya menunjukkan makruh tetapi jika ada satu qarinah (keterangan) yang menunjukkan bahwa nahi itu bisa saja untuk menunjukkan selain hukum haram. Contoh nahi yang menunjukkan hukum haram :



Artinya : “Janaganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ini” (Al-Baqarah : 11)
Contoh yang lain dapat dikemukakan sebagai berikut :



Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (Ali Imran : 130).
Adapun bentuk-bentuk nahi yang menunjukkan hukum yang tidak haram antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
Nahi yang menunjukkan karahah (makruh)
Contoh :
ﻝﺒﻻﺍﻥﺎﻄﻋﺃﻲﻓﺍﻮﻠﺼﺘﻻﻮ
Artinya :janganlah kamu shalat di kandang unta (H.R. Ahmad dan Tabrani).
Nahi yang menunjukkan do’a (mendo’a)

Contoh :



Artinya : (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)."(Ali Imran : 8)

Nahi yang menunjukkan Irsyad (memberi petunjuk baik)
Contoh :



Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu (Al-Maidah : 101).
Nahi yang menunjukan tahqir (meremehkan).

Contoh :



Artinya : Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), (Al-Hijr : 88).

Nahi yang menunjukkan ta’yis (putus asa)
Contoh :



Artinya : Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.(At-Tahrim : 7).

B. MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
1. Mutlaq
a. Pengertian Muthlaq
Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti sebenarnya dengan tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain.
Jadi lafadz muthlaq ini masih dalam keadaannya yang asli tanpa batas-batasan dengan sesuatu lafadz. Hal ini dapat kita conohkan seperti lafadz “aidiyakum” pada surat An-Nisa 43 tentang tayamum sebagai berikut :


Artinya: …. kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu
Dalam ayat ini mengusap tangan dengan tidak dibatasi (diterangkan) sampai dimana. Oleh karena itu lafadz “aidiyakum” tidak dibatasi lafadz lain.
Contoh lafadz muthlaq yang lain ialah lafadz “rokobah” yang artinya budak, tercantum dalam surat Al-Mujadilah : 3


Artinya: …. maka wajib atasnya memerdekakan budak … (Al-Mujadalah : 3).
Lafadz “rokobah” pada ayat ini tidak dibatasi dengan lafadz lain, artinya dalam memerdekakan budak tidak diterangkan budak yang bagaimana yang penting adalah budak baik yang mukmin atau yang tidak mukmin.

b. Pengertian Muqayyad
Muqayyad ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya yang dibatasi oleh sesuatu batasan tertentu. Batasan yang membatasi lafadz muqayyad yaitu (Al-qoyid). Contoh lafadz muqayyad yaitu disebut Al-Qoyyid yang tercantum pada Surat Al-Maidah ayat 6 yang menerangkan tentang cara berwudlu sebagai berikut :




Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, ….
Dalam ini lafadz “aidiyakum” dibatasi oleh lafadz “ilal marofiki” sehingga lafadz “aidiyakum” disebut dengan Al-Muqayyad. Contoh lain yaitu lafadz “rokobatim mu’minatin” pada surat An-Nisa ayat 92 sebagai berikut :

Artinya : Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min karena tersalah (handaklah) ia memerdekakan seorang hamba yang beriman … (An-Nisa : 92).
Menurut ayat ini lafadz rokobah disebut muqayyad karena dibatasi oleh lafadz mu’minatin, lafadz mu’minatin ini disebut qaid.

c. Ketentuan Muthlaq dan Muqayyad
Apabila ada suatu lafadz di suatu tempat disebutkan dengan lafadz muthlaq sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayad maka ada 4 macam ketentuan
Pertama, Kedua lafadz itu kedua-duanya mempunyai persamaan dalam sebab dan hukumnya mak yang muthlaq harus diikuti kepada yang muqayyad. Contoh :



Artinya: Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi … (Al-Maidah : 3).
Lafadz “damaa” (darah) yang diharamkan oleh surat Al-Maidah ayat 3 disebutkan dengan lafadz muthlaq. Kemudian di dalam suarat Al-An’am ayat 145 Allah SWT menerangkan bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang mengalir, sebagai firmannya berikut ini :




Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi (Al-An’am : 145).
Pada ayat ini lafadz “damaa” (darah) dibatas dengan lafadz masfuuhaa (mengalir). Sesuai dengan ketentuan di atas bahwa yang muthlaq diikuti kepada yang, muqayyad, maka yang dikehendaki dengan darah yang tercantum dalam suart Al-Maidah ayat 3 adalah darah yang mengalir sebagaimana tercantum dalam surat Al-An’am ayat 145. Kedua ayat ini mempunyai sebab yang sama yaitu keadaannya sama-sama berupa darah dan juga mempunyai hukum yang sama yaitu kedua-duanya hukumnya haram.
Kedua, perbedaan sebab tetapi persamaan hukum. Demikian ini yang muthlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad, contoh :




Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.(Al-Mujadilah : 3).
Ayat yang lain menjelaskan sebagai berikut :



Artinya: Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min karena tersalah (handaklah) ia memerdekakan seorang hamba yang beriman … (An-Nisa : 92).
Menurut surat Al-Mujadilah ayat 3 yang menjadi sebab untuk memerdekakan budak ialah orang yang bersumpah dzihir kemudian menarik kembali. Sedangkan pada suart An-Nisa ayat 92 yang menjadi sebab memerdekakn buadak ialah karena ayat ini mempunyai hukum yang sama-sama memerdekakan budak
Karena dua ayat ini sama-sama menyebutkan lafadz “roqobah” yang satu dengan lafadz muthlaq dan yang lain dengan lafadz muqayyad kedua-duanya mempunyai sebab yang berbeda dan hukum yang sama yaitu sama-sama memerdekakan budak, maka dalam hal ini yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad; yaitu orang yang melakukan sumpah dzihar hukumnya memerdekakan budak tidak perlu budak mikmin, sedangkan orang yang membunuh mukmin yang bersalah hukumnya adalah memerdekakn budak yang mukmin.
Ketiga, perbedaan dalam hukum dan sebab maka yang muthlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Contoh :




Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (Al-Maidah : 38).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:


Keempat, hukumnya tidak sama tetapi sebab yang diapakai untuk menetapkan hukum adalah sama. Demikian yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap pada muqayyadnya. Contoh :




Artinya: … bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. (An-Nisa : 43).
Bandingkan dengan ayat tentang wudlu sebagai berikut :



Artinya: … maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai sikut…(Al-Maidah : 6)
Pada ayat tentang tayamum cara mengusap tangan tidak dibatasi dengan suatu keterangan, tetapi ayat yang menerangkan tentang wudlu, membasuh tangan dibatasi sampai siku. Dalam hal ini sebabnya berbeda yaitu yang satu karena wudlu dan yang satu lagi sebabnya adalah karena tayamum. Tetapi keduanya mempunyai hukum yang sama yaitu sama-sama membasuh/mengusap tangan. Maka dalam hal ini yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad. Jadi membasuh tangan dalam wudlu sampai siku tetapi mengusap tangan pada tayamum mestinya pergelangan tgangan. Tetapi dalam hal ini ulama-ulama Syafi’iayah dalam menetapkan mengusap tangan ketika tayamum sampai kepada siku karena ada hdits yang menyatakan sebagai berikut:
Artinya :“Tayamum itu dua kali sapuan. Sekali sapu untuk muka dan sekali sapu pada kedua tangan sampai dengan kedua siku”. (H.R. Ad-Daruquthni)
Ulama Hanfiyah, ulama Malikiyah dan Hanabilah mewajibkan menyapu anggta tayamum hanya sampai pergelangan tangan saja, tidak sampai siku, sesuai dengan ketentuan diatas. Adapun hadit tayamum yang menjelaskan bahwa menyapu tangan itu sampai suiku, oleh beliau dipadang bukan sebagai hadits yang shahih.

C. MANTUQ DAN MAFHUM
1. Pengertian Mantug dan Mafhum
a. Pengertian Mantuq
Mantuq ialah sesuatu hal yang hukum yang diterangkan oleh sesuatu lafadz menurut bunyi lafadz itu sendiri (menurtu ucapannya).
Apabila sesuatu hal atau sesuatu hukum diambil berdasarkan bunyi dari dalil itu mak yang demikian itu disebut muthlaq. Jadi menurut mathruqnya yang dimaksudkan adalah menurut apa adanya yang terdapat dalam dalil itu. Contoh :



Artinya: Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janjimu
Bunyi tersebut dalam ayat ini menunjukkan bahwa menepati janji itu hukumnya wajib (menurut manthuqnya), maka menepati janji itu hukumnya wajib.

b. Pengertian Mafhum
Mafhum ialah suatu hal atau hukum yang diterangkan oleh suatu lafadz tidak menurut bunyi lafadaz itu sensiri tetapi menurut pemahaman atau menurut makna yang terkandung dalam lafadz itu. Contoh firman Allah SWT sebagai berikut :



Artinya: Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, (At-Thalaq : 6).
Ayat ini mengandung hukum yang tidak tertulis (menurut mafhumnya) ialah peremopuan yang dithalaq yang tidak hami itu tif\dak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya.

c. Pembagian Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
Yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah ialah mafhum yang apabila hukum yang tidak disebut dalam lafadz itu sesuai dengan yang disebutkan dalam lafadz tersebut (tidak berlawanan), Contoh :



Artinya: “Maka janganlah berkata cis kepada kedua orang tua….” (Al-Isra : 23).
Menurut ayat ini berkata cis kepada kedua orang tua hukumnya haram, maka menurut mafhumnya memukul orang tua hukumnya haram juga karena kedua-duanya mempunyai illat yang sama yaitu sama-sama menyakiti hati. Jika di dalam mafhum muwafaqoh yang tidak disebut dalam lafadz itu keadaannya lebih berat daripada yang disebut dalam lafadz yang demikian itu disebut dengan fahwal khitab. Hal ini dapat dicontohkan seperti memukul orang tua dibanding dengan berkata cis, seperti yang diterangkan sebelumnya. Jika yang disebut dalam lafadz keadaannya lebih ringan atau sama berat dari apa yang disebutkan dalam lafadz, maka yang demikian itu disebut lahnal khitab. Hal ini dapat dicontohkan dengan mengucapkann lafadz yang kasar kepada orang tua.
2. Mafhum Mukahlafah
Yang dimaksud dengan masfhum mukhalafah ialah apabila hukum yang tidak disebut lafadz itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam lafadz itu. Contoh :



Artinya: Maka deralah mereka sebanya 80 kali (An-Nur : 4).
Menurut mafhum mukhalafah dari ayat ini, mendera lebih dari 80 kali hukumnya adalah haram karena berlawanan dengan ketentuan yang terdapat dalam lafadz nash itu.
Berhujjah dengan mafhum mukhalafah hukumnya mubah. Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama memperbolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah kecuali mafhum mukhalafah. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa menyebutkan sesuatu sifat belum tentu berarti meniadakan sifat-sifat yang lain, tetapi harus ada dalil lain yang menunjukkan. Kita tidak boleh mengambil hukum kebalikan yang terdapat di dalam nash dengan begitu saja tanpa ada dalil yang menentukannya.
a) Macam-macam mafhum Mukhalafah
1) Mafhum Sifat
Mafhum Sifat ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat ’anhu melalui sifat yang terdapat da;am manthuq.
Contoh :



Artinya: “… ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki (An-Nisa : 25).
Pada ayat ini dikatakan bahwa bagi seorang muslim yang tidak cukup belajanya untuk mengawani wanita yang mukmin maka ia boleh mengawini budak wanita yang mukmin. Berarti menurut mafhumnya tidak boleh mengawini wanita yang bukan mukmin.
2) Mafhum Ghayah
Mafhum Ghayah ialah menetapkan lawan hukum bagi maskut ‘anhu dengan melalui ghaya (balasan)
Contoh :



Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.(Al-Baqoroh : 230)
Menurut ayat ini maka mafhum mukhalafahnya ialah halal mengawini mantan istri yang sudah ditalak tiga jika mantan istri itu telah dikawini laki-laki lain dan telah dicerai sesudah dikumpulinya.
3) Mafhum Syarat
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi dengan satu syarat.
Contoh :



Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya An-Nisa : 4).

Menurut manthuq dari ayat ini, seorang suami dibolehkan memakan sebagian maskawin yang pernah diberikan kepada isterinya dengan syarat bahwa isteri tersebut menyerahkan dengan suka rela. Mafhum mukhalafahnya yaitu suami tidak diperkenankan memakan maskawin apabila isteri tidak menyerahkan.
4) Mafhum ‘Adad
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi dengan bilangan yang sudah tertentu. Contoh :


Artinya: maka siapa yang tidak puas maka wajib memberi makan 60 orang miskin (Al-Mujadilah : 4).
Menurut manthuq bahwa kafarat dzihir itu bila tidak dapat memerdekakan budak hendaknya diganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Mafhum mukhalafahnya ialah tidak boleh memberikan makan itu kepada orang miskin yang kurang dari 60 atau bahkan lebih dari 60 orang.
5) Mafhum Laqab
Yaitu menetapkan lawan hukum mashut ’anhu dari hukum manthuq dengan isim alam (nama orang), isim sofat (yang menunjukkan kualitas atau aktivitas) dan isim jains (nama untuk materi tertentu). Contoh firman Allah sebagai berikut :



Artinya: ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: wahai ayahku sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang (Yusuf : 4).
Menurut ayat ini hanya Yusuf saja yang disebutkannya. Mafhum mukhalafahnya ialah selain Yusuf tidak dapat dimasukkan ke dalam orang yang melapor kepada ayah Yusuf.
6) Mafhum Hashar
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dihasharkan (dikhususkan hanya untuknya). Contoh sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “Hanyalah hak wala’ itu bagi orang yang memerdekakannya” (HR. Bukhari).
Menurut dalil manthuq ini bahwa hak mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah merdeka hanya bagi tuan yang telah membebaskannya. Menurut mafhum mukhalafahnya ialah bahwa selain tuan yang telah membebaskannya tidak mempunyai gak untuk mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah dimerdekakan itu.


D. MUJMAL DAN MUBAYYAN
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal ialah lafadz yang belum jelas yang tidak dapat menyebutkan arti yang sesungguhnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Contohnya lafadz quru’ dalam ayat 228 surat Al-Baqarah sebagai berikut :


Artinya: Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri tiga kali quru’ (Al-Baqoroh : 228).
Lafadz quru’ ini masih mujmal (belum jelas), mungkin berarti suci dan mungkin juga berarti haidh. Dalam hal ini harus ada dalil lain yang menjelaskannya. Menurut Imam Syafi’I lafadz Quru’ berarti suci menurut Imam Abu Hanifah lafadz quru’ berarti haidh.
Lafadz mujmal ada 3 macam yaitu :
a. Lafadz musyatarakyang sulit ditentukan, contoh seperti lafadz qur’an.
b. Ma’na lafadz-lafadz yang menurut bahasa dipindah oleh syari’ kepada ma’na yang pantas untuk istilah syari’ah. Contoh lafadz shalat, zakat dan lain-lain adalah lafadz-lafadz yang dipindahkan oleh syari’ dari ma’na menurut bahasa, kepada ma’na yang khas dalam istilah syari’at.
c. Ma’na lafadz-lafadz yang menurut ma’na yang umum dipergunakan oleh syara’ untuk satu ma’na yang khusus. Contoh ma’na; lafadz Al-Quran menurut syari’ah artinya sama dengan qiamat.
Yang dimaksud dengan mubayyan ialah lafadz yang telah mempunyai arti yang jelas. Jadi lafadz ini sudah jelas artinya tidak perlu membutuhkan kepada penjelasan (bayan) Contoh :



Artinya: Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (Al-Baqoroh : 20)
Ayat ini sudah jelas bahwa Allah ialah Tuhan, yaitu Tuhan yang dipercayai oleh ummat Islam yang berhak disembah dan dimintai segala sesutu. Dalam hal ini sudah jelas bahwa Allah adalah dzat yang Maha Kuasa. Karena jelasnya ibarat ini maka tidak perlu adanya bayan atau penjelasan.
Sedangkan lafadz mujmal yang merupakan lafadz yang belum jelas maka lafadz ini memerlukan bayan atau penjelasan. Yang dimaksudkan dengan bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari keadaan yang musykil (sulita artinya) kepada arti yang jelas.

2. Macam-macam Bayan
a. Bayan dengan perkataan
Contoh firman Allah swt dalam hal puasa tamutu’ :
Ayat ini sebagai bayan terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai pengganti kurban bagi orang yang meninggalkan wajib (sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 166)
Artinya: Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa hajji dan tujuh hari bila kamu telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna (Al-Baqoroh : 196).
b. Bayan dengan perbuatan
Hal ini seperti yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW mengenai cara-cara mengerjakan shalat, melakukan haji dan sebagainya.
c. Bayan dengan tulisan (surat menyurat)
Hal ini dapat dicontohkan seperti surat Abu Bakar kepada Anas selalu panitia zakat di daerah Basharah yang berisi penjelasan Rasulullah tentang macam-macam binatang ternak yang wajib dizakatkan serta masing-masing nasibnya.
d. Bayan dengan isyarat
Hal ini dapat dicontohkan seperti tindakan Rasulullah Saw memegang sutra di tangan kanannya dan emas ditangan kirinya kemudian bersabda : “Sesungguhnya dua macam ini adalah haram bagi orang laki-laki dari ummatku”.
e. Bayan dengan meninggalkan perbuatan setelah beberapa kali perbuatan itu dikerjakannya.
Sebagai contoh Rasulullah Saw pernah menjalankan do’a qunut selama sebulan untuk mend’akan suatu kabilah Arab yangmasih hidup dab akhirnya beliau tidak menjalankan lagi.
f. Bayan dengan diam sesudah ada pertanyaan
Hal ini dapat dicontohkan ketika Rasulullah menerangkan kewajiban haji di muka umum kemidia ada salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun. Beliau dia tidak memberikan jawaban atas pertanya itu. Diamnya Rasul Allah itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu bukan setiap tahun.
g. Bayan dengan macam-macam taksish
Contoh tentang hal ini diberikan pada pembahasan tentang takhsish.

E. MURADIF DAN MUSTARAK
1. Pengertian Muradif dan Mustarak
Muradif ialah beberapa lafadz yang banya mempunyai arti yang satu. Di dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan sinonim. Hal ini dapat dicontohkan lafadz ﺭﺳﺍ dan ﺙﻴﻠ artinya singa : lafadz ﺔﻂﻧﺣ dan ﺢﻣﻗ artinya gandum. Lafadz mustarak ialah lafadz tetapi mempunyai dua arti atau lebih yang sebenarnya arti-arti itu berbeda-beda. Seperti lafadz ﺀﺭﻗ artinya suci atau haidh.
Jika arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain merupakan arti majaz maka yang demikian ini tidak termasuk lafadz musytarak.

2. Hukum Lafadz Muradif
Perbedaan pendapat dalam lafadz muradif ini hanya pada lafadz Al-Quran dan dzikir-dzikir dalam shaalt atu dzikir-dzikir yang lain. Imam Malik berpendapat tidak boleh membaca takbir kecuali dengan lafadz Allahu Akbar. Imam Syafi’I juga berpendapat seperti pendapat Imam Malik. Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan lafadz yang sama artinya dengan Allahu Akbar seperti Allah A’dzam atau Allahu ’Ala atau Allahu Ajjal. Sebab perbedaan pendapat ini ialah apakah kita beribadah dengan lafadz dan ma’nanya atau cukup dengan ma’nanya saja.

3. Hukum Lafadz Musytarak
Apabila ada lafadz musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki ialah salah satu artinya, amka dengan sendirinya lafadz musytarak itu ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena tidak mingkin kita bisa beramal, kecuali dengan cara mengetahui maksud dari lafadz itu yang sebenarnya. Oleh karena itu tiap-tiap lafadz musytarak yang ada di dalam nash baik Al-Quran amaupun Hadits Nabi harus disertai dengan qarinag; qarinah qauliyah (perkataan) atau qarinah haliyah (keadaan/suasana). Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut :





Artinya: istri-istri yang diceraikan hendaklah berdiam diri tiga kali suci/haid.
Lafadz quruin ini mempunyai dua arti yaitu haidh dan suci. Yang dikehendaki oleh ayat ini menurut pendapat Imam Syafi’I ialah suci. Keterangan tentang hal ini adalah sebagai berikut :
Arti quru’an semula ialah waktu yang tertentu. Waktu yang tertentu itu hanya terdapat dalam dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang kepada keadaan yang asal. Maka yang bergilirahn di dini tidak lain adalah datang bulan atau haidh, sebab suci adalah keadaan yang asal. Dari contoh ini dapat diketahui bahwa yang dimaksud lafadz musytarak di sini hanya salah satu artinya saja. Qarinah tentang ini adalah qarinah haliyah (keadaan).



F. DZAHIR DAN TA’WIL
1. Pengertian Dzahir dan Ta’wil
Yang dimaksud dengan dzahir ialah dalil yang dapat menerima ta’wil. Suatu dalil yang memungkinkan untuk dita’wil atau memerlukan ta’wil agar terdapat salah faham sehingga arti tadi bisa lebih sesuai maka dalil yang seperti ini disebut dengan lafadz dzahir. Contoh firman allah SWT sebagai berikut :


Artinya: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah (Al-Baqoroh : 88)
Lafadz dita’wil dengan dzat Allah itu sendiri. Jadi ungkapan maka Tuhan berarti Dzat Tuhan itu sendiri.
Yang dimaksud dengan ta’wil ialah membolehkan kalimat dari dzahirnya kepada arti lain inilah yang dianggap tepat.

2. Syarat-syarat Ta’wil
Ta’wil harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Ta’wil harus sesuai dengan kaidah-kaidah Bahsa dan sastra Arab
b. Ta’wil itu biasa dipergunakan sepanjang pengertian bahasa.
c. Ta’wil sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ yang berlaku.
d. Ta’wil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang ta’wilnya itu.
e. Jika ta’wil itu berdasarkan qiyas haruslah memakai qiyas yang jelas dan kuat.

3. Macam-macam Ta’wil
Ta’wil ada 2 macam yaitu ta’wil soal-soal pokok seperti soal-soal kepercayaan, sifat-sufat Tuhan dan Pokok-pokok agama. Ta’wil terhadap soal-soal pokok seperti ini diperselisihkan oleh para ulama. Contoh soal-soal Ushul dapat dikemukakan sebagai berikut :




Artinya: Tuhan yang maha pemurah yang bersemayam di atas Arasy (Thaha : 5)
Ayat ini disebutkan dengan ayat mutasyabih (ayat yang samar-samar). Menurut dzihir ayan ini Tuhan sama dengan makhluk karena ia bertempat tinggal yaitu di Arasy. Yang dimaksudkan dengan ayat ini tentulah dzahir dari ma’na yang terkandung di dalam ayat. Menurut ulama salaf ayat-ayat mutasybihat ini diserahkan pengertian yang sebenarnya kepada Allah Swt semata. Tapi menurut kalangan ulama tertentu agar ayat ini tidak menghawatirkan terhadap keimanan orang-orang yang masih lemah imaknnya maka ayat ini fita’wil. Istawa dita’wilkan dengan berkuasa. Dalam ayat lain “yadum” di ta’wil dengan “qudrah” (kekuasaan).

4. Ta’wil dalam soal-soal Furu’
Ta’wil ini yang telah disepakati oleh para ulama ahli Ushul Fiqh. Ulama Syafi’I membagi ta’wil ini kepada dua bagian yaitu ta’wil dekat dan ta’wil jauh. Yang dimaksud dengan ta’wil yang jauh ialah suatu ta’wil yang tidak dikandung oleh perkataannya. Ta’wil dekat ialah memindahkan suatu perkataan dari artinya yang lahir. Dengan demikian antara ta’wil dengan lafadz yang dita’wil masih ada hubungan.

G. NASIKH DAN MANSUKH
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Ungakapan nasikh menurut bahasa artinya sama dengan memndahkan atau membatalkan dan menghilangkan.
Nasikh menurut syara’ ialah penghapusan syar’I terhdap suatu hukum Islam dengan suatu dalil syar’I yang datang kemudian. Contoh penghapusan terhadap keharaman berziarah kubur dakan sabda Nabi SAW sebagai berikut :
Artinya : “Dahulu saya melarang kamu berziarah kubur, sekarang berjiarah ke kuburan karena hal itu dapat mengingatkan tentang keakhiratan (HR. Muslim dan Abu Daud).
Menurut hadits ini semula ziarah ke kubur itu hukumnya haram. Kemudian sekarang ini hukum berziarah ke kubur itu sudah dimansukh. Yang manasikh harmanya ziarah kubur adalah hadits nabi itu sendiri dengan sabdanya alaa “fuzuruhaa”. Hukum yang telah dihapuskan disebut dengan mansukh dan lafadz yang menghapuskan hukum itu disebut dengan naskh.

2. Dasar dan Hukum Naskh
Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :



Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Baqoroh : 106).
Firman Allah ayat 101 surat An-Nahl sebagai berikut :



Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(An-Nahl : 101)
Perbedaan pendapat para ulama tentangayat-ayat tersebut yang mengisyaratkan adanya naskh dan perbedaan ayat ini membawa perbedaan pendapat tentang ada atau tidaknya naskh di dalam Al-Quran. Ada sebagian ulama yang mengingkari adanya naskh, dan sebagian besar ulama mengakui adanya naskh.
Adanya golongan ulama antara lain Imam Abu Muslim Al-Asfihani mengingkari adanya naskh dengan alasan sebagai berikut :
a. Pengertian “aayatan” dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sdan surat An-Nahl ayat 101 adalah syariat. Dengan demikian yang dimaksud dengan ayat yang dinaskh ialah syariat-syariat yang terdapat didalam kitab-kitab suci terdahulu yang terdapat pada kitab Taurat dan kitab injil seperti merayakan hari Sabtu sudah dihapus oleh Tuhan sebagai ma’na firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 06 dan surat an-Nahl ayat 101.
b. Lafadz naskh dalam surat Al-Baqarah ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101 artinya ialah memindahkan ayat dari lauh mahfudz ke seluruh kitab yang diturunkan kepada ummat manusia.
c. Ayat tersebut tidak menunjukkan kepastian adanya naskh, tetapi hanya menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya naskh
d. Jika sekiranya di dalam Al-Quran itu terdapat naskh maka ada sebagian hukum dari Al-Quran yang telah dibatalkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:



Artinya: Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (Fushilat : 41).
Sesuiai dengan ayat ini maka syari’at yang terkandung di dalam Al-Quran bersifat kekal tidak dapat dubah atau diganti. Oleh sebab itu hukum-hukum di dalam Al-Quran berlaku sepanjang masa.
Jumhur ulama menetapkan bahwa di dalam Al-Quran terdapat naskh (pembatalan hukum). Al-Quran yang dinaskh dengan Al-Quran dapat diterima dan memang benar-benar terjadi. Jumhur ulama memberikan arti “ayaatin” dalam surat Al-Baqarah ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101 serta ungkapan tabdil (penggantian) adalah sebagai berikut :




Para mufashirin memberikan pengertian :
Maksudnya ialah kami angkat ayat itu lalu kami turunkan lainnya. pengertian tersebut dikuatkan oleh atsar dari Ibnu Abi Hathib tentang firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 101 maksudnya adalah naskh dan mansukh. Dengan demikian maksud surat An-Nahl ayat 101 ialah ketika kami menaskh satu ayat di dalam kitab, kami gantikan dengan ayat yang lain, karena suatu hikmah yang terkandung di dalam naskh itu kami ketahui sendiri, orang lain selain kami tidak mengetahuinya kemudia orang-orang musyrik menuduh bahwa Muhammad berdusta karena Allah mengatakan Al-Quran yang ada disampinya itu diaku wahyu dari Allah.
Menurut akal, Allah ingin mengajarkan kepada manusia bahwa perubahan masa dan suasan menuntut adanya perubahan hukum. Suatu hukum yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada satu masa tertentu maka ditetapkan hukumnya. Kemudian keringan kepada hamab-Nya, lalu diubah hukum yang telah berlaku diganti dengan hukum yang baru.
Menurut jumhur ulama yang menetapkan adanya naskh di dalam Al-Quran ialah bahwa jumlah ayat yang dinaskh cukup banyak. Imam Ash Syuyuthi menghitung ayat yang dinaskh sebanyak 20 tempat. Menurut Prof. DR. Ahmad Shalagi jumlah ayat yang dinaskh kecil sekali dan ini untuk memberikan pelajaran kepada kita bahwa hukum dapat berubah dengan adanya perubahan keadaan dan suasana.
Menurut DR. Mushtafa Zaid bahwa ada 9 tempat naskh yaitu 4 tempat di antaranya naskh Al-Quran terdapat As-Sunnah dan 5 tempat merupakan naskh Al-Quran terhadap Al-Quran.
a. Naskh Sunnah dengan Al-Quran
1) Nas Qiblat Shalat
Hal ini diketahui Nabi Muhammad SAW beserta kaum muslimin sewaktu berada di Makkah ketika mereka mengerjakan shalat menghadap wajah mereka ke arah Baitul Maqdis, seperti yang dilakukan para Nabi sebelumnya. Ketika nabi Muhammad berada di Madinah pada suatu ketika beliau menengadah ke langit memohon turunnya wahyu kemudian turun ayat sebagai berikut :




Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqoroh : 144)
2) Menasikh kebebasan bicara ketika shalat
Pada awal Islam seseorang yang sedang menjalankan shalat tidak dilarang berbicara dengan sesama temannya. Kemudia turun firman Allah SWT :



Artinya: dan berdirilah shalat untuk Allah dengan khusyu (2:238)
Setelah turun ayat ini maka kebebasan bicara ketika orang mengerjakan shalat yang tadinya dibolehkan dihapus dan diganti dengan hukum haram.
3) Menaskh puasa Asyura
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah puasa diwajibkan pada ummat Islam pada awal mulanya ialah puasa Asyura. Kemudian puasa Asyura ini dinaskh dengan surat Al-Baqarah ayat 183.



4) Naskh tentang keharaman makan dan mencampuri isteri bagi orang-orang yang sedang berupuasa Ramashan yang tertidur pada sore hari sebelum berbuka puasa
Pada awal siyari’atkan Islam diantara ketentuan-ketentuan puasa ialah apabila seseorang berpuasa Ramadhan pada sore harinya ia tertidur sebelum berbuka ia diharamkan makan dan minum bahkan mencampuri isterinya. Hal ini dinaskh dengan ayat sebagai berikut :


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.(Al-Baqoroh : 187).
Dengan adanya ayat ini makan, minum, dan mencampuri isteri sesudah tidur belum berbuka puasa yang semula diharamkan dinaskh menjadi diperbolehkan.

b. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran
1) Naskh surat Al-Anfal ayat 65 dengan surat Al-Anfal ayat 66 :






Artinya: Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (Al-Anfal : 65)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT mewajibkan kepada pejuang mu’min agar tabah dalam menghadapi musuh dan haram melarikan diri dari kalangan musuh jika perbandingan antara mu’min dengan tentara kasif. 1 : 10. Ketentuan tersebut dinaskh oleh Allah SWT dengan memberikan keringanan perbandingan antara tentar mu’min dengan tentara kafir 1 : 2. Allah SWT berfirman :





Artinya: Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

2) Naskh surat Al-Muhadillah ayat 12 dengan surat Al-Mujadilah ayat 13
Pada waktu itu kaum muslimin banyak yang mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah sehingga beliau merasa berat menghadapi mereka. Untuk mengurangi beban beliau ini Allah SWT mewajibkan kepda orang-orang yang hendak bertanya kepada Nabi SAW supaya orang yang bertanya kepada Nabi tu mengeluarkan sedekah kepada fakir miskin. Allah SWT berfirman :







Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Mujadilah : 12).
Setelah ayat ini turun maka para sahabat merasa enggan dan bahkan tidak ada yang berani bertanya kepada beliau sekalipun ada beberapa masalah yang sangat diperlukan jawabannya. Setelah itu turunlah ayat berikutnya yang membatalkan perintah mengeluarkan sedekah jika hendak bertanya kepada beliau. Allah SWT berfirman :








Artinya: Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Mujadilah : 13).

3) Menaskh surat An-Nisa ayat 43 dengan surat Al-Maidah ayat 90.
Di dalam surat An-Nisa ayat 43 Allah SWT berfirman :




Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (An-Nisa : 43).
Surat ini memberikan isyarat bahwa khamar itu bila tidak sampai emnganggu peminumnya untuk melakukan shalat maka diperbolehkan. Kemudian turun ayat 90 surat Al-Maidah yang mengharamkan minum khamar secara total. Allah SWT berfirman :





Artinya Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(Al-maidah : 90).

4) Menaskh kewajiban shalat malam diaganti dengan hukum sunnat.
Allah Swt berfirman :






Artinya: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.Al-Muzzammil : 104).
Sebelum diwajibkan shalat fardhu, shalat malam adalah shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT. Kemudian turun ayat yang meringankan shalat malam yang semula merupakan kewajiban menjadi sunnat tathawu’. Allah SWT berfirman :
















Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Muzammil : 20)

5) Naskh surat An-Nisa ayat 15 dan 16 dengan surat An-Nur ayat 2.
Allah SWT menetapkan hukum zina bagi orang laki-laki maupun perempuan sebagai berikut :
Pada surat An-Nisa ayat 16 Allah SWT berfirman :









Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (An-Nisa : 15-16)
Surat An-Nisa ayat 15 menerangkan bahwa hukuman bagi pezina wanita pada permulaan pembinaan hukum Islam adalah hukuman kurungan di dalam rumah sampai dia meninggal atau sampai ada ketentuan lain dari Allah SWT. Wanita pezina itu baik berstatus sebagai gadis atau janda.
Surat An-Nisa ayat 16 menerangkan bahwa hukuman bagi pezina laki-laki dan perempuan yaitu kurungan dan hukuman badan seperti yang tercantum dalam kedua ayat dalam surat An-Nisa itu. Hukuman itu kemudian dinaskh dan diganti dengan hukuman jilid (dera). Sebagaimana firman Alah dalam surat An-Nur ayat 2 sebagai berikut :







Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman (An-Nur : 2).

Tidak ada komentar: