Senin, 02 November 2009

Media Pembelajaran

Media Pembelajaran dalam Pendidikan
Tujuan :
• Mahasiswa memiliki wawasan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep-konsep dasar Media Pembelajaran, fungsi media pembelajaran, penggunaan media pembelajaran.
Deskripsi :
1. Pengertian Media Pembelajaran
2. Fungsi Media Pembelajaran,
3. Jenis-Jenis Media Pembelajaran,
4. Peran Media Pembelajaran,
5. Prinsip-Prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
6. Dasar Pertimbangan dan Pemilihan Media
Sumber :
1. Media pembelajaran, Prof. Dr. H. Asnawir, Delia Citra Utama Jakarta, 2002
2. Media Pendidikan, Hamalik Umar, Rosda Bandung, 1985
MEDIA PEMBELAJARAN DALAM PENDIDIKAN PENGERTIAN MEDIA
AECT :
media sebagai bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkanpesan/informasi
Gagne :
media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar
Briggs :
media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar
NEA :
media adalah bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya
MEDIA adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi
KEGUNAAN MEDIA
Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis
Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera
Mengatasi sikap pasif siswa menjadi lebih bergairah
Mengkondisikan munculnya persamaan persepsi dan pengalaman
1. Pengertian Media Pembelajaran.
Kata media berasal dari bahasa Latin medio? Dalam bahasa Latin, media dimaknai sebagai antara. Media merupakan bentuk jamak dari medium, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Secara khusus, kata tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa informasi dari satu sumber kepada penerima. Dikaitkan dengan pembelajaran, media dimaknai sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi berupa materi ajar dari pengajar kepada peserta didik sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran
Satu hal yang perlu diingat bahwa peranan media tidak akan terlihat apabila penggunaannya tidak sejalan dengan isi dan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Secanggih apa pun media tersebut, tidak dapat dikatakan menunjang pembelajaran apabila keberadaannya menyimpang dari isi dan tujuan pembelajarannya.
2. Fungsi Media Pembelajaran
Ada dua fungsi utama media pembelajaran yang perlu kita ketahui. Fungsi pertama media adalah sebagai alat bantu pembelajaran, dan fungsi kedua adalah sebagai media sumber belajar. Kedua fungsi utama tersebut dapat ditelaah dalam ulasan di bawah ini.
a. Media pembelajaran sebagai alat bantu dalam pembelajaran
Tentunya kita tahu bahwa setiap materi ajar memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada materi ajar yang tidak memerlukan alat bantu, tetapi di lain pihak ada materi ajar yang sangat memerlukan alat bantu berupa media pembelajaran. Media pembelajaran yang dimaksud antara lain berupa globe, grafik, gambar, dan sebagainya. Materi ajar dengan tingkat kesukaran yang tinggi tentu sukar dipahami oleh siswa. Tanpa bantuan media, maka materi ajar menjadi sukar dicerna dan dipahami oleh setiap siswa. Hal ini akan semakin terasa apabila materi ajar tersebut abstrak dan rumit/kompleks.
Sebagai alat bantu, media mempunyai fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa kegiatan pembelajaran dengan bantuan media mempertinggi kualitas kegiatan belajar siswa dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti, kegiatan belajar siswa dengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa bantuan media.
b. Media pembelajaran sebagai sumber belajar.
Sekarang Anda menelaah media sebagai sumber belajar. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat bahan pembelajaran untuk belajar peserta didik tersebut berasal. Sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu manusia, buku perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan. Media pendidikan, sebagai salah satu sumber belajar, ikut membantu guru dalam memudahkan tercapainya pemahaman materi ajar oleh siswa, serta dapat memperkaya wawasan siswa
3. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Jenis-jenis media yang dikenal dewasa ini dipaparkan sebagai berikut.
A.Berdasarkan jenisnya
Berdasarkan jenisnya, media dapat dibedakan atas
a. media audiktif,
b. media visual,
c. media audio visual.
Media audiktif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja. Yang termasuk jenis media ini antara lain meliputi tape recorder dan radio.
Media visual
adalah media yang hanya mengandalkan indra pengelihatan. Yang temasuk jenis ini antara lain meliputi gambar, foto, serta benda nyata yang tidak bersuara.
Media audio visual
adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Beberapa contoh media audiovisual meliputi televisi, video, film, atau demonstrasi langsung.
Media audiovisual dapat Anda bedakan lagi menjadi
(a) audio visual diam
b) audio visual gerak. Audiovisual diam adalah media yang menampilkan
suara dan gambar diam (tidak bergerak). Misalnya, film bingkai suara sound sistem, film rangkai suara, dan cetak suara. Audio visual gerak adalah media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak. Misalnya, film suara dan video-cassette.
1) Media nonproyeksi
Media nonproyeksi disebut juga media pameran atau displayed media. Media yang termasuk media nonproyeksi adalah
(a) model,
(b) grafis.
Kedua media nonproyeksi tersebut dipaparkan sebagai berikut.
a. Model
Model adalah benda nyata yang dimodifikasikan. Penggunaan model sebagai media dalam pembelajaran dimaksudkan untuk mengatasi kendala pengadaan realia karena harga yang mahal, sulit pengadaannya, barangnya terlalu besar, bahkan mungkin terlalu kecil. Menurut Heinich et.al (1996) model adalah gambaran tiga dimensi dari sebuah benda nyata. Model dapat berukuran lebih besar, lebih kecil atau berukuran sama persis dengan benda aslinya, dan dapat menampilkan bentuk yang lengkap dan rinci dari benda aslinya.
b. Bahan Grafis
Bahan grafis adalah media visual nonproyeksi yang mudah digunakan karena tidak membutuhkan peralatan dan relative murah. Menurut Brown et.al (1985) ada lima jenis media grafis yang memiliki keunggulan yang cukup tinggi dalam proses pembelajaran yaitu: graft, chart atau diagram, kartun, poster, peta atau globe. Masing-masing media grafis memiliki keunggulan dan keunikan sendiri-sendiri.
Diagram visualisasi dalam bentuk grafis yang masih tergolong dalam gambar yang sederhana adalah diagram. Penggunaan diagram pada umumnya ditujukan untuk menggambarkkan suatu hubungan atau menjelaskan suatu proses. Diagram dapat memberikan gambaran tentang suatu proses, misalnya mengenai keaktifan siswa dalam pembelajaran proses, seperti tergambar dalam media di bawah ini
2) Media yang Diproyeksikan
Media yang termasuk sebagai media yang diproyeksikan adalah :
a. overhead transparansi (OHT),
b. slide, filmstrips,
c. opaque.
Perkembangan teknologi yang ada saat ini memungkinkan komputer dan video juga diproyeksikan dengan menggunakan peralatan khusus, yaitu LCD.
a. OHT
OHT merupakan media yang paling banyak digunakan karena relative mudah dalam penyediaan materinya, karena hanya dibutuhkan bahan transparansi dan alat tulis. Namun untuk hasil yang bagus sebaiknya alat tulis yang digunakan khusus untuk overhead transparansi.
Beberapa cara mempersiapkan OHT dapat Anda pelajari pada bagian berikut.
a) Handmade transparancies, yaitu transparansi dengan buatan tangan.
b) Thermal fil process, salah satu cara untuk membuat transparansi dengan cara menggunakan acetate film yang diletakkan di atas master materi yang akan disajikan, kemudian dimasukkan alat khusus yang dinamakan thermal copier.
c) Electrostatic film process, merupakan cara membuat transparansi dengan jalan menggunakan teknologi xerography. Persiapan untuk menggunakan jenis transparansi ini cukup sederhana. Bahan yang ingin dipresentasikan dapat berasal dari kertas biasa baik sebagai tulisan tangan, hasil print computer maupun buku teks.
b. Slide
Slide adalah media visual yang penggunaannya diproyeksikan ke layar lebar, dengan menggunakan slide gambar yang disampaikan sangat realistis. Hal itu disebabkan materi atau bahan slide adalah film fotografi yang berbentuk transparan.
3) Media Audio
Media audio merupakan media yang fleksibel karena bentuknya yang mudah dibawa, praktis, dan relatif murah (misalnya tape compo, pengeras suara).
Menurut Rowntree (1994) penggunaan media audio dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. media audio yang dipakai untuk mendengarkan,
2. media audio vision yang dipakai untuk mendengarkan dan melihat,
3. media audio visual yang dapat dipakai untuk mendengar, melihat dan melakukan. Ketiga pembedaan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
4) Media Video
Media video dapat digunakan sebagai alat bantu mengajar pada berbagai bidang studi. Hal itu disebabkan oleh kemampuan video untuk memanipulasi kondisi waktu dan ruang sehingga peserta didik atau siswa dapat diajak untuk melihat objek yang sangat kecil maupun objek yang sangat besar, objek yang
berbahaya, objek lokasinya jauh di belahan bumi lain, maupun objek yang ada di luar angkasa.
5) Media Berbasis Komputer
Media komputer saat ini sudah sangat luas dimanfaatkan oleh dunia pendidikan. Menurut Hannafin dan Peek (1998), potensi media komputer yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas proses pembelajaran sangat tinggi. Hal ini antara lain dikarenakan terjadi interaksi langsung antara siswa dengan materi pembelajaran. Selain itu, proses pembelajaran dapat berlangsung secara individual dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa sehingga potensi siswa dapat lebih tergali. Media komputer juga mampu menampilkan unsur audio-visual yang bermanfaat untuk meningkatkan minat belajar siswa, atau yang dikenal dengan program multi media. Media komputer pun dapat memberi umpan balik bagi respon siswa dengan segera setelah diberi materi.
4. Peran Media Pembelajaran
Tentunya Anda tahu bahwa peran media sangat strategis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Kemp dkk (1985) menjabarkan peran media di dalam kegiatan pembelajaran sebagai berikut.
a. Penyajian materi ajar menjadi lebih standar.
b. Penyusunan media yang terencana dan terstruktur dengan baik membantu pengajar untuk menyampaikan materi dengan kualitas dan kuatitas yang sama dari satu kelas ke kelas yang lain.
c. Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik.
d. Kegiatan belajar dapat menjadi lebih interaktif
e. Materi pembelajaran dapat dirancang, baik dari sisi pengorganisasian materi maupun cara penyajiannya yang melibatkan siswa, sehingga siswa menjadi lebih aktif di dalam kelas.
f. Media dapat mempersingkat penyajian materi pembelajaran yang kompleks, misalnya dengan bantuan video. Dengan demikian, informasi dapat disampaikan secara menyeluruh dan sistematis kepada siswa.
g. Kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan
h. Penyajian pembelajaran dengan menggunakan media yang mengintegrasikan visualisasi dengan teks atau suara akan mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran secara terorganisasi. Dengan menggunakan media yang lebih bervariasi, maka siswa akan mampu belajar dengan lebih optimal.
i. Dengan media yang makin lama makin canggih maka kegiatan pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam kelas saja tetapi bisa di mana saja. Misalnya, dengan teleconference pengajar dari luar kota bisa memberikan materinya, atau dengan CD peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran melalui media secara mandiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini seperti halnya Anda yang jarak jauh bisa menggunakannya.
5. Prinsip-Prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
Sudirman (1991) mengemukakan tiga kategori prinsip pemilihan media pembelajaran sebagai berikut.
a. Tujuan Pemilihan. Pemilihan media yang akan digunakan harus didasarkan pada maksud dan tujuan pemilihan yang jelas.
b. Karakteristik Media Pembelajaran. Setiap media mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dan segi keampuhannya, cara pembuatannya, maupun cara penggunaannya.
c. Alternatif Pilihan. Pada hakikatnya, memilih media merupakan suatu proses membuat keputusan dan berbagai alternatif pilihan.
Adapun prinsip pemilihan dan penggunaan media, menurut Sudjana (1991) ditulis pada bagian berikut :
a. Menentukan jenis media dengan tepat.
b. Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat.
c. Menyajikan media dengan tepat.
6. Dasar Pertimbangan Pemilihan dan Penggunaan Media
Faktor-faktor yang perlu Anda perhatikan dalam memilih media pembelajaran dijelaskan pada bagian berikut :
a. Objektivitas. Seorang guru harus objektif. Artinya, guru tidak boleh memilih suatu media pembelajaran atas dasar kesenangan pribadi.
b. Program Pembelajaran. Program pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, baik isi, struktur, maupun kedalamannya.
c. Sasaran Program. Pada tingkat usia tertentu dan dalam kondisi tertentu siswa mempunyai kemampuan tertentu pula, baik cara berpikir, daya imajinasi, kebutuhan, maupun daya tahan siswa dalam belajarnya
d. Kualitas Teknik. Dari segi teknik, media pembelajaran yang akan digunakan perlu diperhatikan, apakah sudah memenuhi syarat atau belum.
e. Keefektifan dan Efisiensi Penggunaan. Keefektifan yang dimaksud di sini berkenaan dengan hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi yang dimaksud di sini berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut.
Ada enam langkah yang bisa kita tempuh pada waktu mengajar dengan mempergunakan media. Langkah-langkah tersebut disebutkan sebagai berikut :
a. Merumuskan tujuan pembelajaran dengan memanfaatkan media.
b. Persiapan guru.
c. Persiapan kelas.
d. Langkah penyajian materi ajar dan pemanfaatan media.
e. Langkah kegiatan belajar siswa.
f. Langkah evaluasi pembelajaran.

Senin, 19 Oktober 2009

Kepribadian Guru dan Akhlak

BAB II
KEPRIBADIAN GURU DAN AKHLAK

A. Kepribadian Guru
1. Pengertian Kepribadian Guru
Kepribadian atau dalam bahasa Inggris personality, mengandung arti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang membedakannya dengan orang lain (Tim KBBI, 2002 : 895). Dalam kamus “Webster seventh collegiate dictionary” dijelsakan bahwa personality berbicara tentang kualitas orang, keadaan hidup / kehidupan. Keadaan dalam hubungan dengan orang lain, kelakuan dan emosi, sikap khas, serta kebiasaannya. Adapun menurut Suparlan (t.t. : 24), kepribadian adalah segenap sifat-sifat tabeat yang berkembang dan keluar dari pribadi seseorang, dan merupakan potensi-petensi in abstracto dari pribadi dan apa-apa yang termasuk dalam pribadi itu. Dengan redaksi yang berbeda namun memiliki maksud yang sama, Agus Sujanto (1986 : 12) menjelaskan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikopsikis yang kompleks dari individu, sehingga nampak di dalam tingkahlakunya yang unik. Jadi kepribadian adalah endapan hasil dari usaha pribadi itu dalam perkembangan hidupnya, dan hasil pokok dari daya refleksi pribadi menimbulkan suatu potensi yang disebut kesadaran.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa kepribadian merupakan suatu kebulatan yang kompleks, disebabkan banyak faktor yang ikut penentukan kepribadian. Paduan dari faktor-faktor itu menimbulkan gambaran yang unik. Artinya tidak ada dua individu yang benar-benar identik antara yang seorang dengan yang lainnya. Makin tinggi kesadaran orang membentuk nilai-nilai akhlak dan tata fikir yang terpuji dan bercita ketuhanan dengan berfikir matang dalam menerima petunjuk ilahi dan kemauan kuat, makin besar pula kepribadian yang diperlihatkannya kepada orang lain. Sebaliknya, orang yang melemparkan nilai-nilai pribadinya kepada norma dan derajat akhlak yang tercela, maka rendahlah kepribadian orang itu. Dapatlah dikatakan bahwa kepribadian itu adalah semua ciri-ciri sikap mental dan moral, yang dengannya seseorang dapat membedakan dirinya dengan yang lain.
Adapun yang dimaksud dengan guru menurut Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1, adalah sebagai berikut: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Sardiman, “guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar menagajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan” (1986 : 123).
Dengan memperhatikan pengertian kepribadian dan pengertian guru, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kepribadian guru adalah semua ciri-ciri sikap mental dan moral, yang dengannya pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dapat membedakan dirinya dengan yang lain.

2. Urgensi Kepribadian Guru
Kepribadian bagi seorang guru merupakan salah satu kompetensi yang perlu dimiliki di samping kompetensi pedagogis, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Hal ini ditegaskan dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai berikut:
Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial. (Anonimous, 2006 : 2).

Pentingnya kepribadian guru berkaitan dengan tugas moral yang diemban guru, tugas profesional, dan kompetensi yang harus dimiliki. Untuk lebih jelsanya diuraikan sebagai berikut.

a. Tugas Moral yang Diemban Guru
Bila seseorang mengajar, ini berarti ia sudah mengemban tugas moral, yaitu moral sebagai orang yang dianggap dapat menurunkan apa yang ia miliki untuk disampaikan kepada orang lain sebagai amanah dari Allah. Menyampaikan amanat merupakan tugas moral bahwa ia tidak akan mengkhianati titah Allah, untuk menjadikan orang lain berguna dan taat kepada Allah. Inilah citra keguruan yang ideal, juga sebagai pengganti orang tua di sekolah, menyelami jiwa peserta didik-peserta didiknya. Kita tahu bahwa masyarakat selalu mempunyai hak untuk menilai guru dengan sikap yang sangat kritis. Orang tua yang mempercayakan anaknya kepada sekolah, berhak mengeluh bila ia mengetahui hak anaknya tidak dipenuhi. Anak selalu berhak untuk mendapatkan perhatian penuh dari gurunya.
Seorang guru mempunyai kewajiban moril terhadap masyarakat, bahwa ia melaksanakan tugasnya dengan daya upaya, kejujuran dan kesungguhan yang tidak bisa ditawar. Dari sini, kita dapat mengerti bahwa dengan hanya berbekal ilmu pengetahuan seberapa pun hebatnya, belum cukup untuk dapat menyebut diri sebagai guru. Meskipun kurikulum yang ada di sekolah adalah baik, tetapi keberhasilan kurikulum dalam pelaksanaannya, selalu menuntut kecerdasan pengajar untuk mencari cara yang luwes dalam menjalankannya (M.I. Soelaeman, 2002 : 32).

Modal pertama yang harus dimiliki guru sebagai sumber dan titik tolak dalam pengajaran adalah “kasih sayang”. Apakah guru mampu menganggap setiap peserta didik yang dipercayakan kepadanya sebagai anak kita sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya? Peserta didik bukan benda mati yang dapat dijadikan barang mainan sebagai mangsa pelampiasan kekuasaan gurunya. Sebagai seorang guru, harus mampu menguasai diri, mampu mengendalikan diri, oleh karena keberhasilan seorang guru ditentukan oleh banyak hal yaitu dari penguasaan diri, pembawaan atau sikap, penggunaan bahasa yang baik dan keterbukaan sikapnya.
Guru merupakan tokoh yang paling utama dalam membimbing anak di sekolah dan memperkembangkan anak agar mencapai / menuju kedewasaan. Oleh karena itu, hal yang pertama-tama harus diperhatikan guru untuk dapat menarik minat peserta didik ialah penampilan dan sikapnya. Usahakan jangan terlalu formal dan penuh disiplin, agar anak tidak takut dan enggan belajar di sekolah. Guru harus mampu menjadi tokoh yang berkesan dan berwibawa. Di samping segi penampilan yang tidak boleh dilupakan, maka ada beberapa fungsi guru yang aktif yakni mengawasi dan membantu anak dalam menghadapi kesukaran yang tak teratasi (Hery Noer Ali, 1999 : 92).

Di dalam kelas, guru bertindak sebagai pemimpin, dalam arti memimpin segala aktivitas yang ada di kelas dan menentukan acara pelajaran. Semua keputusan ada di tangan guru, walau kadang-kadang pendapat peserta didik menjadi bahan pertimbangan juga. Di sini guru harus mampu menguasai kelas dengan penuh wibawa. Memang benar bahwa wibawa, bakat dan intelligensia tidak dapat dicari atau dibeli, akan tetapi dalam hal wibawa seorang guru dapat membinanya melalui kesadaran terhadap kelemahan-kelemahan sendiri. Wibawa bukan berarti harus bertindak dengan kekerasan, tetapi seperti yang dikatakan oleh seorang Ahmad Tafsir (2004 : 13), bahwa guru harus bisa memperlihatkan sikap dengan tujuan agar ditiru dalam melaksanakan tugas dengan tepat dan pasti; Hangat dan simpatik agar anak merasakan kebahagiaan, tanpa terlalu cemas akan prestasinya. Jadi selain harus tegas dalam menentukan tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang wajib diselesaikan, guru harus bisa hangat dan ramah terhadap kebutuhan-kebutuhan peserta didiknya, tanpa menuntut terlampau banyak dari segi prestasi.
Guru dipandang serba tahu dan serba mampu, oleh karena itu apa yang dikatakan guru dianggap selalu pasti dan benar. Jadi guru harus mampu menguasai tindakannya. Lebih bijaksana apabila kita mengatakan bahwa sekolah minggu merupakaan tempat di mana peserta didik dan guru datang bersama-sama dan masing-masing memberikan apa-apa yang dibutuhkan baik oleh peserta didik maupun oleh guru. Anak-anak mempunyai kebutuhan untuk diterima, tetapi guru mempunyai kebutuhan untuk memberi dan dikenal, sesuai dengan pengabdiannya (Syaeful Bahri Djamarah, 2000 : 9).

Selain fungsi-fungsi guru seperti yang telah disebutkan di atas, yang juga penting adalah bagaimana hubungan antara guru dan peserta didik. Oleh karena itu harus diperhatikan bagaimana guru melihat dirinya sendiri, apakah ia memandang dirinya sebagai pemimpin yang paling berkuasa, atau sebagai orang tua, sebagai teman yang lebih tua yang membantu peserta didik bila diperlukan. Pandangan ini akan menentukan corak hubungan yang terjadi antara guru dan peserta didik. Sebenarnya sebagai guru, ia memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh peserta didik dan hal ini merupakan sumber kekuatan untuk menguasai kelas dan menarik perhatian peserta didik.
Guru yang pengasih, memiliki sifat Allah ar-rahman terhadap setiap anak yang kehidupannya dipengaruhi dan dididik. Guru mengajar dengan sikap-sikap anda sebagaimana juga dengan perkataan-perkataan anda. Kepribadian dan sikap guru merupakan salah satu faktor penting yang membuat peserta didik betah dan senang menerima pelajaran.
Faktor psikologis ini ternyata mampu membantu peserta didik dalam menyukai setiap mata pelajaran yang ada di sekolah, sehingga dapat dikatakan bahwa kunci sukses proses transfer ilmu harus dimulai dari kepribadian guru yang disenangi peserta didik, sehingga sesulit apapun materi akan mudah diterima jika peserta didik memiliki rasa simpatik yang besar terhadap gurunya maka pelajaran yang disampaikannya akan diterima (M. Surya, 2003 : 25).


b. Tugas Profesional Guru
Profesi mengandung arti bidang kerja yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dsb.) tertentu (Hasan Alwi, 2002 : 702). Menurut Abbudin Nata (2003 : 135), “profesi masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia melalui bahasa Inggris (profession) atau bahasa Belanda (professie)”.
Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocation) yang kemudian berkembang makin matang. Profesi seseorang ditunjang oleh tiga hal. Ketiga hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang relevan yang membentuk segitiga sama sisi yang ditengahnya terletak profesional. “Well educated, well trained, well paid” adalah salah satu prinsip profesionalisme. Dan, hal penting dan sangat diperlukan oleh suatu profesi adalah pengakuan masyarakat akan jasa yang diberikannya (Depag, 2004 : 10).

Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjutan di dalam service dan teknologi yang digunakan sebagai kegiatan yang bermanfaat. Dalam aplikasinya menyangkut aspel-aspek yang lebih bersifat mental daripada manual work. Pekerjaan profesional akan senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang hartus dipelajari secara sengaja, terencana, kemudian dipergunakan demi kemaslahatan orang lain (Sardiman A.M. 1986 : 131).
Mengacu kepada peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, seorang guru dikatakan profesional apabila memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang guru profesional memiliki dua ciri tersebut. Permasalahannya sekarang, bagaimana kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Masalah ini secara umum telah dijelaskan dalam pasal 28 ayat 1 sampai 5, sebagai berikut:
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
1) Kompetensi pedagogik;
2) Kompetensi kepribadian;
3) Kompetensi profesional; dan
4) Kompetensi sosial.
Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan.
Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Dengan menggunakan pendekatan karakteristik, Sudarwan Danim menyimpulkan ciri guru profesional sebagai berikut.
1) Memiliki kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan
2) Memiliki pengetahuan spesialisasi.
3) Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien.
4) Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau comunicable.
5) Memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri atau self-organization.
6) Memiliki kode etik.
7) Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunita.
8) Mempunyai sistem upah.
9) Budaya profesional. (Sudarwan Danim, 2002 : 25-28).

Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan institusional, ia menyatakan bahwa guru profesional ditandai dengan kesiapan bekerja full-time (bukan sebagai sambilan); menetapkan sekolah sebagai tempat menjalankan proses pendidikan atau pelatihan; memiliki asosiasi profesi; melakukan kegiatan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan tersebut; dan mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan.
Adapun secara legal, seorang guru dikatakan profesional jika terdaftar (melakukan registrasi) kepada pemerintah dengan menunjukan semua persyaratan yang diperlukan dan harus dipenuhi; mendapatkan pengakuan (certification) berupa surat keputusan pengangkatan dari pemerintah; dan pada akhirnya ia memiliki lisensi (licensing) atau surat tugas dari pemerintah untuk mempraktekan pengetahuan dan keterampilannya (Depag 2005 : 29).
Dari penjelasan tersebut di atas, dipahami bahwa seorang guru yang profesional, dituntut untuk selalu mengembangkan ilmu pengertahuan dan mengamalkan ilmunya itu secara terus-menerus (continous improvement) melalui berbagai kegiatan kependidikan. Dengan sejumlah kegiatan itu, ia akan memahami bahwa tugas seorang guru bukan lagi knowledge based, seperti yang sekarang dilakukan, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep-konsep keilmuan dan perekayasaannya berdasarkan nilai-nilai moral.
Guru yang professional, tidak lagi tampil hanya sebagai pengajar (teacher), seperti fungsi yang menonjol selama ini, melainkan sebagai pembimbing (counselor), pelatih (coach), dan bahkan manager belajar (learning manager). Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocation) yang kemudian berkembang menjadi matang. Selain itu, dalam bidang apapun, profesionalisme seseorang ditunjang oleh tiga hal. Tanpa ketiganya, sulit seseorang akan mewujudkan profesionalismenya. Ketiga hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang relevan yang membentuk segitiga sama sisi yang ditengahnya terletak profesionalisme. “Well educated, well trained, well paid” adalah salah satu prinsip profesionalisme. Dan, hal penting dan sangat diperlukan oleh suatu profesi adalah pengakuan masyarakat akan jasa yang diberikannya.
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki kemampuan profesional. Dengan mengutip hasil diskusi pengembangan model pendidikan profesinal yang diselenggarakan IKIP (sekarang UPI) Bandung tahun 1990, Abbudin Nata menyatakan bahwa ada 10 ciri profesi guru, yaitu :
1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial; 2) memiliki keahlian/ keterampilan tertentu; 3) keahlian / keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah; 4) didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas; 5) diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama; 6) aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional; 7) memiliki kode etik; kebebsan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah di lingkungan kerjanya; memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi; dan 10) ada pengakuan dari masyarakat dan imbal jasa atas layanan profesinya. (Abbudin Nata, 2003 : 143).

Dalam buku “Wawasan Tugas dan Guru dan Tenaga Kependidikan” Departemen Agama RI, menegaskan lima ciri pokok profesi guru. Kelima ciri dimaksud ialah,
Pertama; pekerjaan itu memiliki fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan dan diakui oleh masyarakat. Kedua; profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan latihan yang “lama” dan intensif serta dilakukan oleh lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Proses pemerolehan keterampilan ini bukan hanya rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah. Jadi dalam suatu profesi, independent judgment berperan dalam mengambil putusan, bukan sekedar menjalankan tugas. Ketiga; profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge), bukan sekedar serpihan atau hanya common sense. Keempat; ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sangsi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik profesi, dilakukan oleh organisasi profesi. Kelima; sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan ataupun kelompok memperoleh imbalan finansial atau materiil. (Rahmat, 2005 : 5)

c. Kompetensi yang harus dimiliki
Guru merupakan suatu jabatan atau pekerjaan hanya dapat dilaksanakan dengan baik serta dapat dipertanggungjawabkan, manakala pelaku atau petugasnya memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.” (M.I. Soelaeman, 2002 : 118). Dengan demikian, suatu tugas atau jabatan guru memerlukan seperangkat kemampuan atau kompetensi untuk melaksanakannya sehingga tugas tersebut memperoleh hasil yang baik. Winarno Surakhmad mengemukakan bahwa :
Kecakapan serta pengetahuan dasar yang dimiliki seorang guru terletak sedikitnya dalam 4 bidang utama, yaitu :
1) Guru harus mengenal setiap peserta didik yang dipercayakan kepadanya;
2) Guru harus memiliki kecakpan memberi bimbingan, karena pada dasarnya mengajar merupakan satu bentuk bimbingan yang dapat dilaksanakan guru;
3) Guru harus memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan di Indonesia sesuai dengan tarap pembangunan;
4) Guru harus memiliki pengetahuian yang bulat dan baru mengenai ilmu yang diajarkan. (Winarno Surakhmad, 1988 : 43-44)

Adapun menurut pendapat Sardiman, pada umumnya para ahli pendidikan, mengelompokkan kompotensi yang harus dimiliki oleh guru ke dalam 10 kompetensi, yaitu :
1) Kompotensi yang berupa kemampuan untuk menguasai bahan pengajaran;
2) Kompotensi dalam bentuk kemampuan mengelola kelas;
3) Kompotensi dalam bentuk kemampuan mengelola program belajar mengajar;
4) Kompotensi yang berwujud kemampuan menggunakan media atau sumber belajar;
5) Kompotensi yang berupa kemampuan untuk menguasai landasan-landasan pendidikan;
6) Kompotensi yang berupa kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar;
7) Kompotensi yang berupa kemampuan menilai hasil belajar peserta didik;
8) Kompotensi yang nampak berupa kemampuan mengenaal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan;
9) Kompotensi yang berwujud kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan;
10) Kompotensi yang berupa kemampuan memahami prinsip-prinsip dan hasil-hasil penelitian untuk keperluan pengajaran. (Sardiman A.M. 1986 : 161).

Dari uraian di atas diyakini bahwa kepribadian guru sebagai akumulasi dari berbagai kompetensi dan keahlian yang dimiliki sangat dibutuhkan dalam pendidikan.






3. Beberapa Aspek Kepribadian Guru
a. Disiplin
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata "disiplin" diartikan dengan: (1) latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatan selalu mentaati tata tertib (di sekolah atau kemiliteran, dll.); (2) ketaatan pada peraturan dan tata tertib (W.J.S. Poerwadarminta, 1984 : 254). Kedua makna ini mengisyaratkan bahwa kata disiplin banyak mengandung arti dan dapat diterapkan kepada berbagai segi kehidupan manusia. Kata "disiplin" memang mengandung banyak arti, Good's Dictiory of Education menjelaskan pengertian "disiplin" sebagai berikut :
1) Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan demi suatu cita-cita untuk mencapai tindakan yang lebih efektif dan dapat diandalkan.
2) Pencarian cara-cara bertindak yang terpilih dengan gigih, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan atau gangguan.
3) Pengendalian prilaku peserta didik dengan langsung dan otoriter melalui hukuman dan atau hadiah.
4) Secara negatif pengekangan terhadap setiap dorongan dengan cara yang tidak enak dan menyakitkan .
5) Suatu cabang ilm pengetahuan. (Oteng Sutisna, 1989 : 110).

Itu berarti aspek terpenting dalam disiplin ialah ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan, secara sadar menjalankan tata tertib dan ketundukan diri demi mencapai tujuan yang diharapkan.
Selanjutnya Oteng menjelaskan juga bahwa dalam buku Webster's New World Dictionary terdapat sejumlah definisi kata "disiplin" lima diantaranya ialah sebagai berikut :
1) Latihan yang mengembangkan pengendalian diri, karakter atau keadaan serba teratur dan efisien.
2) Hasil latihan serupa itu pengendalian diri, prilaku yang tertib.
3) Penerimaan atau ketundukan pada kekuasaan dan kontrol.
4) Perlakuan yang menghukum atau memperbaiki.
5) Suatu cabang ilmu pengetahuan. (Oteng Sutisna, 1989 : 111).

Definisi-definisi tersebut menyarankan adanya dua orientasi tentang disiplin. Pertama mengandung makna mengembangkan karakter, pengendalian diri, keadaan teratur dan efisiensi. Ini adalah jenis disiplin yang disebut "disiplin positif" atau "disiplin konstruktif". Aspek kedua menyangkut penggunaan hukuman atau ancaman hukuman untuk menjadikan seseorang mematuhi perintah dan mengikuti peraturan dan hukum. Pada aspek kedua ini disiplin meliputi penyekat, mengawal dan menahan, sehingga ketaatan yang terjadi bukan dilandasi kesadaran akan pentingnya mentaati peraturan, melainkan merasa takut atas hukuman yang akan diberikan atau diancamkan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dibatasi bahwa disiplin adalah kadar karakteristik dan jenis keadaan serba teratur, dimana dengan keadaan teratur itu diharapkan memperoleh kondisi yang membantu kepada pencapaian tujuan.
Salah satu fenomena yang sekarang sedang berkembang adalah menipisnya “disiplin moral”. Dan hal itu terjadi hampir di semua lapisan masyarakat. Banyak orang yang tidak peduli lagi terhadap sikap dan prilakunya. Gejala penyalahgunaan sikap rasional, teknikal dan professional menjadi gaya hidup yang hanya mempertanyakan apa yang bias dilakukan, dan mengabaikan sikap moral dan etis yang mempertanyakan apa yang baik untuk dilakukan? Apalagi sikap religius dan spiritual yang mempertanyakan apa yang halal dilakukan? sudah banyak yang mengabaikan.
Menurut Muhammad Tholhah Hasan (2000 : 47), ada beberapa hal yang ikut mempengaruhi penipisan disiplin moral ini, antara lain:
Pertama : Berkurangnya “tokoh panutan” dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat menjadi teladan dalam sikap dan perilakunya, baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun kehidupan sosialnya (ramainya Mauizhoh hasanah kurang disertai Usawah hasanah).
Kedua : Dunia pendidikan kita lebih memperhatikan intelektualisasi nilai-nilai agama dan moral. Banyak anak didik yang dalam raportnya memperoleh nilai 8 dan 9 dalam bidang studi agama dan PMP, tapi di luar sekolah nakalnya amit-amit.
Ketiga : Melemahnya sanksi terhadap pelanggaran, baik yang berupa sanksi moral, sanksi social maupun sanksi judicial. Orang menganggap enteng melakukan pelanggaran, apakah itu pelanggaran social seperti pelecehan seksual’ ataupun pelanggaran pidana sperti sadism dan criminal lainnya.
Keempat : Pengaruh jelek dari kebiasaan dan kebudayaan yang dengan leluasa dan hamper tanpa penyaringan masuk di Negara kita, yang secara mudah ditiru oleh masyarakat yang sedang mengalami transformasi dan didukung oleh fasilitas yang memadai.

Dihubungkan dengan kata "guru", disiplin berarti bekerja sesuai dengan etika keguruan. Sehingga dalam melakukan aktivitas mengajar terjadi keadaan serba teratur dengan maksud agar tujuan pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien.
Etika guru berkaitan dengan kode etik pendidik, yaitu salah satu bagian dari profesi pendidik. Artinya setiap pendidik yang professional akan melaksanakan etika jabatannya sebagai pendidik. Isi etika jabatan pendidik menurut Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPS) dalam temu karya pendidikan III dan rakomas di Bandung Tahun 1991, adalah sebagai berikut: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan jujur berdasarkan Pancasila dan UUD 45, (2) menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik, (3) menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) selalu menjalankan tugas dengan berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan Ilmu Pendidikan, (5) selalu melaksankan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Konsep-konsep tentang kode etik pendidik tersebut di atas sesudah dianalisis masing-masing butirnya dengan cara menentukan hakikat dan kemudian disintesis, maka ditemukan kode etik pendidik seperti tertera di bawah ini:
1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Setia kepada Pancasila, UUD 45, dan Negara.
3) Menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik.
4) Berbakti kepada peserta didik dalam membantu mereka mengembangkan diri.
5) Bersikap ilmiah dan menjunjung tinggi pengetahuan, ilmu teknologi dan seni sebagai wahana dalam pengembangan peserta didik.
6) Lebih mengutamakan tugas pokok dan atau tugas Negara lainnya daripada tugas sampingan.
7) Bertanggung jawab, jujur, berprestasi dan akuntabel dalam bekerja.
8) Dalam bekerja berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan Ilmu Pendidikan.
9) Menjadi teladan dalam berperilaku.
10) Berprakarsa.
11) Memiliki sifat kepemimpinan.
12) Menciptakan suasana belajar atau studi yang kondusif.
13) Memelihara keharmonisan pergaulan dan komunikasi serta bekerja sama dengan baik dalam pendidikan.
14) Mengadakan kerjasama dengan orang tua peserta didik dan tokoh-tokoh masyarakat.
15) Taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan.
16) Mengembangkan profesi secara kontinu
17) Secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi (Made Pidarta, 2006 : 272).

b. Bersifat Rabbani
Hendaknya tujuan, tingkah laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani, sebagaimana telah dijelaskan di dalam surat Ali-Imran ayat 79 : “Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani”. Yakni hendaklah kalian bersandar kepada Rabb dengan menaati-Nya, mengabdi kepada-Nya, mengikuti syariat-Nya dan mengenal sifat-sifat-Nya. Jika guru telah memiliki sifat-sifat Rabbani, maka dalam segala kegiatan mendidiknya akan bertujuan menjadikan para pelajarnya orang-orang Rabbani juga; yaitu orang-orang yang melihat dampak dan dalil-dalil atas keagungan Allah, khusyuk kepada-Nya dan merasakan keagungan-Nya pada setiap peristiwa sejarah, sunnah kehidupan, sunnah alam atau hukum alam. Tanpa sifat ini, guru tidak mungkin akan dapat mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Karena ibadah kepada Allah, harus meliputi pandangan tentang alam, seluruh perbuatan di dalam hidup dan seluruh pikiran.


c. Ikhlas
Sifat ini termasuk kesempurnaan sifat Rabbaniyah. Dengan kata lain, hendaknya dengan profesinya sebagai pendidik dan dengan keluasan ilmunya, guru hanya bermaksud mendapatkan keridlaan Allah, mencapai dan menegakkan kebenaran; yakni menyebarkan ke dalam akal anak-anak dan membimbing mereka sebagai para pengikutnya.
Jika keikhlasan telah hilang, akan muncullah sifat saling mendengki di antara para guru, serta sifat pembenaran pendapat dan cara kerjanya sendiri, tanpa mau menghiraukan pandangan orang lain. Dalam keadaan seperti itu, maka sifat egoistis yang didukung hawa nafsu akan menggantikan pola hidup di atas kebenaran. (Abdurahman An-Nahlawi, 1998 : 238).

Demikianlah, tanpa keikhlasan, lapangan pendidikan akan menjadi ajang kedustaan, penyebaran propaganda yang penuh kepura-puraan dan penyesatan akal anak-anak dengan menyeru mereka supaya mengikuti aliran-aliran yang menyesatkan atau penampilan-penampilan yang menyilaukan, seperti seni untuk seni, ilmu untuk ilmu dan sikap sok-obyektif serta sikap dan perilaku lain yang serba tidak bertujuan.
Padahal kemuliaan umat ini akan tercapai dengan jelas mendidik generasi demi generasinya supaya mengamalkan keridlaan Allah dan menjalankan syariat-Nya, serta menjadikan sebagai landasan dari segala bentuk tujuan pendidikan dan pengajaran yang diupayakan dengan penuh keikhlasan dan perhatian. Kemulyaan umat itu tidak mungkin tercapai dengan hanya membatasi pendidikan pada menyampaikan beberapa kalimat pada pendahuluan pelajaran atau buku, yang kadangkala tidak mengantarkan kepada tujuan yang diharapkan; bahkan ada kalanya cara kerja seperti itu hanya akan menimbulkan kekacauan, karena dilaksanakan hanya sekedar memberjalankan kurikulum saja. Bekerja dengan penuh ikhlas mengimplikasikan kesadaran yang sedalam-dalamnya akan tujuan pendidikan yang hendak dicapai yaitu menuju ridla Ilahu yang kemudian dituangkan kepada pola dan cara kerja dengan penuh kesabaran dan kepuasan, karena sadar pula bahwa itu semua dilaksanakan semata-mata Illahi Ta’ala.

d. Sabar
Hendaknya guru bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak-anak. Hal itu memerlukan latihan dan ulangan, bervariasi dalam menggunakan metoda, serta melatih jiwa dalam memikul kesusahan. Di samping itu, karena manusia tidak sama dalam kemampuan belajarnya, guru tidak boleh menuruti hawa nafsunya, ingin segera melihat hasil kerjanya sebelum pengajarannya itu terserap dalam jiwa anak, yang melahirkan hasrat untuk menerapkannya dalam perbuatan; sebelum tingkah lakunya dikembangkan dan sebelum mereka merasa mapan sehingga tergugah gairahnya untuk mengulangkaji dan mengamalkan yang mereka pelajari dalam hidup dan masyarakat mereka, belajar dan mengajar atas dasar sikap sabar dapat bermuara pada kebangkitan umat.

e. Jujur
Hendaknya guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya. Tanda kejujuran itu ialah menerapkan anjurannya itu pertama-tama pada dirinya sendiri. Jika ilmu dengan amalnya telah sejalan, maka para pelajar akan mudah meniru dan mengikutinya dalam setiap perkataan dan perbuataannya. Tetapi jika perbuatannya bertentangan dengan seruannya, maka pada para pelajar timbul keengganan mengamalkan apa yang diucapkan gurunya, bahkan mulai goyah kepercayaan kepada perkataan gurunya; atau setidak-tidaknya merasa bahwa perkataan gurunya itu tidak sungguh-sungguh.
Allah SWT telah mencela orang-orang Mu’min yang tidak jujur dalam perkataan mereka. Allah berfirman :





Artinya:“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”(Tim Penerjemah Al-Quran Depag RI, : 1-3)
Ketidakjujuran pendidik, tanpa disadarinya, kadangkala menimbulkan sikap riya pada para pelajar. Para pelajar, terutama anak-anak yang belum baligh, mudah terpengaruh oleh tingkah laku guru yang tidak jujur itu, bahkan juga mudah terpengaruh oleh kata-katanya. Maka guru adalah contoh teladan mereka dalam setiap perkataan dan perbuataannya.
Ketidakjujuran guru, cenderung menimbulkan dampak buruk terhadap jiwa para pelajarnya, dan lebih banyak merusak jiwanya daripada menyucikan dan mengangkat akhlak mereka.

f. Terus menerus belajar
Hendaknya guru senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan membiasakan untuk terus mengkajinya. Kita melihat, bagaimana Allah memerintahkan kepada para pengikut Rasul supaya menjadi orang-orang Rabbaniyyin dengan mempelajari Al-Kitab dan mengajarkannya. Allah berfirman:



Artinya:“… Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”.”(Tem Penerjemah Al-Quran, Depag RI, 1984)
Hendaknya pula guru berpengetahuan luas dengan ilmu yang dikajinya, seperti berbagai ilmu syari’at Islam, sejarah, geografi, bahasa, MIPA atau matematika dan ilmu alam. Sebab mengajarkan ilmu dan menterjemahkannya bagi anak-anak yang belum baligh hanya akan dapat dilakukan jika guru sendiri telah mencerna dan memahami ilmu itu secara mendalam. Banyaknya kekeliruan pemahaman ilmiah pada guru akan mengurangi kepercayaan para pelajar kepadanya serta akan membuat mereka tidak menghargai apa yang diserukan dan diajarkannya kepada mereka, mencakup pemahaman, penghapalan dan pendalaman pengajarannya serta pelaksanaan. Bahkan mungkin pula kekurangpahaman guru terhadap bidang studinya membuat para pelajar ragu terhadap apa yang dia ajarkan, sehingga mereka tidak mau memanfaatkannya sedikit pun.
Oleh sebab itu guru yang Muslim harus berpengetahuan luas, kuat dalam mengkaji dan memiliki pemahaman mendalam, sehingga para pelajar menghormatinya, mempercayainya dan mengambil faidah yang diharapkan.

g. Tanggap terhadap berbagai kondisi
Hendaknya guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangaan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan pola berpikir angkatan muda. Di samping itu, hendaknya memahami pula berbagai problema kehidupan modern serta cara bagaimana Islam mengahadapi dan mengatasinya. Hal ini dapat diupayakan dengan disertai wawasan tertulis serta keterampilan bertindak, sambil mengikuti dan memahami gejolak dan suara remaja, mengkaji berbagai informasi dan keluhan yang mungkin menimbulkan keresahan. Dengan kata lain guru hendaknya meneliti sebab-sebab keresahan pelajar dan menganalisisnya dengan bijakdan dan memuaskan.
Guru tidak cukup hanya mengetahuin norma dan cara-cara yang baik, lalu menyerukannya kepada para peserta didik. Dia hendaknya juga meneliti apa saja yang dibisikkan dan dihembuskan secara rahasia oleh pihak-pihak yang mengajak kepada kebatilan dan kekufuran. Dia hendaknya meneliti pula berbagai muslihat yang ditujukan terhadap umat Mu’min dan terhadap mereka yang berjuang dalam mengamalkan dan mencapai tujuan pendidikan Islam. Kewaspadaan ini perlu, karena para guru selalu bergaul dengan jiwa muda yang gelisah, mudah terpengaruh oleh berbagai cobaan, ajakan hawa nafsu dan arus yang ditemui zaman modern ini, yang menyimpang dan tidak bertopang atas keimanan kepada Allah.
h. Bersikap Adil
Hendaknya guru bersikap adil di antara para pelajarnya: tidak cenderung kepada salah satu golongan di antara mereka, dan tidak melebihkan seseorang atas yang lain, dan segala kebijaksanaan dan tindakannya ditempuh dengan jalan yang benar dan dengan memperhatikan setiap pelajar, sesuai dengan perbuatan serta kemampuannya. Rasulullah SAW sendiri telah diperintahkan supaya bersikap adil, meskipun beliau adalah contoh teladan bagi Pra guru. Allah Ta’ala befirman:





Artinya : “… dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu …”(QS Asy-Syura’ : 15)

B. Akhlak Peserta didik
1. Pengertian Akhlak
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jama’ dari khuluq atau khulq yang secara lughah berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Muhammad Daud Alim, 2002 : 346). Kalimat tersebut mengandung persesuaian dengan perkataan khulqun yang artinya : kejadian dan sangat erat hubungannya dengan kata-kata khaaliqun yang berarti pencipta, serta erat pula kaitannya dengan kata-kata makhluuqun yang berarti diciptakan. (Bakri A. Ramhan, 1993 : 3).
Apabila akhlak dihubungkan dengan kata khalqun, khaaliqun dan makhluuqun, akan menghasilkan makna akhlak sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaaliq dan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Dan itulah essensi dari khuluq sebagaimana firman Allah :
ﻢﻳﻇﻋﻖﻠﺨ ﻰﻠﻌﻠ ﻚﻧﺇﻭ
Artinya : “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang amat tinggi.” (Al-Qalam : 4) .
Demikian pula dalam hadits Nabi menyebutkan : “Sesengguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) yang mulia.” (H.R. Ahmad, dalam Barmawie Umary : 1988 : 2).
Adapun pengertian akhlak menurut istilah, ada bermacam-macam pendapat, diantaranya sebagai berikut :
a. Akhlak menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, yaitu “Akhlak adalah sesuatu sifat yang tertahan dari jiwa yang dari padanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran terlebih dahulu”.
b. Menurut Ahmad Amin (1975 : 63)
“Akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia launnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”.
c. Menurut Ibnu Maskawaih dalam kitab “Tahdibul Akhlak wathahirul A’raq sebagai berikut Artinya: Keadaan seseorang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu).”
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian akhlak adalah sebagai berikut :
a. Akhlak adalah suatu ilmu yang memberikan batasan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan tercela, baik perbuatan maupun perbuatan manusia untuk mencapai keselamatan da kebahagiaan lahir dan batin.
b. Akhlak adalah hal yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk dan mengatur pergaulan umat manusia guna mencapai tujuan hidup mereka yang terakhir dan seluruh usaha serta pekerjaan mereka.
Dalam pandangan Muhammad Daud Ali (2002 : 248), akhlak islami adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak, jika memenuhi beberapa syarat, yaitu dilakukan berulang-ulang, dan timbul dengan sendirinya.

2. Dimensi Akhlak
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa akhlak adalah sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia. Oleh sebab itu, sumber, indikasi, dan aspek-aspeknya dijelaskan sedemikian rupa dalam ajaran Islam.
a. Sumber Akhlak
Semua ajaran Islam bersumber pada al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw., demikian pula halnya dengan akhlak. Sumber itulah yang menjadi landasan untuk menentukan baik dan buruk. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah : 16 :




Artinya: “Dengan kitab (al-Qur’an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukki mereka ke jalan lurus”.

Sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an adalah Hadits Rasulullah saw., yang meliputi perkataan, perbuatan dan taqrir beliau. Hadits Nabi berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an terutama dalam masalah yang di dalam al-Qur’an bersifat pokoknya saja. Hadits Nabi dijadikan sebagai sumber akhlak karena di dalam al-Qur’an dinyatakan:



Artinya: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka jauhilah (tinggalkanlah).” (Tim Penerjemah Al-Quran, Depag RI, 19984 : 7).
Dalam akhlak, terdapat satu sumber lainnya selain al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber pokok, yaitu manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Bakri A. Rahman (1983 : 8) :
Manusia selaku makhluk yang istimewa dengan berbagai perbedaannya jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, memiliki kelebihan-kelebihan, di samping terdapat kekurangan. Selain manusia itu telah diistemewakan Tuhan dalam beberapa hal, terdapat perbedaan-perbedaan antara manusia itu sendiri, baik sik maupun mental. Yang membedakan makhluk manusia dengan makhuk lainny adalah terutama akal budinya sehingga ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. (Bakri A. Rahman, 1983 : 8).

Dari pendapat di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa manusia yang bijaksana, yang mengerti tentang baik dab buruk, serta orang tersebut menerapkannya dalam kehidupan di masyarakat, maka kita dapat mencontohnya, misalnya terhadap akhlak para ulama.
b. Indikasi akhlak yang ada dalam diri manusia
Indikasi atau aspek akhlak yang terdapat dalam diri manusia dan menimbulkan perbedaan dari masing-masing individu adalah naluri (insting) atau fitrah yang dibawa sejak lahir, akal, nafsu dan hati.
1) Naluri
Setiap manusia yang lahir digerakkan oleh naluri. Naluri tersebut merupakan tabi’at yang dibawa oleh manusia sejak lahir atau sering disebut dengan fitrah. Pada diri manusia ada empat macam fitrah tabi’at, yaitu bahamiyah, sabu’iyah, syaithaniyah dan rububiyah (Barmawie Umari, 1988 : 28).
2) Akal
Termasuk dalam aspek yang bersumber pada diri manusia adalah akal, dengan akalnya manusia dapat melaksanakan agama dengan benar, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang artinya : “Agama manusia itu berdasarkan akal, dan barang siapa yang tidak berakal maka baginya tidak beragama.” (Imam Suyuti, 1966 : 154).
Jadi antara naluri dan akal manusia ada kesatuan yang mendorong dan mempengaruhi manusia agar selalu memilih jalan yang baik, yakni berdasarkan hidup dengan tuntunan agama.
3) Nafsu
a) Nafsu amarah adalah jiwa yang belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk/jelek, belum mwndapatkan tuntunan, kebanyakan mendorong kepada hal-hal tidak baik.
b) Nafsu lawwamah adalah jiwa yang telah memiliki rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan pelanggaran.
c) Nafsu musawwalah adalah nafsu yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun baginya mengerjakan yang baik dan yang buruk sama saja.
d) Nafsu mutmainah adalah nafsu yang mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik, ia mendatangkan ketenangan jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, membentengi untuk berbuat jahat.
e) Nafsu mulhamah ialah jiwa yang mendapat ilham dari nAllh, dikarunia ilmu pengetahuan, dihiasi oleh ahlakul mahmudah.
f) Nafsu raadiyah adalah nafsu yang mendapat ridha dari Allah, mempunyai kedudukan baik dalam kesejahteraan, mensyukuri nikmat dan merasa cukup dengan apa yang ada.
g) Nafsu mardhiyah adalah nafsu yang diridhai Allah di mana dapat dilihat dari anugrah yang diberikan-Nya berupa senantiasa zikir, ikhlas, mempunyai karamah, memperoleh kemuliaan.
h) Nafsu kaamilah adalah nafsu yang sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dikatakan cakap untuk melakukan irsyad dan ikmal terhadap hamba Allah, ia digelari Mursyid dan Mukammil (Disarikan dari Barmawi Umary : 1988 : 22-23 dan dari A. Rahman, 1983 : 14-15).
4) Qalbu
Qalbu disebut juga hati atau jantung sanubari. Karena keadaan dan sifatnya, maka qalbu itu mempunyai bermacam-macam nama, yaitu :
a) Dlomirun, dari segi tersembunyinya
b) Fu’adun, dari segi banyak gunanya
c) Kabidun, dari segi bendanya
d) Luthfun, dari segi sumbernya sifat kehalusan
e) Qalbun, dari segi suka berubah-ubah
f) Sirrun, dari segi tempat menyimpan rahasia
Menurut A. Rahman (1983 : 16) qalbu atau hati tidak dapat diketahui bentuknya, hakikat dan zatnya, hanya kesan dan sifatnya sajalah yang diketahui orang. Tuntunan hati adalah ilmu, hidayah, inayah, irsyad, taufik dan ma’rifah. Kesemuanya itu sebagai santapan hati. Adapun cara memeliharanya adalah dengan membersihkan diri dari sifat-sifat isti’jal, hasad, kikir, tulus amal.
Dengan melihat penjelasan dia atas maka dapat dipahami kalau hati banyak memegang peranan penting dalam akhlak, sebab itu dari hatilah timbul kebaikan dan keburukan. Sebagaimana dalam hadits Nabi yang artinya : “Ingatlah! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daginmg, apabila ia baik, baiklah anggota tubuh dan apabila binasa, binasalah anggota tubuh itu ijngat, itulah hati (H.R. Buchori Muslim).
c. Aspek-Aspek Akhlak yang Disebabkan oleh Keadaan di Luar Diri Manusia (Lingkungan)
Salah satu faktor yang ikut menentukan akhlak seseorang adalah lingkungan (milieu), yaitu segala sesuatu yang terdapat di luar diri manusia, misalnya tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara dan lingkungan pergaulan sesama manusia.
“…tubuh yang hidup tumbuhnya bahkan hidupnya tergantung kepada lingkungan yang ia hidup di dalamnya kalau milieu itu tidak mencocoki kepadanya, maka tubuh tersebut akan lemah dan mati. Udara, cahaya, logam di dalam tanah letaknya nnegeri, dan apa yang ada pada lautan, sungai dan pelabuhan adalah mempengaruhi dalam kesehatan penduduk dan keadaan mereka yang mengenai akal dan akhlak. Milieu pergaulan meliputi manusia, seperti rumah, sekolah pekerjaan, pemerintahan, syi’ar agama, keyakinan pikiran-pikiran, adat istiadat, pendapat umum, ide, bahasa, kesenian, pengetahuan dan akhlak (Ahmad Amin, 1975 : 41).

Dengan berpedoman pada pendapat di atas, maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa lingkungan dapat mematahkan dan mematngkan pertumbuhan bakat yang dibawa manusia sejak lahir. Kondisi alam yang buruk akan mengakibatkan perintang bagi perkembangan kematangan bakat seseorang, yang pada akhirnya mempengaruhi terhadap sikap dan perilakunya.
d. Pembagian akhlak
Akhlak dibagi pada dua bagian besar yaitu akhlak mahmudah atau aklakul karimah dan akhlakul mazmumah, menurut Barmawi Umary (1988 : 43) pembagian akhlak itu adalah sebagai berikut :
1) Akhlaqul mahmudah
Al-Amanah, al-Afifah, al ‘Afwu, Aniesatun, al-Khaeru, al-Khusyu, adl-Dliyaafah, al-Qufran, al-Hayaa’u, al-Hilmu, al-Hukumu bil ’Adli, al-Ikhaa’u, al-Ihsan, al-‘Iffah, al-Muru’ah, an-Nazhafah, ar-Rahman, as-Sakha’u, as-salam, ash-Shalihat, ash-Shabru, ash-Shidqatu, asy-Syaja’ah, at-Ta’awun, at-Tadlorru’, at-Tawaadlu’, Qona’ah, ‘Izzatun nafsi.
2) Akhlakul mazmumah (tercela)
Annaniah, al-Baghyu, al-Bukhlu, al-Buhtaan, al-Khamru, al-Khiyaanah, azsh-Zhulmu, al-Jubun, al-Fawaahisy, al-Ghadlob, al-Ghasysyu, al-Ghibah, al-Ghinaa, al-Ghuruur, al-Hayatud dunyaa, al-Hasad, al-Hiqdu, al-Ifsah, al-Intihar, al-Israaf, al-Istikbar, al-Kadzbu, al-Kufran, al-Liwaathah, al-Makru, an-Namimah.
Pembagian akhlak di atas adalah pembagian akhlak menurut jenisnya, sedangkan menurut kewajibannya, akhlak dapat digolongkan kepada akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan serta akhlak terhadap al-Khaaliq.
1) Akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya
Akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya dilakukan dengan cara tha’at, tunduk dan patuh terhadap apa-apa yang diperintahkannya dan menjauhkan serta meninggalkan dari apa-apa yang dilarangnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Tim Penerjemah Al-Quran, Depag RI, 1984).

2) Akhlak terhadap orang tua
Akhlak terhadap orang tua bukan saja dimaksudkan ayah dan ibu saja, tetapi juga kepada orang yang lebih tua, bukan pula tua dalam umurnya saja tetapi dalam hal ilmu dan kekayaan, orang yang rajin beribadah, meskipun mungkin umurnya lebih muda dari kita.
Kepada orang tua kita sendiri Allah memberikan petunjuk cara bergaul dan menjaga martabat, sesuai dengan firman-Nya.





Artinya “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (Q.S. An-Nisa : 36).

Orang tua kita sangat besar jasanya dalam membesarkan, mendidik dan menanggung segala kesulitan dalam memelihara dan merawat anak-anaknya. Oleh karena itu, Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip tersebut adalah : patuh, ihsan, berkata lemah lembut, merendah diri, berterima kasih, memohonkan rahmat dan ampun untuk mereka kepada Allah. Dalam Al-Quran surat al-Isra’ : 23 dan Luqman : 14 dijelaskan sebagai berikut.



Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al-Isra : 23).

3) Akhlak terhadap sesama (teman sebaya)
Terhadap mereka yang sebaya, patutlah kita menunjukkan ketinggian akhlak, menjaga kehormatan, memebrikan pertolongan dan sebagainya. Dengan teman sebaya haruslah seperti dua tangan yang saling membantu, karena tidak dikatakan sempurna iman seseorang jika membiarkan temannya dalam kesulitan atau bahaya dijelaskan : Artinya : “Perumpaman kedua orang yang bagaikan kedua belah tangan, tangan yang satu membasuh tangan yang lainnya.” (H.R. Abu Na’im).
Dalam hadits yang lain diceritakan sebagai berikut : Artinya : “Tidak sempurna iman seseorang, sehingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. (H.R. Buchori).
4) Akhlak terhadap alam (lingkungan alam)
Manusia yang merusak terhadap lingkungan, akan mendapatkan kerugian bagi dirinya sendiri dan juga bagi lingkungannya, oleh karena itu, Islam mengatur akhlak terhadap lingkungan, misalnya tidak boleh merusak tanaman, tidak boleh menggunduli gunungm harus memelihara tanaman dan harus memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia. Pada masa sekarang ini telah banyak tejadikeruskan akibat perbuatan manusia yang tidak memiliki akhlakul karimah terhadap lingkungannya, padahal jauh-jauh sebelum itu Allah telah berfirman dalam al-Qur’an dalam surat Ar-Rum : 41 :


Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Dari keterangan-keterangan di atas, nampak jelas bahwa umat manusia diberi perintah oleh Allah swt untuk senantiasa melestarikan lingkungan hidup agar tetap harmonis dengan keadaan di sekitarnya, karena semua manfaatnya akan dirasakan sendiri oleh manusia, demikian pula jika mereka merusaknya, mereka akan merasakan akibatnya, misalnya dengan adanya banjir, kekurangan makanan dan sebagainya. Pemeliharaan lingkungan hidup itu merupakan bagian dari akhlak yang mesti diwujudkan secara baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan Islam, pendidikan yang ideal adalah yang sanggup mengembangkan ketiga potensi tersebut secata harmonis dan proporsional. Dalam bahasa Al-Quran disebutkan : “Basthotan fi al-‘ilmi wa al-jismi” (keunggulan ilmu dan raga), disamping “qalbun salim” (hati nurani yang sehat).
Tugas para pendidik yang strategis adalah mewariskan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge’s), mewariskan nilai-nilai luhur (transfer of values) dan mewariskan keterampilan dan keahlian (transfer of skills); dengan harapan dapat meningkatkan kualitas peserta didik terutama dalam kualitas piker, kualitas moral, kualitas kerja, kualitas pengabdian dan kualitas hidup.
Masalah penting lainnya yang diperankan oleh para pendidik adalah “keteladanan” dalam hidup, dapat menjadi panutan bagi peserta didiknya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tutur kata, sikap dan prilakunya. Peran seperti itu akan dapat dilakukan dengan baik atau sebaliknya oleh para pendidik, tergantung dengan kondisi internalnya, terutama kondisi religiusitasnya, kondisi moralitasnya, kondisi intelektualitasnya.
Mengingat arus globalisasi sekarang lebih banyak bersifat materialistis, maka upaya penyelamatan peserta didik adalah dengan memberikan ruang dan kemampuan bagi mereka untuk mengembangkan kehidupan spiritualistis, sebagai imbangan kehidupan global yang materialistis tersebut. Kehidupan spiritual itu dapat dikembangkan dengan “pembiasaan” peserta didik secara dini, melakukan atau mengamalkan ibadah-ibadah dengan teratur, membiasakan perilaku sopan dan santun, membudayakan akhlaqul karimah dan mengembangkan kepekaan social.
Dalam hal ini faktor keteladanan para pendidik di samping keluarga peserta didik sangat berpengaruh. Dan sayangnya pada masa sekarang ini peranan keluarga sebagai pranata kependidikan cenderung bertambah lemah, baik karena keterbatasan kesempatan, kemampuan atau kemauan. Budaya ‘pre-figuratif’ yaitu menokohkan yang lebih tua menjadi luntur, dan yang ada hanya “co-figuratif” yaitu tokoh idolanya yang sebaya, malah ada kecenderungan ‘post figuratif’ yaitu yang tua mengikuti yang lebih muda sebagai idola.

Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Sekolah menengah atas (SMA/MA) merupakan institusi pendidikan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan memproduksi, mengkonstruksi dan merevitalisasi paradigma sumber daya manusia di lembaga pendidikan tersebut, diarahkan agar mereka memiliki perspektif kognisi, afeksi dan konasi yang baik di mata masyarakat sebagai bekal kehidupannya.
Sekolah menengah atas tidak saja dituntut segi-segi otentitasnya secara yuridis dan eksistensial agar legitimasinya diakui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai sebuah institusi yang capable mengelola dan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu, tetapi juga harus mampu mengkonstruktivitaskan institusinya secara moral dan manajerial agar ia dapat survive dan mampu menyediakan semua proses intelektualisasi produk yang dihasilkannya kepada masyarakat secara sistematis, kontinue dan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat tentang harapan dan cita-citanya mendapatkan manfaat belajar di sekolah.
Atas tuntutan itulah setiap orang pada akhirnya mendudukan sekolah sebagai sesuatu yang penting. Suatu cita-cita yang senantiasa terus dikejar oleh masyarakat untuk menapaki eksistensi kehidupannya dalam komunitas kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera. Dengan kata lain, sekolah menengah atas sampai hari ini merupakan jalan elementer bagi masyarakat dalam upaya menjadikannya sebagai perantara untuk memasuki perguruan tinggi dan sekaligus sebagai kaum elit – kelompok masyarakat yang memberikan pengaruh, dan daya dorong kuat sekaligus sebagai pemimpin ditengah suatu komunitas masyarakat. Apapun komunitasnya–apakah komunitas politik, ekonomi, sosial, budaya, profesi dan sebagainya.
Dalam realitas di masyarakat, banyak alumni sekolah tingkat atas (SMA/MA) yang melanjutkan ke perguruan tinggi, dan tidak sedikit yang langsung bekerja menjalankan fungsi sebagai agen pembaharu di masyarakat. Hal ini sejalan dengan arah tujuan sekolah menengah sebagaimana dirumuskan Depdiknas berikut ini.
Lulusan sekolah menengah atas dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi), disamping harus mampu menjalankan fungsinya sebagai agen pembaruan dalam masyarakat (agent of social change). Yakni Pemahaman dan pemikiran masyarakat yang terbuka dan cerdas dalam bidang apapun (politik, hukum, pendidikan, kesehatan, keagamaan) dan berbagai dimensi lain. Lulusan sekolah menengah atas juga diharapkan membawa pencerahan dan memberikan pengaruh bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat (Depdiknas, 2006 : 12).

Harapan yang begitu menggebu terhadap lulusan sekolah menengah atas cukup beralasan. Karena kalau bukan lulusan sekolah siapa lagi yang memberikan pencerahan, pembaruan, dan peningkatan taraf hidup mereka. Namun keinginan agar lulusan sekolah menengah atas berkualitas dan mampu melakukan yang terbaik, tenyata akhir-akhir ini tinggal harapan.
Mengapa? Selama ini kualitas lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA) pada skala nasional maupun daerah cukup mengkhawatirkan. Jumlah lulusan yang memiliki kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik kepada masyarakat cukup kecil. Inilah salah satu persoalan mendasar dalam praktek pengelolaan pendidikan di sekolah menengah atas. Pada akhirnya tidak salah apabila masyarakat sering memiliki pandangan miring kepada lulusan sekolah menengah atas. Masyarakat menemukan sebagian besar lulusan sekolah menengah atas tidak mampu menjalankan misinya sebagai orang yang terdidik, memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki nilai (values) yang menjadi identitas sebagai kaum terdidik. Dan dalam pandangan beberapa perguruan tinggi, lulusan sekolah menengah atas banyak yang belum siap belajar sebagai mahasiswa. Rendahnya values baik berupa nilai agama dan etika, juga telah memperparah keberadaan lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA) di mata masyarakat.
Berbagai pandangan miring yang dialamatkan kepada lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA), tidaklah perlu dinegasikan secara defensif oleh institusi sekolah menengah atas. “Sebab hal tersebut adalah realitas yang harus disikapi dengan arif oleh para pemimpin sekolah menengah atas” (Abudin Nata, 2003 : 24). Selanjutnya Nata menjelaskan:
Stakeholders harus berfikir mengapa realitas ini terjadi. Oleh karena itu maka institusi sekolah menengah atas perlu mencari berbagai faktor determinan yang menentukan mengapa lulusannya sebagian besar sangat rendah kualitasnya. Bukankah, seseorang dikatakan lulus sekolah menengah atas apabila ia telah memenuhi standar akademik yang baik. Mengapa lulusan sekolah menengah atas belum mencerminkan suatu standar akademik, padahal mereka sudah mengikuti proses belajar, mengikuti ujian nasional. Mengapa mereka dinyatakan belum layak menjadi mahasiswa apalagi menjalankan misinya sebagai agen pembaruan masyarakat.

Banyak faktor penyebabnya. Ada yang berpandangan inputnya tidak baik, dananya terbatas, dan bahkan ada pula yang berpendapat regulasi pemerintah tidak memihak kepada peningkatan mutu akademik lulusan sekolah menengah atas. Faktor-faktor itu memang mempengaruhi output sekolah menengah atas dalam memproduksi sumber daya manusia. Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak murid yang tidak siap karena sebagian menderita kekurangan biaya, kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang tidak mendukung. Di samping itu, ada pula perilaku negatif peserta didik yang berdampak pada kesehatan dan proses belajar mengajar seperti perilaku merokok, penyalahgunaan narkoba, seks pra-nikah, dan kasus HIV/AIDS pada usia produktif (15—24 tahun) yang semakin meningkat.
Namun, dari kesemua faktor yang ada, kecenderungan faktor determinan yang menunjukkan rendahnya kualitas lulusan sekolah menengah atas kebanyakan justru terletak pada manajemen sekolah itu sendiri. Yaitu kemampuan mengelola sekolah secara integral dan menyeluruh dengan mengoptimalkan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki sekolah. Sebab fasilitas yang memadai tidaklah menjamin peningkatan kualitas jika kemampuan menata dan mengoptimalkan sumberdaya termasuk sumberdaya manusia belum dimiliki. Bila para pengelola lembaga pendidikan tingkat atas tidak menerapkan prinsip-prinsip manajemen peningkatan kualitas, maka keterpurukan pendidikan yang akan dicapai.
Rendahnya kualitas tenaga pendidikan dan kependidikan, serta lemahnya kompetensi manajerial para pemimpin sekolah menengah atas, secara tersirat telah disadari oleh pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional. Dalam renstra Depdiknas (2006 : 27) dijelaskan sebagai berikut.
Secara eksternal, komponen masukan pendidikan yang secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan meliputi (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya; (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal; (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran; dan (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif.

Dalam konteks yang demikian itulah maka manajemen sekolah menjadi landasan dasar bagi penataan dan perbaikan yang ditujukan untuk menghasilkan lulusan sekolah menengah atas yang berkualitas dengan kualifikasi akademik yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Ted Wall, guru besar manajemen pendidikan dari Mc Gill University, menyebutkan, manajemen sekolah harus dimulai dari adanya kesadaran (awareness) seluruh civitas akademika, terutama bagi pimpinan sekolah. Artinya, setiap kebijakan diambil semata-mata untuk meningkatkan mutu akademik. Lebih lanjut dia menjelaskan sebagai berikut.
Kesadaran pimpinan sekolah menengah atas tersebut harus berangkat dari filosofis bahwa mengelola sekolah menengah atas tidak saja berorientasi pada economic capital (profit oriented) saja, melainkan juga harus berorientasi pada sosio capital – yakni target pengelolaan yang berorientasi pada segi-segi konstruktivitas dan charactarer building manusia, atau dengan kata lain stakeholders haruslah memprioritaskan human capital sebagai sasaran output bagi eksistensi sekolah yang dikelolaanya (Andi Trinanda, 2007 : 1).

Problematika yang dihadapi dalam mengelola sekolah menengah atas, dapat saja dieleminir jika semua elemen baik stakeholders maupun seluruh civitas akademika memiliki komitmen, konsensus, dan completion berupa situasi yang mendukung untuk melakukan perubahan. Komitmen akan melahirkan suatu kesadaran manajerial bahwa mengelola sekolah cenderung didasari oleh suatu konsep yakni pertama, activition, kedua verifikasi-investigasi dan ketiga, suksesi. Konsep manajerial ini penting untuk dikembangkan menjadi suatu komitment yuridis formal oleh institusi pendidikan persekolahan agar ia memiliki standar baku dalam setiap proses langkah mengelola sebuah organisasi yang term-nya adalah produk intelektual.
Pada taratan empiris, berdasarkan informasi dari bagian humas di SMAN Ciawi, dari 326 output peserta didik tahun pelajaran 2007/2008 yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi hanya mencapai 38%, sedangkan yang bekerja 19% dan yang tidak melanjutkan dan belum bekerja mencapai 43%. Adapun di MAN Ciawi, pada tahun pelajaran yang sama, dari jumlah peserta didik 232 orang, yang melanjutkan ke perguruan tinggi sebesar 31%, bekerja 17% dan tidak melanjutkan dan belum bekerja 52% (Hasil wawancara dengan WK Kesiswaan).
Tenaga pendidik yang tidak layak di SMAN 1 Ciawi sebanyak 12,5% dari 75 orang dan di MAN mencapai 17% dari 53 guru. (Ketidak layakan ini dilihat dari latar pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkannya saat ini; misalnya guru berlatar pendidikan Biologi, mengajar sejarah). Dan masih banyak hal-hal lain yang menunjukan belum sesuainya antara harapan dengan kenyataan.
Kedisiplinan guru dan siwa di SMUN 1 Ciawi relatif masih kurang, guru yang telat masuk kelas pada setiap minggunya rata-rata mencapai 9,38% dengan rentang telat antara 10-15 menit, siswa yang kesiangan antara 5 - 10 menit perhari rata-rata 4,12%. Guru yang belum memiliki program pembelajaran mencapai 15,63%; siswa yang lambat membayar SPP setiap bulan rata-rata %; guru yang tidak memiliki catatan proses dan hasil belajar siswa antara 10-13%.
Namun demikian, keadaan Madrasah Aliyah dari berbagai sisi bisa jadi lebih memprihatinkan, sebab meskipun keberadaannya sudah lama, tetapi pengakuan secara yuridis formal oleh Depdiknas baru pada tahun 1992. Dimana secara tegas pemerintah menyatakan bahwa Madrasah Aliyah sebagai SMU berciri khas Islam (Kepmendikbud No. 0489/U/1992 pasal 1 angka 6).
Departemen Agama sebagai departemen yang menaungi Madrasah Aliyah mensinyalir beberapa permasalahan yang dihadapi madrasah, termasuk Madrasah Aliyah, antara lain (1) lembaga pendidikan yang dililit berbagai keterbatasan (sarana-prasarana, dukungan dana), (2) kurikulum yang belum menjawab kebutuhan, (3) kurang tersedianya SDM yang memadai, (4) tantangan iptek dan globalisasi (Depag RI, 2004 : 167). Selain permasalahan tersebut dalam realitas di masyarakat, Madrasah Aliyah belum menjadi pilihan utama peserta didik dan orang tua. Peserta didik lebih bangga bila masuk SMA dan orang tua lebih percaya pada SMA.
Pada sisi lain, tuntuan pemerintah terhadap alumni Madrasah Aliyah sama dengan tuntutan terhadap alumni SMA. Bahkan masyarakat berharap lebih banyak terhadap alumni Madrasah Aliyah, karena selain diharapkan memiliki ilmu pengetahuan umum, juga diharapkan memiliki ilmu agama (Islam) yang memadai. Itulah seharusnya yang menjadi keunggulan dan nilai jual serta kekuatan Madrasah Aliyah, namun demikian bila tidak diimbangi dengan berbagai faktor pendukung, baik berupa dana, sarana, sumber daya manusia, dan sistem manajemen yang baik, maka tuntutan pemerintah dan harapan masyarakat tidak akan terwujud.
Kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan manajemen mutu berbasis sekolah masih dihadapkan kepada berbagai problema yang membutuhkan pengkajian. Indikasi kearah tersebut ditunjukan dengan masih rendahnya fungsional yaitu terkait dengan kegunaan; Temporal yaitu seperti tepat waktu, ketersediaan, akurasi; Phisikal yaitu seperti mekanik, elektrik, bagunan; sensory yaitu berkaitan dengan panca indra dan perasaan; behavorial yaitu berkaitan dengan sifat seperti sopan santun, disiplin, kejujuran; Ergonomic yaitu berkaitan dengan keselamatan, kenyamanan dan kesehatan.
Hasil penelitian Feiby Ismail (2008 : 132) dengan judul Manajemen Berbasis Sekolah: Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan tingkat SLTA di Menado, menyimpulkan bahwa “dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah tersebut diasumsikan kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan juga peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan di tingkat mikro (sekolah) akan lebih meningkat.” Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Aminudin (2008) melalui judul penelitian Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (Study Kasus pada MI Muhammadiyah Program Khusus Kenteng Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2007/2008), menyimpulkan bahwa:
Manajemen peningkatan mutu pendidikan berbassis sekolah merupakan sebuah model manajerial yang baik dan sesuai diterapkan di madrasah, hal ini di buktikan dengan adanya kelengkapan komponen-komponen manajemenya, dan juga konsep kepemimpinan yang terbuka dan demokratis karena lembaga ini berdiri dan berjalan atas partisipasi dan dukungan masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingginya animo masyarakat untuk memasukkan putra-putrinya agar menjadi siswa di lembaga tersebut, akibatnya jumlah siswa saat ini menjadi semakin membludak.

Berdasarkan asumsi tersebut maka dalam mengatasi masalah yang terjadi di SMA maupun di MA dapat dilakukan dengan menerapkan konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah secara utuh. Dilaksanakan dengan seksama dan bekerjasama.
Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan peserta didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka diduga disetiap sekolah/madrasah akan terjadi variasi dalam penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasasis sekolah. Atas dasar itu maka penulis tertarik untuk meneliti perbedaan dan persamaan penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah yang diselenggarakan oleh SMA sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang berada di bawah naungan Depdiknas, dengan Madrasah Aliyah (MA) sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang berada di bawah naungan Depag. Sebagai lokasi penelitian dipilih sebuah kabupaten yang ada di wilayah Jawa Barat, yakni di Kabupaten Tasikmalaya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini selanjutnya diberi judul: MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH (Studi Perbandingan di SMAN dan MAN Se Kabupaten Tasikmalaya).


Perumusan dan Batasan Masalah
Perumusan Masalah
Otonomi pendidikan sebagai hasil dari perjuangan reformasi di bidang pendidikan pada akhirnya memunculkan beberapa kebijakan di bidang pendidikan seperti Manajemen Berbasis Sekolah (school-based management), rencana implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (curriculum-based competence), dan Kurikulum Berbasis Sekolah (school-based curriculum). Manajemen mutu merupakan hal sangat dibutuhkan karena saat ini tidak ada lagi hal yang sederhana, itu pun kalau hal yang sederhana pernah ada (Crosby). Sebagaimana yang telah kita ketahui, standar mutu dapat memiliki peranan dalam TQM. Standar tersebut dapat memberikan pesan aktual dan potensial kepada pelanggan, bahwa institusi mengunakan mutu secara serius, dan bahwa kebijakan-kebijakan dan praktek-prakteknya sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional. Ini dapat memberikan kepercayaan eksternal di samping membangun kebannggaan internal.
Meskipun implementasi MBS ini memerlukan perjuangan berat bangsa Indonesia dan membutuhkan waktu yang cukup panjang (time consuming), dalam pandangan Noble (1996), MBS itu diharapkan dapat: (1) meningkatkan prestasi akademik peserta didik (academic achievement), (2) meningkatkan pertanggung jawaban (accountability) diantara para pengambil kebijakan, (3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment) ke arah perbaikan budaya sekolah (school culture), dan untuk kegunaan politis (political utility) karena para pengambil kebijakan di masyarakat (local players) benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sekolah.
Menurut Cheng (2001), MBS merupakan salah satu kecenderungan internasional yang paling menonjol dalam reformasi di bidang pendidikan (the most salient international trends of school reform). MBS memberikan banyak kesempatan dan kebebasan kepada para guru, orang tua, pendidik, pengelola pendidikan, dan pemimpin pendidikan untuk memikirkan kembali praksis pendidikan, mengembangkan mereka sendiri, mengubah peranan dan membuat inovasi serta meningkatkan kualitas lulusan.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), sebenarnya merupakan bentuk riil keinginan bangsa Indonesia untuk menuju sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik, demokratis dan manusiawi yang perlu diwujudkan dalam di setiap sekolah.
Permasalahan lain yang dihadapi seiring dengan latar belakang masalah di atas adalah sekolah menengah atas sebagai institusi pendidikan dituntut menghasilkan lulusan yang berkualitas dengan mendasarkan kepada realitas yang ada di sekolah masing-masing, juga harus mencapai standar nasional. Pada sisi lain, manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah akan diwarnai oleh berbagai aspek yang ada di lingkungan sekolah masing-masing pada satu sisi, dan pada sisi lain harus sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan diharapkan masyarakat sebagai pemakai jasa pendidikan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah didasarkan kepada teori sistemik, dalam hal ini mutu pendidikan berbasis sekolah akan dipengaruhi oleh input, proses, out put dan out comenya. Sehingga penanganan lembaga pendidikan oleh Departemen yang berbeda lebih memungkinkan terjadinya perbedaan dalam pola-pola peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. Dalam bentuk bagan, permasalahan penelitian ini disajikan sebagai berikut:





Bagan 1. Perumusan Masalah
















Batasan Masalah
Tidak seluruh masalah yang teridentifikasi akan diteliti, melainkan akan dibatasi dan difokuskan pada masalah berikut:
Bagaimanakah pola penerapan manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN se Kabupaten Tasikmalaya?
Masalah-masalah apakah yang dihadapi oleh SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya dalam menerapkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah?
Bagaimana strategi mengatasi masalah-masalah penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya?
Bagaimana hasil penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya?
Dengan memperhatikan permasalahan penelitian tersebut, dalam bentuk bagan dapat dilihat sebagai berikut.
Bagan 2. Batasan Masalah







Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalahnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMA dan MA. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
Perbandingan pola penerapan manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya dalam menerapkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.
Strategi mengatasi masalah-masalah penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.
Hasil penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki dua manfaat. Pertama manfaat secara teoretis dan kedua manfaat secara empiri. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk menambah kajian ilmu pengetahuan tentang peningkatan mutu pendidikan manajemen berbasis sekolah.
Adapun manfaat empirisnya adalah dapat dijadikan acuan oleh kepala sekolah, guru dan komite sekolah dalam menganalisis peningkatan mutu pendidikan berbasis kelas dan upaya mengatasinya jika dalam pelaksanaannya dihadapkan pada permasalahan, baik menyangkut manajemen, kurikulum dan penilaian. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu masukan, khususnya bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah.
Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif sehingga mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Bagi instansi terkait (Kantor Departemen Agama dan Dinas Pendidikan) Kabupatenm Tasikmalaya, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu masukan dalam meningkatkan kualitas sekolah dan madrasah di wilayah Tasikmalaya utara.

Hipotesis Penelitian
Penelitian ini berupaya membandingkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dengan di MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
Hipotesis nihil (Ho) : Secara signifikan tidak terdapat perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah antara SMAN dengan MAN.
Hipotesis alternatif (Ha). Secara signifikan terdapat perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah antara SMAN dengan MAN.
Kedua hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan tes “t” dengan kriteria sebagai berikut: Jika terbukti -ttc > t < ttc maka hipotesis nihil ditolak. Adapun dalam keadaan sebaliknya, hipotesis alternatif diterima.

Prosedur Penelitian
Menetukan Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data kuantitatif yang berkaitan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, baik yang secara asal berbentuk kuantitatif maupun yang sengaja dikuantifikasi.
Penelitian dilakukan di SMAN dan MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dengan alasan data yang diperlukan dapat diperoleh di lokasi tersebut; dan lembaga pendidikan tersebut ada upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah juga ada upaya-upaya mengatasi problema yang dihadapinya.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru-guru, staf TU dan komite sekolah/madrasah di SMAN/MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan informasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya dan dari Kantor Depag Kabupaten Tasikmalaya, diketahui jumlah SMAN ada 12 dan jumlah MAN ada 8. Untuk lebih jelasnya, diuraikan dalam populasi dan sampel penelitian.



Tabel 1.1 Populasi Penelitian
No. SMAN dan MAN di Kab. Tasikmalaya Jumlah Jml Kepala Jml Guru Jml TU Komite Jumlah total
1 SMAN 12 12 485 78 82 669
3 MAN 8 8 304 49 52 421
Jumlah 20 20 789 127 134 1090
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya dan Kontor Depag Kab. Tasikmalaya

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah populasinya adalah 20 sekolah dengan jumlah personil 1090 orang. Dalam penelitian ini penulis tidak akan meneliti seluruh populasi, melainkan akan dilakukan penelitian berdasarkan sampel. Menurut Suharsimi Arikunto (1987 : 100), apabila jumlah populasinya banyak, sampel dapat diambil antara 10 – 15% atau 20 – 25%. Mengacu kepada pernyataan tersebut maka sampel penelitian ini ditetapkan sebesar 20%. Jadi sampelnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2 Sampel Penelitian
No. SLTA Jumlah Jml Kepala Jml Guru Jml TU Komite Jumlah total
1 SMAN 2 2 97 16 16 131
3 MAN 2 2 61 10 10 83
Jumlah 4 4 158 26 26 214

Jadi penelitian ini sampelnya adalah 214 orang yang penentuannya diambil secara random. Teknisnya, masing-masing nama SMAN dan MAN diberi nomor urut, kemudian ditulis dalam kertas kecil, digulung dan dimasukan ke dalam botol/gelas (dipisah antara SMAN dan MAN). Kemudian dikocok dan dikeluarkan, dua untuk SMAN dan 2 untuk MAN. Nama SMAN dan MAN yang keluar dijadikan sebagai sampel penelitian, dalam hal ini kepala, guru, staf TU dan komite menjadi responden penelitian.

Menentukan Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif, yaitu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi saat ini dengan menggunakan pendekatan kuantitif, yang menganalisis hal-hal yang telah dilakukan oleh sekolah dalam mengimplementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah dan dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik observasi, teknik wawancara dan teknik dokumentasi. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut :

Teknik Observasi
Observasi yang dilakukan yaitu observasi langsung dengan harapan memperoleh informasi dan data tentang kondisi objektif SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya, terutama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Masalah yang dihadapi dalam menejemen peningkatan mutu pendidikan dan penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Teknik Wawancara
Wawancara yang dilakukan menggunakan jenis wawancara tertutup melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti. Penentuan informan yang mengetahui tentang SMAN dan MAN yang diteliti disesuaikan dengan jumlah sampel penelitian dan kadar kesiapan yang akan diwawancara serta kemampuan peneliti, baik dari segi waktu, pokok masalah yang akan diwawancarakan dan tempatnya.

Teknik Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk mengetahui data tertulis tentang manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah melalui penelusuran dokumen, buku-buku, majalah dan berbagai literature lainnya yang mendukung terhadap teori dan konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Teknik Angket
Angket berguna untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar responden yang menjadi sampel. Dalam menjawab pertanyaan, responden lebih leluasa karena tidak dipengaruhi oleh sikap mental korelasi antara peneliti dengan responden (Muhammad Ali, 1987 :87). Atas dasar alasan tersebut maka angket digunakan sebagai teknik pengumpulan data utama. Bentuk angket yang disebarkan kepada responden adalah angket terstruktur dengan pola tertutup karena sejumlah pilihan telah ditentukan dan responden tinggal menandai jawaban yang paling cocok bagi dirinya.
Jenis data yang diperoleh dari penyebaran angket ini akan dikuantifikasi dengan skala sebagai berikut: responden yang memilih alternatif jawaban A. B. C. D atau E. pada bentuk soal/pernyataan positif, akan diberi skor 5, 4, 3, 2 atau 1 pada setiap item, sedangkan untuk bentuk soal negatif penskoran dilakukan sebaliknya.

Analisis Data
Data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan statistik non parametrik. Dalam hal ini adalah statistik perbandingan terhadap dua sampel independen, yaitu manajemen peningkatan mutu pendidikan di SMAN dan manajemen peningkatan mutu pendidikan di MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya.
Rumus-rumus statistik yang akan digunakan antara lain mean, median, modus, standar deviasi, chi kuadrat, t tes untuk perbandingan jika memenuhi kriteria atau Mann-Whitney U-Tes jika tidak memenuhi criteria pengujian t tes. Data akan dihitung dengan rumus-rumus sebagai berikut :

Menghitung rata-rata dengan rumus
M=(∑▒fX)/(N (Jumlah responden))
Hasil hitung rata-rata ditafsirkan dengan menggunakan skala lima norma absolute sebagai berikut:
0,5 – 1,5 = sangat rendah / sangat jelek
1,5 – 2,5 = rendah / jelek
2,5 – 3,5 = cukup
3,5 – 4,5 = tinggi / baik
4,5 – 5,5 = sangat tinggi / sangat baik

Standar deviasi atau simpangan baku dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
SD = √(((∑▒〖〖fX〗^2) 〗)/n- ((∑▒fX)/n) )^2

Uji Normalitas Distribusi
Pengujian normal tidaknya distribusi data dilakukan dengan menggunakan chi kuadrat, dengan kriteria: jika chi kuadrat hitung lebih besar daripada chi kuadrat tabel, maka data tergolong berdistribusi normal.
Rumus chi kuadrat yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

2 = (Sugiyono, 2008 : 81).

Uji Homoginitas Variansi
Uji homoginitas variansi dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

F=

Data tergolong memiliki variansi yang homogen jika terbukti F hitung lebih kecil daripada F tabel pada taraf signifikansi 5%. Dalam keadaan sebaliknya homoginitas variansi ditolak.

Uji komparatif
Jika diketahui data tergolong berdistribusi normal dan variansinya homogen, maka proses uji komparatif akan dilakukan dengan uji (tes) t, dengan diawali oleh penentuan angka standar deviasi gabungan melalui rumus :
SDg =

Setelah diketahui standar deviasi gabungan akan dilanjutkan dengan menentukan t hitung melalui rumus sebagai berikut
t =



Jika terbukti ttabel lebih besar daripada thitung pada taraf signifikansi 5% maka hipotesis alternatif yang menyatakan adanya perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan bebasis sekolah di SMAN dan MAN se Kabupaten Tasikmalaya, diterima. Sedangkan yang menyatakan sebaliknya ditolak.
Penghitungan statistik akan dilakukan dengan menggunakan bantuan proram excel dan SPSS (Statistical Product and Service Solutions).