Senin, 02 November 2009

Media Pembelajaran

Media Pembelajaran dalam Pendidikan
Tujuan :
• Mahasiswa memiliki wawasan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep-konsep dasar Media Pembelajaran, fungsi media pembelajaran, penggunaan media pembelajaran.
Deskripsi :
1. Pengertian Media Pembelajaran
2. Fungsi Media Pembelajaran,
3. Jenis-Jenis Media Pembelajaran,
4. Peran Media Pembelajaran,
5. Prinsip-Prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
6. Dasar Pertimbangan dan Pemilihan Media
Sumber :
1. Media pembelajaran, Prof. Dr. H. Asnawir, Delia Citra Utama Jakarta, 2002
2. Media Pendidikan, Hamalik Umar, Rosda Bandung, 1985
MEDIA PEMBELAJARAN DALAM PENDIDIKAN PENGERTIAN MEDIA
AECT :
media sebagai bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkanpesan/informasi
Gagne :
media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar
Briggs :
media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar
NEA :
media adalah bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya
MEDIA adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi
KEGUNAAN MEDIA
Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis
Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera
Mengatasi sikap pasif siswa menjadi lebih bergairah
Mengkondisikan munculnya persamaan persepsi dan pengalaman
1. Pengertian Media Pembelajaran.
Kata media berasal dari bahasa Latin medio? Dalam bahasa Latin, media dimaknai sebagai antara. Media merupakan bentuk jamak dari medium, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Secara khusus, kata tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa informasi dari satu sumber kepada penerima. Dikaitkan dengan pembelajaran, media dimaknai sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi berupa materi ajar dari pengajar kepada peserta didik sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran
Satu hal yang perlu diingat bahwa peranan media tidak akan terlihat apabila penggunaannya tidak sejalan dengan isi dan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Secanggih apa pun media tersebut, tidak dapat dikatakan menunjang pembelajaran apabila keberadaannya menyimpang dari isi dan tujuan pembelajarannya.
2. Fungsi Media Pembelajaran
Ada dua fungsi utama media pembelajaran yang perlu kita ketahui. Fungsi pertama media adalah sebagai alat bantu pembelajaran, dan fungsi kedua adalah sebagai media sumber belajar. Kedua fungsi utama tersebut dapat ditelaah dalam ulasan di bawah ini.
a. Media pembelajaran sebagai alat bantu dalam pembelajaran
Tentunya kita tahu bahwa setiap materi ajar memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada materi ajar yang tidak memerlukan alat bantu, tetapi di lain pihak ada materi ajar yang sangat memerlukan alat bantu berupa media pembelajaran. Media pembelajaran yang dimaksud antara lain berupa globe, grafik, gambar, dan sebagainya. Materi ajar dengan tingkat kesukaran yang tinggi tentu sukar dipahami oleh siswa. Tanpa bantuan media, maka materi ajar menjadi sukar dicerna dan dipahami oleh setiap siswa. Hal ini akan semakin terasa apabila materi ajar tersebut abstrak dan rumit/kompleks.
Sebagai alat bantu, media mempunyai fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa kegiatan pembelajaran dengan bantuan media mempertinggi kualitas kegiatan belajar siswa dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti, kegiatan belajar siswa dengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa bantuan media.
b. Media pembelajaran sebagai sumber belajar.
Sekarang Anda menelaah media sebagai sumber belajar. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat bahan pembelajaran untuk belajar peserta didik tersebut berasal. Sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu manusia, buku perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan. Media pendidikan, sebagai salah satu sumber belajar, ikut membantu guru dalam memudahkan tercapainya pemahaman materi ajar oleh siswa, serta dapat memperkaya wawasan siswa
3. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Jenis-jenis media yang dikenal dewasa ini dipaparkan sebagai berikut.
A.Berdasarkan jenisnya
Berdasarkan jenisnya, media dapat dibedakan atas
a. media audiktif,
b. media visual,
c. media audio visual.
Media audiktif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja. Yang termasuk jenis media ini antara lain meliputi tape recorder dan radio.
Media visual
adalah media yang hanya mengandalkan indra pengelihatan. Yang temasuk jenis ini antara lain meliputi gambar, foto, serta benda nyata yang tidak bersuara.
Media audio visual
adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Beberapa contoh media audiovisual meliputi televisi, video, film, atau demonstrasi langsung.
Media audiovisual dapat Anda bedakan lagi menjadi
(a) audio visual diam
b) audio visual gerak. Audiovisual diam adalah media yang menampilkan
suara dan gambar diam (tidak bergerak). Misalnya, film bingkai suara sound sistem, film rangkai suara, dan cetak suara. Audio visual gerak adalah media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak. Misalnya, film suara dan video-cassette.
1) Media nonproyeksi
Media nonproyeksi disebut juga media pameran atau displayed media. Media yang termasuk media nonproyeksi adalah
(a) model,
(b) grafis.
Kedua media nonproyeksi tersebut dipaparkan sebagai berikut.
a. Model
Model adalah benda nyata yang dimodifikasikan. Penggunaan model sebagai media dalam pembelajaran dimaksudkan untuk mengatasi kendala pengadaan realia karena harga yang mahal, sulit pengadaannya, barangnya terlalu besar, bahkan mungkin terlalu kecil. Menurut Heinich et.al (1996) model adalah gambaran tiga dimensi dari sebuah benda nyata. Model dapat berukuran lebih besar, lebih kecil atau berukuran sama persis dengan benda aslinya, dan dapat menampilkan bentuk yang lengkap dan rinci dari benda aslinya.
b. Bahan Grafis
Bahan grafis adalah media visual nonproyeksi yang mudah digunakan karena tidak membutuhkan peralatan dan relative murah. Menurut Brown et.al (1985) ada lima jenis media grafis yang memiliki keunggulan yang cukup tinggi dalam proses pembelajaran yaitu: graft, chart atau diagram, kartun, poster, peta atau globe. Masing-masing media grafis memiliki keunggulan dan keunikan sendiri-sendiri.
Diagram visualisasi dalam bentuk grafis yang masih tergolong dalam gambar yang sederhana adalah diagram. Penggunaan diagram pada umumnya ditujukan untuk menggambarkkan suatu hubungan atau menjelaskan suatu proses. Diagram dapat memberikan gambaran tentang suatu proses, misalnya mengenai keaktifan siswa dalam pembelajaran proses, seperti tergambar dalam media di bawah ini
2) Media yang Diproyeksikan
Media yang termasuk sebagai media yang diproyeksikan adalah :
a. overhead transparansi (OHT),
b. slide, filmstrips,
c. opaque.
Perkembangan teknologi yang ada saat ini memungkinkan komputer dan video juga diproyeksikan dengan menggunakan peralatan khusus, yaitu LCD.
a. OHT
OHT merupakan media yang paling banyak digunakan karena relative mudah dalam penyediaan materinya, karena hanya dibutuhkan bahan transparansi dan alat tulis. Namun untuk hasil yang bagus sebaiknya alat tulis yang digunakan khusus untuk overhead transparansi.
Beberapa cara mempersiapkan OHT dapat Anda pelajari pada bagian berikut.
a) Handmade transparancies, yaitu transparansi dengan buatan tangan.
b) Thermal fil process, salah satu cara untuk membuat transparansi dengan cara menggunakan acetate film yang diletakkan di atas master materi yang akan disajikan, kemudian dimasukkan alat khusus yang dinamakan thermal copier.
c) Electrostatic film process, merupakan cara membuat transparansi dengan jalan menggunakan teknologi xerography. Persiapan untuk menggunakan jenis transparansi ini cukup sederhana. Bahan yang ingin dipresentasikan dapat berasal dari kertas biasa baik sebagai tulisan tangan, hasil print computer maupun buku teks.
b. Slide
Slide adalah media visual yang penggunaannya diproyeksikan ke layar lebar, dengan menggunakan slide gambar yang disampaikan sangat realistis. Hal itu disebabkan materi atau bahan slide adalah film fotografi yang berbentuk transparan.
3) Media Audio
Media audio merupakan media yang fleksibel karena bentuknya yang mudah dibawa, praktis, dan relatif murah (misalnya tape compo, pengeras suara).
Menurut Rowntree (1994) penggunaan media audio dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. media audio yang dipakai untuk mendengarkan,
2. media audio vision yang dipakai untuk mendengarkan dan melihat,
3. media audio visual yang dapat dipakai untuk mendengar, melihat dan melakukan. Ketiga pembedaan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
4) Media Video
Media video dapat digunakan sebagai alat bantu mengajar pada berbagai bidang studi. Hal itu disebabkan oleh kemampuan video untuk memanipulasi kondisi waktu dan ruang sehingga peserta didik atau siswa dapat diajak untuk melihat objek yang sangat kecil maupun objek yang sangat besar, objek yang
berbahaya, objek lokasinya jauh di belahan bumi lain, maupun objek yang ada di luar angkasa.
5) Media Berbasis Komputer
Media komputer saat ini sudah sangat luas dimanfaatkan oleh dunia pendidikan. Menurut Hannafin dan Peek (1998), potensi media komputer yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas proses pembelajaran sangat tinggi. Hal ini antara lain dikarenakan terjadi interaksi langsung antara siswa dengan materi pembelajaran. Selain itu, proses pembelajaran dapat berlangsung secara individual dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa sehingga potensi siswa dapat lebih tergali. Media komputer juga mampu menampilkan unsur audio-visual yang bermanfaat untuk meningkatkan minat belajar siswa, atau yang dikenal dengan program multi media. Media komputer pun dapat memberi umpan balik bagi respon siswa dengan segera setelah diberi materi.
4. Peran Media Pembelajaran
Tentunya Anda tahu bahwa peran media sangat strategis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Kemp dkk (1985) menjabarkan peran media di dalam kegiatan pembelajaran sebagai berikut.
a. Penyajian materi ajar menjadi lebih standar.
b. Penyusunan media yang terencana dan terstruktur dengan baik membantu pengajar untuk menyampaikan materi dengan kualitas dan kuatitas yang sama dari satu kelas ke kelas yang lain.
c. Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik.
d. Kegiatan belajar dapat menjadi lebih interaktif
e. Materi pembelajaran dapat dirancang, baik dari sisi pengorganisasian materi maupun cara penyajiannya yang melibatkan siswa, sehingga siswa menjadi lebih aktif di dalam kelas.
f. Media dapat mempersingkat penyajian materi pembelajaran yang kompleks, misalnya dengan bantuan video. Dengan demikian, informasi dapat disampaikan secara menyeluruh dan sistematis kepada siswa.
g. Kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan
h. Penyajian pembelajaran dengan menggunakan media yang mengintegrasikan visualisasi dengan teks atau suara akan mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran secara terorganisasi. Dengan menggunakan media yang lebih bervariasi, maka siswa akan mampu belajar dengan lebih optimal.
i. Dengan media yang makin lama makin canggih maka kegiatan pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam kelas saja tetapi bisa di mana saja. Misalnya, dengan teleconference pengajar dari luar kota bisa memberikan materinya, atau dengan CD peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran melalui media secara mandiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini seperti halnya Anda yang jarak jauh bisa menggunakannya.
5. Prinsip-Prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
Sudirman (1991) mengemukakan tiga kategori prinsip pemilihan media pembelajaran sebagai berikut.
a. Tujuan Pemilihan. Pemilihan media yang akan digunakan harus didasarkan pada maksud dan tujuan pemilihan yang jelas.
b. Karakteristik Media Pembelajaran. Setiap media mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dan segi keampuhannya, cara pembuatannya, maupun cara penggunaannya.
c. Alternatif Pilihan. Pada hakikatnya, memilih media merupakan suatu proses membuat keputusan dan berbagai alternatif pilihan.
Adapun prinsip pemilihan dan penggunaan media, menurut Sudjana (1991) ditulis pada bagian berikut :
a. Menentukan jenis media dengan tepat.
b. Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat.
c. Menyajikan media dengan tepat.
6. Dasar Pertimbangan Pemilihan dan Penggunaan Media
Faktor-faktor yang perlu Anda perhatikan dalam memilih media pembelajaran dijelaskan pada bagian berikut :
a. Objektivitas. Seorang guru harus objektif. Artinya, guru tidak boleh memilih suatu media pembelajaran atas dasar kesenangan pribadi.
b. Program Pembelajaran. Program pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, baik isi, struktur, maupun kedalamannya.
c. Sasaran Program. Pada tingkat usia tertentu dan dalam kondisi tertentu siswa mempunyai kemampuan tertentu pula, baik cara berpikir, daya imajinasi, kebutuhan, maupun daya tahan siswa dalam belajarnya
d. Kualitas Teknik. Dari segi teknik, media pembelajaran yang akan digunakan perlu diperhatikan, apakah sudah memenuhi syarat atau belum.
e. Keefektifan dan Efisiensi Penggunaan. Keefektifan yang dimaksud di sini berkenaan dengan hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi yang dimaksud di sini berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut.
Ada enam langkah yang bisa kita tempuh pada waktu mengajar dengan mempergunakan media. Langkah-langkah tersebut disebutkan sebagai berikut :
a. Merumuskan tujuan pembelajaran dengan memanfaatkan media.
b. Persiapan guru.
c. Persiapan kelas.
d. Langkah penyajian materi ajar dan pemanfaatan media.
e. Langkah kegiatan belajar siswa.
f. Langkah evaluasi pembelajaran.

Senin, 19 Oktober 2009

Kepribadian Guru dan Akhlak

BAB II
KEPRIBADIAN GURU DAN AKHLAK

A. Kepribadian Guru
1. Pengertian Kepribadian Guru
Kepribadian atau dalam bahasa Inggris personality, mengandung arti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang membedakannya dengan orang lain (Tim KBBI, 2002 : 895). Dalam kamus “Webster seventh collegiate dictionary” dijelsakan bahwa personality berbicara tentang kualitas orang, keadaan hidup / kehidupan. Keadaan dalam hubungan dengan orang lain, kelakuan dan emosi, sikap khas, serta kebiasaannya. Adapun menurut Suparlan (t.t. : 24), kepribadian adalah segenap sifat-sifat tabeat yang berkembang dan keluar dari pribadi seseorang, dan merupakan potensi-petensi in abstracto dari pribadi dan apa-apa yang termasuk dalam pribadi itu. Dengan redaksi yang berbeda namun memiliki maksud yang sama, Agus Sujanto (1986 : 12) menjelaskan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikopsikis yang kompleks dari individu, sehingga nampak di dalam tingkahlakunya yang unik. Jadi kepribadian adalah endapan hasil dari usaha pribadi itu dalam perkembangan hidupnya, dan hasil pokok dari daya refleksi pribadi menimbulkan suatu potensi yang disebut kesadaran.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa kepribadian merupakan suatu kebulatan yang kompleks, disebabkan banyak faktor yang ikut penentukan kepribadian. Paduan dari faktor-faktor itu menimbulkan gambaran yang unik. Artinya tidak ada dua individu yang benar-benar identik antara yang seorang dengan yang lainnya. Makin tinggi kesadaran orang membentuk nilai-nilai akhlak dan tata fikir yang terpuji dan bercita ketuhanan dengan berfikir matang dalam menerima petunjuk ilahi dan kemauan kuat, makin besar pula kepribadian yang diperlihatkannya kepada orang lain. Sebaliknya, orang yang melemparkan nilai-nilai pribadinya kepada norma dan derajat akhlak yang tercela, maka rendahlah kepribadian orang itu. Dapatlah dikatakan bahwa kepribadian itu adalah semua ciri-ciri sikap mental dan moral, yang dengannya seseorang dapat membedakan dirinya dengan yang lain.
Adapun yang dimaksud dengan guru menurut Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1, adalah sebagai berikut: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Sardiman, “guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar menagajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan” (1986 : 123).
Dengan memperhatikan pengertian kepribadian dan pengertian guru, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kepribadian guru adalah semua ciri-ciri sikap mental dan moral, yang dengannya pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik dapat membedakan dirinya dengan yang lain.

2. Urgensi Kepribadian Guru
Kepribadian bagi seorang guru merupakan salah satu kompetensi yang perlu dimiliki di samping kompetensi pedagogis, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Hal ini ditegaskan dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai berikut:
Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial. (Anonimous, 2006 : 2).

Pentingnya kepribadian guru berkaitan dengan tugas moral yang diemban guru, tugas profesional, dan kompetensi yang harus dimiliki. Untuk lebih jelsanya diuraikan sebagai berikut.

a. Tugas Moral yang Diemban Guru
Bila seseorang mengajar, ini berarti ia sudah mengemban tugas moral, yaitu moral sebagai orang yang dianggap dapat menurunkan apa yang ia miliki untuk disampaikan kepada orang lain sebagai amanah dari Allah. Menyampaikan amanat merupakan tugas moral bahwa ia tidak akan mengkhianati titah Allah, untuk menjadikan orang lain berguna dan taat kepada Allah. Inilah citra keguruan yang ideal, juga sebagai pengganti orang tua di sekolah, menyelami jiwa peserta didik-peserta didiknya. Kita tahu bahwa masyarakat selalu mempunyai hak untuk menilai guru dengan sikap yang sangat kritis. Orang tua yang mempercayakan anaknya kepada sekolah, berhak mengeluh bila ia mengetahui hak anaknya tidak dipenuhi. Anak selalu berhak untuk mendapatkan perhatian penuh dari gurunya.
Seorang guru mempunyai kewajiban moril terhadap masyarakat, bahwa ia melaksanakan tugasnya dengan daya upaya, kejujuran dan kesungguhan yang tidak bisa ditawar. Dari sini, kita dapat mengerti bahwa dengan hanya berbekal ilmu pengetahuan seberapa pun hebatnya, belum cukup untuk dapat menyebut diri sebagai guru. Meskipun kurikulum yang ada di sekolah adalah baik, tetapi keberhasilan kurikulum dalam pelaksanaannya, selalu menuntut kecerdasan pengajar untuk mencari cara yang luwes dalam menjalankannya (M.I. Soelaeman, 2002 : 32).

Modal pertama yang harus dimiliki guru sebagai sumber dan titik tolak dalam pengajaran adalah “kasih sayang”. Apakah guru mampu menganggap setiap peserta didik yang dipercayakan kepadanya sebagai anak kita sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya? Peserta didik bukan benda mati yang dapat dijadikan barang mainan sebagai mangsa pelampiasan kekuasaan gurunya. Sebagai seorang guru, harus mampu menguasai diri, mampu mengendalikan diri, oleh karena keberhasilan seorang guru ditentukan oleh banyak hal yaitu dari penguasaan diri, pembawaan atau sikap, penggunaan bahasa yang baik dan keterbukaan sikapnya.
Guru merupakan tokoh yang paling utama dalam membimbing anak di sekolah dan memperkembangkan anak agar mencapai / menuju kedewasaan. Oleh karena itu, hal yang pertama-tama harus diperhatikan guru untuk dapat menarik minat peserta didik ialah penampilan dan sikapnya. Usahakan jangan terlalu formal dan penuh disiplin, agar anak tidak takut dan enggan belajar di sekolah. Guru harus mampu menjadi tokoh yang berkesan dan berwibawa. Di samping segi penampilan yang tidak boleh dilupakan, maka ada beberapa fungsi guru yang aktif yakni mengawasi dan membantu anak dalam menghadapi kesukaran yang tak teratasi (Hery Noer Ali, 1999 : 92).

Di dalam kelas, guru bertindak sebagai pemimpin, dalam arti memimpin segala aktivitas yang ada di kelas dan menentukan acara pelajaran. Semua keputusan ada di tangan guru, walau kadang-kadang pendapat peserta didik menjadi bahan pertimbangan juga. Di sini guru harus mampu menguasai kelas dengan penuh wibawa. Memang benar bahwa wibawa, bakat dan intelligensia tidak dapat dicari atau dibeli, akan tetapi dalam hal wibawa seorang guru dapat membinanya melalui kesadaran terhadap kelemahan-kelemahan sendiri. Wibawa bukan berarti harus bertindak dengan kekerasan, tetapi seperti yang dikatakan oleh seorang Ahmad Tafsir (2004 : 13), bahwa guru harus bisa memperlihatkan sikap dengan tujuan agar ditiru dalam melaksanakan tugas dengan tepat dan pasti; Hangat dan simpatik agar anak merasakan kebahagiaan, tanpa terlalu cemas akan prestasinya. Jadi selain harus tegas dalam menentukan tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang wajib diselesaikan, guru harus bisa hangat dan ramah terhadap kebutuhan-kebutuhan peserta didiknya, tanpa menuntut terlampau banyak dari segi prestasi.
Guru dipandang serba tahu dan serba mampu, oleh karena itu apa yang dikatakan guru dianggap selalu pasti dan benar. Jadi guru harus mampu menguasai tindakannya. Lebih bijaksana apabila kita mengatakan bahwa sekolah minggu merupakaan tempat di mana peserta didik dan guru datang bersama-sama dan masing-masing memberikan apa-apa yang dibutuhkan baik oleh peserta didik maupun oleh guru. Anak-anak mempunyai kebutuhan untuk diterima, tetapi guru mempunyai kebutuhan untuk memberi dan dikenal, sesuai dengan pengabdiannya (Syaeful Bahri Djamarah, 2000 : 9).

Selain fungsi-fungsi guru seperti yang telah disebutkan di atas, yang juga penting adalah bagaimana hubungan antara guru dan peserta didik. Oleh karena itu harus diperhatikan bagaimana guru melihat dirinya sendiri, apakah ia memandang dirinya sebagai pemimpin yang paling berkuasa, atau sebagai orang tua, sebagai teman yang lebih tua yang membantu peserta didik bila diperlukan. Pandangan ini akan menentukan corak hubungan yang terjadi antara guru dan peserta didik. Sebenarnya sebagai guru, ia memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh peserta didik dan hal ini merupakan sumber kekuatan untuk menguasai kelas dan menarik perhatian peserta didik.
Guru yang pengasih, memiliki sifat Allah ar-rahman terhadap setiap anak yang kehidupannya dipengaruhi dan dididik. Guru mengajar dengan sikap-sikap anda sebagaimana juga dengan perkataan-perkataan anda. Kepribadian dan sikap guru merupakan salah satu faktor penting yang membuat peserta didik betah dan senang menerima pelajaran.
Faktor psikologis ini ternyata mampu membantu peserta didik dalam menyukai setiap mata pelajaran yang ada di sekolah, sehingga dapat dikatakan bahwa kunci sukses proses transfer ilmu harus dimulai dari kepribadian guru yang disenangi peserta didik, sehingga sesulit apapun materi akan mudah diterima jika peserta didik memiliki rasa simpatik yang besar terhadap gurunya maka pelajaran yang disampaikannya akan diterima (M. Surya, 2003 : 25).


b. Tugas Profesional Guru
Profesi mengandung arti bidang kerja yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dsb.) tertentu (Hasan Alwi, 2002 : 702). Menurut Abbudin Nata (2003 : 135), “profesi masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia melalui bahasa Inggris (profession) atau bahasa Belanda (professie)”.
Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocation) yang kemudian berkembang makin matang. Profesi seseorang ditunjang oleh tiga hal. Ketiga hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang relevan yang membentuk segitiga sama sisi yang ditengahnya terletak profesional. “Well educated, well trained, well paid” adalah salah satu prinsip profesionalisme. Dan, hal penting dan sangat diperlukan oleh suatu profesi adalah pengakuan masyarakat akan jasa yang diberikannya (Depag, 2004 : 10).

Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjutan di dalam service dan teknologi yang digunakan sebagai kegiatan yang bermanfaat. Dalam aplikasinya menyangkut aspel-aspek yang lebih bersifat mental daripada manual work. Pekerjaan profesional akan senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang hartus dipelajari secara sengaja, terencana, kemudian dipergunakan demi kemaslahatan orang lain (Sardiman A.M. 1986 : 131).
Mengacu kepada peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, seorang guru dikatakan profesional apabila memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang guru profesional memiliki dua ciri tersebut. Permasalahannya sekarang, bagaimana kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Masalah ini secara umum telah dijelaskan dalam pasal 28 ayat 1 sampai 5, sebagai berikut:
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
1) Kompetensi pedagogik;
2) Kompetensi kepribadian;
3) Kompetensi profesional; dan
4) Kompetensi sosial.
Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan.
Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Dengan menggunakan pendekatan karakteristik, Sudarwan Danim menyimpulkan ciri guru profesional sebagai berikut.
1) Memiliki kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan
2) Memiliki pengetahuan spesialisasi.
3) Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien.
4) Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau comunicable.
5) Memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri atau self-organization.
6) Memiliki kode etik.
7) Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunita.
8) Mempunyai sistem upah.
9) Budaya profesional. (Sudarwan Danim, 2002 : 25-28).

Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan institusional, ia menyatakan bahwa guru profesional ditandai dengan kesiapan bekerja full-time (bukan sebagai sambilan); menetapkan sekolah sebagai tempat menjalankan proses pendidikan atau pelatihan; memiliki asosiasi profesi; melakukan kegiatan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan tersebut; dan mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan.
Adapun secara legal, seorang guru dikatakan profesional jika terdaftar (melakukan registrasi) kepada pemerintah dengan menunjukan semua persyaratan yang diperlukan dan harus dipenuhi; mendapatkan pengakuan (certification) berupa surat keputusan pengangkatan dari pemerintah; dan pada akhirnya ia memiliki lisensi (licensing) atau surat tugas dari pemerintah untuk mempraktekan pengetahuan dan keterampilannya (Depag 2005 : 29).
Dari penjelasan tersebut di atas, dipahami bahwa seorang guru yang profesional, dituntut untuk selalu mengembangkan ilmu pengertahuan dan mengamalkan ilmunya itu secara terus-menerus (continous improvement) melalui berbagai kegiatan kependidikan. Dengan sejumlah kegiatan itu, ia akan memahami bahwa tugas seorang guru bukan lagi knowledge based, seperti yang sekarang dilakukan, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep-konsep keilmuan dan perekayasaannya berdasarkan nilai-nilai moral.
Guru yang professional, tidak lagi tampil hanya sebagai pengajar (teacher), seperti fungsi yang menonjol selama ini, melainkan sebagai pembimbing (counselor), pelatih (coach), dan bahkan manager belajar (learning manager). Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocation) yang kemudian berkembang menjadi matang. Selain itu, dalam bidang apapun, profesionalisme seseorang ditunjang oleh tiga hal. Tanpa ketiganya, sulit seseorang akan mewujudkan profesionalismenya. Ketiga hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang relevan yang membentuk segitiga sama sisi yang ditengahnya terletak profesionalisme. “Well educated, well trained, well paid” adalah salah satu prinsip profesionalisme. Dan, hal penting dan sangat diperlukan oleh suatu profesi adalah pengakuan masyarakat akan jasa yang diberikannya.
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki kemampuan profesional. Dengan mengutip hasil diskusi pengembangan model pendidikan profesinal yang diselenggarakan IKIP (sekarang UPI) Bandung tahun 1990, Abbudin Nata menyatakan bahwa ada 10 ciri profesi guru, yaitu :
1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial; 2) memiliki keahlian/ keterampilan tertentu; 3) keahlian / keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah; 4) didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas; 5) diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama; 6) aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional; 7) memiliki kode etik; kebebsan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah di lingkungan kerjanya; memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi; dan 10) ada pengakuan dari masyarakat dan imbal jasa atas layanan profesinya. (Abbudin Nata, 2003 : 143).

Dalam buku “Wawasan Tugas dan Guru dan Tenaga Kependidikan” Departemen Agama RI, menegaskan lima ciri pokok profesi guru. Kelima ciri dimaksud ialah,
Pertama; pekerjaan itu memiliki fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan dan diakui oleh masyarakat. Kedua; profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan latihan yang “lama” dan intensif serta dilakukan oleh lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Proses pemerolehan keterampilan ini bukan hanya rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah. Jadi dalam suatu profesi, independent judgment berperan dalam mengambil putusan, bukan sekedar menjalankan tugas. Ketiga; profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge), bukan sekedar serpihan atau hanya common sense. Keempat; ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sangsi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik profesi, dilakukan oleh organisasi profesi. Kelima; sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan ataupun kelompok memperoleh imbalan finansial atau materiil. (Rahmat, 2005 : 5)

c. Kompetensi yang harus dimiliki
Guru merupakan suatu jabatan atau pekerjaan hanya dapat dilaksanakan dengan baik serta dapat dipertanggungjawabkan, manakala pelaku atau petugasnya memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.” (M.I. Soelaeman, 2002 : 118). Dengan demikian, suatu tugas atau jabatan guru memerlukan seperangkat kemampuan atau kompetensi untuk melaksanakannya sehingga tugas tersebut memperoleh hasil yang baik. Winarno Surakhmad mengemukakan bahwa :
Kecakapan serta pengetahuan dasar yang dimiliki seorang guru terletak sedikitnya dalam 4 bidang utama, yaitu :
1) Guru harus mengenal setiap peserta didik yang dipercayakan kepadanya;
2) Guru harus memiliki kecakpan memberi bimbingan, karena pada dasarnya mengajar merupakan satu bentuk bimbingan yang dapat dilaksanakan guru;
3) Guru harus memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan di Indonesia sesuai dengan tarap pembangunan;
4) Guru harus memiliki pengetahuian yang bulat dan baru mengenai ilmu yang diajarkan. (Winarno Surakhmad, 1988 : 43-44)

Adapun menurut pendapat Sardiman, pada umumnya para ahli pendidikan, mengelompokkan kompotensi yang harus dimiliki oleh guru ke dalam 10 kompetensi, yaitu :
1) Kompotensi yang berupa kemampuan untuk menguasai bahan pengajaran;
2) Kompotensi dalam bentuk kemampuan mengelola kelas;
3) Kompotensi dalam bentuk kemampuan mengelola program belajar mengajar;
4) Kompotensi yang berwujud kemampuan menggunakan media atau sumber belajar;
5) Kompotensi yang berupa kemampuan untuk menguasai landasan-landasan pendidikan;
6) Kompotensi yang berupa kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar;
7) Kompotensi yang berupa kemampuan menilai hasil belajar peserta didik;
8) Kompotensi yang nampak berupa kemampuan mengenaal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan;
9) Kompotensi yang berwujud kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan;
10) Kompotensi yang berupa kemampuan memahami prinsip-prinsip dan hasil-hasil penelitian untuk keperluan pengajaran. (Sardiman A.M. 1986 : 161).

Dari uraian di atas diyakini bahwa kepribadian guru sebagai akumulasi dari berbagai kompetensi dan keahlian yang dimiliki sangat dibutuhkan dalam pendidikan.






3. Beberapa Aspek Kepribadian Guru
a. Disiplin
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata "disiplin" diartikan dengan: (1) latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatan selalu mentaati tata tertib (di sekolah atau kemiliteran, dll.); (2) ketaatan pada peraturan dan tata tertib (W.J.S. Poerwadarminta, 1984 : 254). Kedua makna ini mengisyaratkan bahwa kata disiplin banyak mengandung arti dan dapat diterapkan kepada berbagai segi kehidupan manusia. Kata "disiplin" memang mengandung banyak arti, Good's Dictiory of Education menjelaskan pengertian "disiplin" sebagai berikut :
1) Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan demi suatu cita-cita untuk mencapai tindakan yang lebih efektif dan dapat diandalkan.
2) Pencarian cara-cara bertindak yang terpilih dengan gigih, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan atau gangguan.
3) Pengendalian prilaku peserta didik dengan langsung dan otoriter melalui hukuman dan atau hadiah.
4) Secara negatif pengekangan terhadap setiap dorongan dengan cara yang tidak enak dan menyakitkan .
5) Suatu cabang ilm pengetahuan. (Oteng Sutisna, 1989 : 110).

Itu berarti aspek terpenting dalam disiplin ialah ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan, secara sadar menjalankan tata tertib dan ketundukan diri demi mencapai tujuan yang diharapkan.
Selanjutnya Oteng menjelaskan juga bahwa dalam buku Webster's New World Dictionary terdapat sejumlah definisi kata "disiplin" lima diantaranya ialah sebagai berikut :
1) Latihan yang mengembangkan pengendalian diri, karakter atau keadaan serba teratur dan efisien.
2) Hasil latihan serupa itu pengendalian diri, prilaku yang tertib.
3) Penerimaan atau ketundukan pada kekuasaan dan kontrol.
4) Perlakuan yang menghukum atau memperbaiki.
5) Suatu cabang ilmu pengetahuan. (Oteng Sutisna, 1989 : 111).

Definisi-definisi tersebut menyarankan adanya dua orientasi tentang disiplin. Pertama mengandung makna mengembangkan karakter, pengendalian diri, keadaan teratur dan efisiensi. Ini adalah jenis disiplin yang disebut "disiplin positif" atau "disiplin konstruktif". Aspek kedua menyangkut penggunaan hukuman atau ancaman hukuman untuk menjadikan seseorang mematuhi perintah dan mengikuti peraturan dan hukum. Pada aspek kedua ini disiplin meliputi penyekat, mengawal dan menahan, sehingga ketaatan yang terjadi bukan dilandasi kesadaran akan pentingnya mentaati peraturan, melainkan merasa takut atas hukuman yang akan diberikan atau diancamkan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dibatasi bahwa disiplin adalah kadar karakteristik dan jenis keadaan serba teratur, dimana dengan keadaan teratur itu diharapkan memperoleh kondisi yang membantu kepada pencapaian tujuan.
Salah satu fenomena yang sekarang sedang berkembang adalah menipisnya “disiplin moral”. Dan hal itu terjadi hampir di semua lapisan masyarakat. Banyak orang yang tidak peduli lagi terhadap sikap dan prilakunya. Gejala penyalahgunaan sikap rasional, teknikal dan professional menjadi gaya hidup yang hanya mempertanyakan apa yang bias dilakukan, dan mengabaikan sikap moral dan etis yang mempertanyakan apa yang baik untuk dilakukan? Apalagi sikap religius dan spiritual yang mempertanyakan apa yang halal dilakukan? sudah banyak yang mengabaikan.
Menurut Muhammad Tholhah Hasan (2000 : 47), ada beberapa hal yang ikut mempengaruhi penipisan disiplin moral ini, antara lain:
Pertama : Berkurangnya “tokoh panutan” dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat menjadi teladan dalam sikap dan perilakunya, baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun kehidupan sosialnya (ramainya Mauizhoh hasanah kurang disertai Usawah hasanah).
Kedua : Dunia pendidikan kita lebih memperhatikan intelektualisasi nilai-nilai agama dan moral. Banyak anak didik yang dalam raportnya memperoleh nilai 8 dan 9 dalam bidang studi agama dan PMP, tapi di luar sekolah nakalnya amit-amit.
Ketiga : Melemahnya sanksi terhadap pelanggaran, baik yang berupa sanksi moral, sanksi social maupun sanksi judicial. Orang menganggap enteng melakukan pelanggaran, apakah itu pelanggaran social seperti pelecehan seksual’ ataupun pelanggaran pidana sperti sadism dan criminal lainnya.
Keempat : Pengaruh jelek dari kebiasaan dan kebudayaan yang dengan leluasa dan hamper tanpa penyaringan masuk di Negara kita, yang secara mudah ditiru oleh masyarakat yang sedang mengalami transformasi dan didukung oleh fasilitas yang memadai.

Dihubungkan dengan kata "guru", disiplin berarti bekerja sesuai dengan etika keguruan. Sehingga dalam melakukan aktivitas mengajar terjadi keadaan serba teratur dengan maksud agar tujuan pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien.
Etika guru berkaitan dengan kode etik pendidik, yaitu salah satu bagian dari profesi pendidik. Artinya setiap pendidik yang professional akan melaksanakan etika jabatannya sebagai pendidik. Isi etika jabatan pendidik menurut Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPS) dalam temu karya pendidikan III dan rakomas di Bandung Tahun 1991, adalah sebagai berikut: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan jujur berdasarkan Pancasila dan UUD 45, (2) menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik, (3) menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) selalu menjalankan tugas dengan berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan Ilmu Pendidikan, (5) selalu melaksankan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Konsep-konsep tentang kode etik pendidik tersebut di atas sesudah dianalisis masing-masing butirnya dengan cara menentukan hakikat dan kemudian disintesis, maka ditemukan kode etik pendidik seperti tertera di bawah ini:
1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Setia kepada Pancasila, UUD 45, dan Negara.
3) Menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik.
4) Berbakti kepada peserta didik dalam membantu mereka mengembangkan diri.
5) Bersikap ilmiah dan menjunjung tinggi pengetahuan, ilmu teknologi dan seni sebagai wahana dalam pengembangan peserta didik.
6) Lebih mengutamakan tugas pokok dan atau tugas Negara lainnya daripada tugas sampingan.
7) Bertanggung jawab, jujur, berprestasi dan akuntabel dalam bekerja.
8) Dalam bekerja berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan Ilmu Pendidikan.
9) Menjadi teladan dalam berperilaku.
10) Berprakarsa.
11) Memiliki sifat kepemimpinan.
12) Menciptakan suasana belajar atau studi yang kondusif.
13) Memelihara keharmonisan pergaulan dan komunikasi serta bekerja sama dengan baik dalam pendidikan.
14) Mengadakan kerjasama dengan orang tua peserta didik dan tokoh-tokoh masyarakat.
15) Taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan.
16) Mengembangkan profesi secara kontinu
17) Secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi (Made Pidarta, 2006 : 272).

b. Bersifat Rabbani
Hendaknya tujuan, tingkah laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani, sebagaimana telah dijelaskan di dalam surat Ali-Imran ayat 79 : “Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani”. Yakni hendaklah kalian bersandar kepada Rabb dengan menaati-Nya, mengabdi kepada-Nya, mengikuti syariat-Nya dan mengenal sifat-sifat-Nya. Jika guru telah memiliki sifat-sifat Rabbani, maka dalam segala kegiatan mendidiknya akan bertujuan menjadikan para pelajarnya orang-orang Rabbani juga; yaitu orang-orang yang melihat dampak dan dalil-dalil atas keagungan Allah, khusyuk kepada-Nya dan merasakan keagungan-Nya pada setiap peristiwa sejarah, sunnah kehidupan, sunnah alam atau hukum alam. Tanpa sifat ini, guru tidak mungkin akan dapat mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Karena ibadah kepada Allah, harus meliputi pandangan tentang alam, seluruh perbuatan di dalam hidup dan seluruh pikiran.


c. Ikhlas
Sifat ini termasuk kesempurnaan sifat Rabbaniyah. Dengan kata lain, hendaknya dengan profesinya sebagai pendidik dan dengan keluasan ilmunya, guru hanya bermaksud mendapatkan keridlaan Allah, mencapai dan menegakkan kebenaran; yakni menyebarkan ke dalam akal anak-anak dan membimbing mereka sebagai para pengikutnya.
Jika keikhlasan telah hilang, akan muncullah sifat saling mendengki di antara para guru, serta sifat pembenaran pendapat dan cara kerjanya sendiri, tanpa mau menghiraukan pandangan orang lain. Dalam keadaan seperti itu, maka sifat egoistis yang didukung hawa nafsu akan menggantikan pola hidup di atas kebenaran. (Abdurahman An-Nahlawi, 1998 : 238).

Demikianlah, tanpa keikhlasan, lapangan pendidikan akan menjadi ajang kedustaan, penyebaran propaganda yang penuh kepura-puraan dan penyesatan akal anak-anak dengan menyeru mereka supaya mengikuti aliran-aliran yang menyesatkan atau penampilan-penampilan yang menyilaukan, seperti seni untuk seni, ilmu untuk ilmu dan sikap sok-obyektif serta sikap dan perilaku lain yang serba tidak bertujuan.
Padahal kemuliaan umat ini akan tercapai dengan jelas mendidik generasi demi generasinya supaya mengamalkan keridlaan Allah dan menjalankan syariat-Nya, serta menjadikan sebagai landasan dari segala bentuk tujuan pendidikan dan pengajaran yang diupayakan dengan penuh keikhlasan dan perhatian. Kemulyaan umat itu tidak mungkin tercapai dengan hanya membatasi pendidikan pada menyampaikan beberapa kalimat pada pendahuluan pelajaran atau buku, yang kadangkala tidak mengantarkan kepada tujuan yang diharapkan; bahkan ada kalanya cara kerja seperti itu hanya akan menimbulkan kekacauan, karena dilaksanakan hanya sekedar memberjalankan kurikulum saja. Bekerja dengan penuh ikhlas mengimplikasikan kesadaran yang sedalam-dalamnya akan tujuan pendidikan yang hendak dicapai yaitu menuju ridla Ilahu yang kemudian dituangkan kepada pola dan cara kerja dengan penuh kesabaran dan kepuasan, karena sadar pula bahwa itu semua dilaksanakan semata-mata Illahi Ta’ala.

d. Sabar
Hendaknya guru bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak-anak. Hal itu memerlukan latihan dan ulangan, bervariasi dalam menggunakan metoda, serta melatih jiwa dalam memikul kesusahan. Di samping itu, karena manusia tidak sama dalam kemampuan belajarnya, guru tidak boleh menuruti hawa nafsunya, ingin segera melihat hasil kerjanya sebelum pengajarannya itu terserap dalam jiwa anak, yang melahirkan hasrat untuk menerapkannya dalam perbuatan; sebelum tingkah lakunya dikembangkan dan sebelum mereka merasa mapan sehingga tergugah gairahnya untuk mengulangkaji dan mengamalkan yang mereka pelajari dalam hidup dan masyarakat mereka, belajar dan mengajar atas dasar sikap sabar dapat bermuara pada kebangkitan umat.

e. Jujur
Hendaknya guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya. Tanda kejujuran itu ialah menerapkan anjurannya itu pertama-tama pada dirinya sendiri. Jika ilmu dengan amalnya telah sejalan, maka para pelajar akan mudah meniru dan mengikutinya dalam setiap perkataan dan perbuataannya. Tetapi jika perbuatannya bertentangan dengan seruannya, maka pada para pelajar timbul keengganan mengamalkan apa yang diucapkan gurunya, bahkan mulai goyah kepercayaan kepada perkataan gurunya; atau setidak-tidaknya merasa bahwa perkataan gurunya itu tidak sungguh-sungguh.
Allah SWT telah mencela orang-orang Mu’min yang tidak jujur dalam perkataan mereka. Allah berfirman :





Artinya:“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”(Tim Penerjemah Al-Quran Depag RI, : 1-3)
Ketidakjujuran pendidik, tanpa disadarinya, kadangkala menimbulkan sikap riya pada para pelajar. Para pelajar, terutama anak-anak yang belum baligh, mudah terpengaruh oleh tingkah laku guru yang tidak jujur itu, bahkan juga mudah terpengaruh oleh kata-katanya. Maka guru adalah contoh teladan mereka dalam setiap perkataan dan perbuataannya.
Ketidakjujuran guru, cenderung menimbulkan dampak buruk terhadap jiwa para pelajarnya, dan lebih banyak merusak jiwanya daripada menyucikan dan mengangkat akhlak mereka.

f. Terus menerus belajar
Hendaknya guru senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan membiasakan untuk terus mengkajinya. Kita melihat, bagaimana Allah memerintahkan kepada para pengikut Rasul supaya menjadi orang-orang Rabbaniyyin dengan mempelajari Al-Kitab dan mengajarkannya. Allah berfirman:



Artinya:“… Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”.”(Tem Penerjemah Al-Quran, Depag RI, 1984)
Hendaknya pula guru berpengetahuan luas dengan ilmu yang dikajinya, seperti berbagai ilmu syari’at Islam, sejarah, geografi, bahasa, MIPA atau matematika dan ilmu alam. Sebab mengajarkan ilmu dan menterjemahkannya bagi anak-anak yang belum baligh hanya akan dapat dilakukan jika guru sendiri telah mencerna dan memahami ilmu itu secara mendalam. Banyaknya kekeliruan pemahaman ilmiah pada guru akan mengurangi kepercayaan para pelajar kepadanya serta akan membuat mereka tidak menghargai apa yang diserukan dan diajarkannya kepada mereka, mencakup pemahaman, penghapalan dan pendalaman pengajarannya serta pelaksanaan. Bahkan mungkin pula kekurangpahaman guru terhadap bidang studinya membuat para pelajar ragu terhadap apa yang dia ajarkan, sehingga mereka tidak mau memanfaatkannya sedikit pun.
Oleh sebab itu guru yang Muslim harus berpengetahuan luas, kuat dalam mengkaji dan memiliki pemahaman mendalam, sehingga para pelajar menghormatinya, mempercayainya dan mengambil faidah yang diharapkan.

g. Tanggap terhadap berbagai kondisi
Hendaknya guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangaan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan pola berpikir angkatan muda. Di samping itu, hendaknya memahami pula berbagai problema kehidupan modern serta cara bagaimana Islam mengahadapi dan mengatasinya. Hal ini dapat diupayakan dengan disertai wawasan tertulis serta keterampilan bertindak, sambil mengikuti dan memahami gejolak dan suara remaja, mengkaji berbagai informasi dan keluhan yang mungkin menimbulkan keresahan. Dengan kata lain guru hendaknya meneliti sebab-sebab keresahan pelajar dan menganalisisnya dengan bijakdan dan memuaskan.
Guru tidak cukup hanya mengetahuin norma dan cara-cara yang baik, lalu menyerukannya kepada para peserta didik. Dia hendaknya juga meneliti apa saja yang dibisikkan dan dihembuskan secara rahasia oleh pihak-pihak yang mengajak kepada kebatilan dan kekufuran. Dia hendaknya meneliti pula berbagai muslihat yang ditujukan terhadap umat Mu’min dan terhadap mereka yang berjuang dalam mengamalkan dan mencapai tujuan pendidikan Islam. Kewaspadaan ini perlu, karena para guru selalu bergaul dengan jiwa muda yang gelisah, mudah terpengaruh oleh berbagai cobaan, ajakan hawa nafsu dan arus yang ditemui zaman modern ini, yang menyimpang dan tidak bertopang atas keimanan kepada Allah.
h. Bersikap Adil
Hendaknya guru bersikap adil di antara para pelajarnya: tidak cenderung kepada salah satu golongan di antara mereka, dan tidak melebihkan seseorang atas yang lain, dan segala kebijaksanaan dan tindakannya ditempuh dengan jalan yang benar dan dengan memperhatikan setiap pelajar, sesuai dengan perbuatan serta kemampuannya. Rasulullah SAW sendiri telah diperintahkan supaya bersikap adil, meskipun beliau adalah contoh teladan bagi Pra guru. Allah Ta’ala befirman:





Artinya : “… dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu …”(QS Asy-Syura’ : 15)

B. Akhlak Peserta didik
1. Pengertian Akhlak
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jama’ dari khuluq atau khulq yang secara lughah berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Muhammad Daud Alim, 2002 : 346). Kalimat tersebut mengandung persesuaian dengan perkataan khulqun yang artinya : kejadian dan sangat erat hubungannya dengan kata-kata khaaliqun yang berarti pencipta, serta erat pula kaitannya dengan kata-kata makhluuqun yang berarti diciptakan. (Bakri A. Ramhan, 1993 : 3).
Apabila akhlak dihubungkan dengan kata khalqun, khaaliqun dan makhluuqun, akan menghasilkan makna akhlak sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaaliq dan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Dan itulah essensi dari khuluq sebagaimana firman Allah :
ﻢﻳﻇﻋﻖﻠﺨ ﻰﻠﻌﻠ ﻚﻧﺇﻭ
Artinya : “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang amat tinggi.” (Al-Qalam : 4) .
Demikian pula dalam hadits Nabi menyebutkan : “Sesengguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) yang mulia.” (H.R. Ahmad, dalam Barmawie Umary : 1988 : 2).
Adapun pengertian akhlak menurut istilah, ada bermacam-macam pendapat, diantaranya sebagai berikut :
a. Akhlak menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, yaitu “Akhlak adalah sesuatu sifat yang tertahan dari jiwa yang dari padanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran terlebih dahulu”.
b. Menurut Ahmad Amin (1975 : 63)
“Akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia launnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”.
c. Menurut Ibnu Maskawaih dalam kitab “Tahdibul Akhlak wathahirul A’raq sebagai berikut Artinya: Keadaan seseorang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu).”
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian akhlak adalah sebagai berikut :
a. Akhlak adalah suatu ilmu yang memberikan batasan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan tercela, baik perbuatan maupun perbuatan manusia untuk mencapai keselamatan da kebahagiaan lahir dan batin.
b. Akhlak adalah hal yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk dan mengatur pergaulan umat manusia guna mencapai tujuan hidup mereka yang terakhir dan seluruh usaha serta pekerjaan mereka.
Dalam pandangan Muhammad Daud Ali (2002 : 248), akhlak islami adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak, jika memenuhi beberapa syarat, yaitu dilakukan berulang-ulang, dan timbul dengan sendirinya.

2. Dimensi Akhlak
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa akhlak adalah sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia. Oleh sebab itu, sumber, indikasi, dan aspek-aspeknya dijelaskan sedemikian rupa dalam ajaran Islam.
a. Sumber Akhlak
Semua ajaran Islam bersumber pada al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw., demikian pula halnya dengan akhlak. Sumber itulah yang menjadi landasan untuk menentukan baik dan buruk. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah : 16 :




Artinya: “Dengan kitab (al-Qur’an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukki mereka ke jalan lurus”.

Sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an adalah Hadits Rasulullah saw., yang meliputi perkataan, perbuatan dan taqrir beliau. Hadits Nabi berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an terutama dalam masalah yang di dalam al-Qur’an bersifat pokoknya saja. Hadits Nabi dijadikan sebagai sumber akhlak karena di dalam al-Qur’an dinyatakan:



Artinya: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka jauhilah (tinggalkanlah).” (Tim Penerjemah Al-Quran, Depag RI, 19984 : 7).
Dalam akhlak, terdapat satu sumber lainnya selain al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber pokok, yaitu manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Bakri A. Rahman (1983 : 8) :
Manusia selaku makhluk yang istimewa dengan berbagai perbedaannya jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, memiliki kelebihan-kelebihan, di samping terdapat kekurangan. Selain manusia itu telah diistemewakan Tuhan dalam beberapa hal, terdapat perbedaan-perbedaan antara manusia itu sendiri, baik sik maupun mental. Yang membedakan makhluk manusia dengan makhuk lainny adalah terutama akal budinya sehingga ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. (Bakri A. Rahman, 1983 : 8).

Dari pendapat di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa manusia yang bijaksana, yang mengerti tentang baik dab buruk, serta orang tersebut menerapkannya dalam kehidupan di masyarakat, maka kita dapat mencontohnya, misalnya terhadap akhlak para ulama.
b. Indikasi akhlak yang ada dalam diri manusia
Indikasi atau aspek akhlak yang terdapat dalam diri manusia dan menimbulkan perbedaan dari masing-masing individu adalah naluri (insting) atau fitrah yang dibawa sejak lahir, akal, nafsu dan hati.
1) Naluri
Setiap manusia yang lahir digerakkan oleh naluri. Naluri tersebut merupakan tabi’at yang dibawa oleh manusia sejak lahir atau sering disebut dengan fitrah. Pada diri manusia ada empat macam fitrah tabi’at, yaitu bahamiyah, sabu’iyah, syaithaniyah dan rububiyah (Barmawie Umari, 1988 : 28).
2) Akal
Termasuk dalam aspek yang bersumber pada diri manusia adalah akal, dengan akalnya manusia dapat melaksanakan agama dengan benar, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang artinya : “Agama manusia itu berdasarkan akal, dan barang siapa yang tidak berakal maka baginya tidak beragama.” (Imam Suyuti, 1966 : 154).
Jadi antara naluri dan akal manusia ada kesatuan yang mendorong dan mempengaruhi manusia agar selalu memilih jalan yang baik, yakni berdasarkan hidup dengan tuntunan agama.
3) Nafsu
a) Nafsu amarah adalah jiwa yang belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk/jelek, belum mwndapatkan tuntunan, kebanyakan mendorong kepada hal-hal tidak baik.
b) Nafsu lawwamah adalah jiwa yang telah memiliki rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan pelanggaran.
c) Nafsu musawwalah adalah nafsu yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun baginya mengerjakan yang baik dan yang buruk sama saja.
d) Nafsu mutmainah adalah nafsu yang mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik, ia mendatangkan ketenangan jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, membentengi untuk berbuat jahat.
e) Nafsu mulhamah ialah jiwa yang mendapat ilham dari nAllh, dikarunia ilmu pengetahuan, dihiasi oleh ahlakul mahmudah.
f) Nafsu raadiyah adalah nafsu yang mendapat ridha dari Allah, mempunyai kedudukan baik dalam kesejahteraan, mensyukuri nikmat dan merasa cukup dengan apa yang ada.
g) Nafsu mardhiyah adalah nafsu yang diridhai Allah di mana dapat dilihat dari anugrah yang diberikan-Nya berupa senantiasa zikir, ikhlas, mempunyai karamah, memperoleh kemuliaan.
h) Nafsu kaamilah adalah nafsu yang sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dikatakan cakap untuk melakukan irsyad dan ikmal terhadap hamba Allah, ia digelari Mursyid dan Mukammil (Disarikan dari Barmawi Umary : 1988 : 22-23 dan dari A. Rahman, 1983 : 14-15).
4) Qalbu
Qalbu disebut juga hati atau jantung sanubari. Karena keadaan dan sifatnya, maka qalbu itu mempunyai bermacam-macam nama, yaitu :
a) Dlomirun, dari segi tersembunyinya
b) Fu’adun, dari segi banyak gunanya
c) Kabidun, dari segi bendanya
d) Luthfun, dari segi sumbernya sifat kehalusan
e) Qalbun, dari segi suka berubah-ubah
f) Sirrun, dari segi tempat menyimpan rahasia
Menurut A. Rahman (1983 : 16) qalbu atau hati tidak dapat diketahui bentuknya, hakikat dan zatnya, hanya kesan dan sifatnya sajalah yang diketahui orang. Tuntunan hati adalah ilmu, hidayah, inayah, irsyad, taufik dan ma’rifah. Kesemuanya itu sebagai santapan hati. Adapun cara memeliharanya adalah dengan membersihkan diri dari sifat-sifat isti’jal, hasad, kikir, tulus amal.
Dengan melihat penjelasan dia atas maka dapat dipahami kalau hati banyak memegang peranan penting dalam akhlak, sebab itu dari hatilah timbul kebaikan dan keburukan. Sebagaimana dalam hadits Nabi yang artinya : “Ingatlah! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daginmg, apabila ia baik, baiklah anggota tubuh dan apabila binasa, binasalah anggota tubuh itu ijngat, itulah hati (H.R. Buchori Muslim).
c. Aspek-Aspek Akhlak yang Disebabkan oleh Keadaan di Luar Diri Manusia (Lingkungan)
Salah satu faktor yang ikut menentukan akhlak seseorang adalah lingkungan (milieu), yaitu segala sesuatu yang terdapat di luar diri manusia, misalnya tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara dan lingkungan pergaulan sesama manusia.
“…tubuh yang hidup tumbuhnya bahkan hidupnya tergantung kepada lingkungan yang ia hidup di dalamnya kalau milieu itu tidak mencocoki kepadanya, maka tubuh tersebut akan lemah dan mati. Udara, cahaya, logam di dalam tanah letaknya nnegeri, dan apa yang ada pada lautan, sungai dan pelabuhan adalah mempengaruhi dalam kesehatan penduduk dan keadaan mereka yang mengenai akal dan akhlak. Milieu pergaulan meliputi manusia, seperti rumah, sekolah pekerjaan, pemerintahan, syi’ar agama, keyakinan pikiran-pikiran, adat istiadat, pendapat umum, ide, bahasa, kesenian, pengetahuan dan akhlak (Ahmad Amin, 1975 : 41).

Dengan berpedoman pada pendapat di atas, maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa lingkungan dapat mematahkan dan mematngkan pertumbuhan bakat yang dibawa manusia sejak lahir. Kondisi alam yang buruk akan mengakibatkan perintang bagi perkembangan kematangan bakat seseorang, yang pada akhirnya mempengaruhi terhadap sikap dan perilakunya.
d. Pembagian akhlak
Akhlak dibagi pada dua bagian besar yaitu akhlak mahmudah atau aklakul karimah dan akhlakul mazmumah, menurut Barmawi Umary (1988 : 43) pembagian akhlak itu adalah sebagai berikut :
1) Akhlaqul mahmudah
Al-Amanah, al-Afifah, al ‘Afwu, Aniesatun, al-Khaeru, al-Khusyu, adl-Dliyaafah, al-Qufran, al-Hayaa’u, al-Hilmu, al-Hukumu bil ’Adli, al-Ikhaa’u, al-Ihsan, al-‘Iffah, al-Muru’ah, an-Nazhafah, ar-Rahman, as-Sakha’u, as-salam, ash-Shalihat, ash-Shabru, ash-Shidqatu, asy-Syaja’ah, at-Ta’awun, at-Tadlorru’, at-Tawaadlu’, Qona’ah, ‘Izzatun nafsi.
2) Akhlakul mazmumah (tercela)
Annaniah, al-Baghyu, al-Bukhlu, al-Buhtaan, al-Khamru, al-Khiyaanah, azsh-Zhulmu, al-Jubun, al-Fawaahisy, al-Ghadlob, al-Ghasysyu, al-Ghibah, al-Ghinaa, al-Ghuruur, al-Hayatud dunyaa, al-Hasad, al-Hiqdu, al-Ifsah, al-Intihar, al-Israaf, al-Istikbar, al-Kadzbu, al-Kufran, al-Liwaathah, al-Makru, an-Namimah.
Pembagian akhlak di atas adalah pembagian akhlak menurut jenisnya, sedangkan menurut kewajibannya, akhlak dapat digolongkan kepada akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan serta akhlak terhadap al-Khaaliq.
1) Akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya
Akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya dilakukan dengan cara tha’at, tunduk dan patuh terhadap apa-apa yang diperintahkannya dan menjauhkan serta meninggalkan dari apa-apa yang dilarangnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Tim Penerjemah Al-Quran, Depag RI, 1984).

2) Akhlak terhadap orang tua
Akhlak terhadap orang tua bukan saja dimaksudkan ayah dan ibu saja, tetapi juga kepada orang yang lebih tua, bukan pula tua dalam umurnya saja tetapi dalam hal ilmu dan kekayaan, orang yang rajin beribadah, meskipun mungkin umurnya lebih muda dari kita.
Kepada orang tua kita sendiri Allah memberikan petunjuk cara bergaul dan menjaga martabat, sesuai dengan firman-Nya.





Artinya “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (Q.S. An-Nisa : 36).

Orang tua kita sangat besar jasanya dalam membesarkan, mendidik dan menanggung segala kesulitan dalam memelihara dan merawat anak-anaknya. Oleh karena itu, Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip tersebut adalah : patuh, ihsan, berkata lemah lembut, merendah diri, berterima kasih, memohonkan rahmat dan ampun untuk mereka kepada Allah. Dalam Al-Quran surat al-Isra’ : 23 dan Luqman : 14 dijelaskan sebagai berikut.



Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al-Isra : 23).

3) Akhlak terhadap sesama (teman sebaya)
Terhadap mereka yang sebaya, patutlah kita menunjukkan ketinggian akhlak, menjaga kehormatan, memebrikan pertolongan dan sebagainya. Dengan teman sebaya haruslah seperti dua tangan yang saling membantu, karena tidak dikatakan sempurna iman seseorang jika membiarkan temannya dalam kesulitan atau bahaya dijelaskan : Artinya : “Perumpaman kedua orang yang bagaikan kedua belah tangan, tangan yang satu membasuh tangan yang lainnya.” (H.R. Abu Na’im).
Dalam hadits yang lain diceritakan sebagai berikut : Artinya : “Tidak sempurna iman seseorang, sehingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. (H.R. Buchori).
4) Akhlak terhadap alam (lingkungan alam)
Manusia yang merusak terhadap lingkungan, akan mendapatkan kerugian bagi dirinya sendiri dan juga bagi lingkungannya, oleh karena itu, Islam mengatur akhlak terhadap lingkungan, misalnya tidak boleh merusak tanaman, tidak boleh menggunduli gunungm harus memelihara tanaman dan harus memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia. Pada masa sekarang ini telah banyak tejadikeruskan akibat perbuatan manusia yang tidak memiliki akhlakul karimah terhadap lingkungannya, padahal jauh-jauh sebelum itu Allah telah berfirman dalam al-Qur’an dalam surat Ar-Rum : 41 :


Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Dari keterangan-keterangan di atas, nampak jelas bahwa umat manusia diberi perintah oleh Allah swt untuk senantiasa melestarikan lingkungan hidup agar tetap harmonis dengan keadaan di sekitarnya, karena semua manfaatnya akan dirasakan sendiri oleh manusia, demikian pula jika mereka merusaknya, mereka akan merasakan akibatnya, misalnya dengan adanya banjir, kekurangan makanan dan sebagainya. Pemeliharaan lingkungan hidup itu merupakan bagian dari akhlak yang mesti diwujudkan secara baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan Islam, pendidikan yang ideal adalah yang sanggup mengembangkan ketiga potensi tersebut secata harmonis dan proporsional. Dalam bahasa Al-Quran disebutkan : “Basthotan fi al-‘ilmi wa al-jismi” (keunggulan ilmu dan raga), disamping “qalbun salim” (hati nurani yang sehat).
Tugas para pendidik yang strategis adalah mewariskan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge’s), mewariskan nilai-nilai luhur (transfer of values) dan mewariskan keterampilan dan keahlian (transfer of skills); dengan harapan dapat meningkatkan kualitas peserta didik terutama dalam kualitas piker, kualitas moral, kualitas kerja, kualitas pengabdian dan kualitas hidup.
Masalah penting lainnya yang diperankan oleh para pendidik adalah “keteladanan” dalam hidup, dapat menjadi panutan bagi peserta didiknya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tutur kata, sikap dan prilakunya. Peran seperti itu akan dapat dilakukan dengan baik atau sebaliknya oleh para pendidik, tergantung dengan kondisi internalnya, terutama kondisi religiusitasnya, kondisi moralitasnya, kondisi intelektualitasnya.
Mengingat arus globalisasi sekarang lebih banyak bersifat materialistis, maka upaya penyelamatan peserta didik adalah dengan memberikan ruang dan kemampuan bagi mereka untuk mengembangkan kehidupan spiritualistis, sebagai imbangan kehidupan global yang materialistis tersebut. Kehidupan spiritual itu dapat dikembangkan dengan “pembiasaan” peserta didik secara dini, melakukan atau mengamalkan ibadah-ibadah dengan teratur, membiasakan perilaku sopan dan santun, membudayakan akhlaqul karimah dan mengembangkan kepekaan social.
Dalam hal ini faktor keteladanan para pendidik di samping keluarga peserta didik sangat berpengaruh. Dan sayangnya pada masa sekarang ini peranan keluarga sebagai pranata kependidikan cenderung bertambah lemah, baik karena keterbatasan kesempatan, kemampuan atau kemauan. Budaya ‘pre-figuratif’ yaitu menokohkan yang lebih tua menjadi luntur, dan yang ada hanya “co-figuratif” yaitu tokoh idolanya yang sebaya, malah ada kecenderungan ‘post figuratif’ yaitu yang tua mengikuti yang lebih muda sebagai idola.

Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Sekolah menengah atas (SMA/MA) merupakan institusi pendidikan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan memproduksi, mengkonstruksi dan merevitalisasi paradigma sumber daya manusia di lembaga pendidikan tersebut, diarahkan agar mereka memiliki perspektif kognisi, afeksi dan konasi yang baik di mata masyarakat sebagai bekal kehidupannya.
Sekolah menengah atas tidak saja dituntut segi-segi otentitasnya secara yuridis dan eksistensial agar legitimasinya diakui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai sebuah institusi yang capable mengelola dan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu, tetapi juga harus mampu mengkonstruktivitaskan institusinya secara moral dan manajerial agar ia dapat survive dan mampu menyediakan semua proses intelektualisasi produk yang dihasilkannya kepada masyarakat secara sistematis, kontinue dan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat tentang harapan dan cita-citanya mendapatkan manfaat belajar di sekolah.
Atas tuntutan itulah setiap orang pada akhirnya mendudukan sekolah sebagai sesuatu yang penting. Suatu cita-cita yang senantiasa terus dikejar oleh masyarakat untuk menapaki eksistensi kehidupannya dalam komunitas kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera. Dengan kata lain, sekolah menengah atas sampai hari ini merupakan jalan elementer bagi masyarakat dalam upaya menjadikannya sebagai perantara untuk memasuki perguruan tinggi dan sekaligus sebagai kaum elit – kelompok masyarakat yang memberikan pengaruh, dan daya dorong kuat sekaligus sebagai pemimpin ditengah suatu komunitas masyarakat. Apapun komunitasnya–apakah komunitas politik, ekonomi, sosial, budaya, profesi dan sebagainya.
Dalam realitas di masyarakat, banyak alumni sekolah tingkat atas (SMA/MA) yang melanjutkan ke perguruan tinggi, dan tidak sedikit yang langsung bekerja menjalankan fungsi sebagai agen pembaharu di masyarakat. Hal ini sejalan dengan arah tujuan sekolah menengah sebagaimana dirumuskan Depdiknas berikut ini.
Lulusan sekolah menengah atas dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi), disamping harus mampu menjalankan fungsinya sebagai agen pembaruan dalam masyarakat (agent of social change). Yakni Pemahaman dan pemikiran masyarakat yang terbuka dan cerdas dalam bidang apapun (politik, hukum, pendidikan, kesehatan, keagamaan) dan berbagai dimensi lain. Lulusan sekolah menengah atas juga diharapkan membawa pencerahan dan memberikan pengaruh bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat (Depdiknas, 2006 : 12).

Harapan yang begitu menggebu terhadap lulusan sekolah menengah atas cukup beralasan. Karena kalau bukan lulusan sekolah siapa lagi yang memberikan pencerahan, pembaruan, dan peningkatan taraf hidup mereka. Namun keinginan agar lulusan sekolah menengah atas berkualitas dan mampu melakukan yang terbaik, tenyata akhir-akhir ini tinggal harapan.
Mengapa? Selama ini kualitas lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA) pada skala nasional maupun daerah cukup mengkhawatirkan. Jumlah lulusan yang memiliki kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik kepada masyarakat cukup kecil. Inilah salah satu persoalan mendasar dalam praktek pengelolaan pendidikan di sekolah menengah atas. Pada akhirnya tidak salah apabila masyarakat sering memiliki pandangan miring kepada lulusan sekolah menengah atas. Masyarakat menemukan sebagian besar lulusan sekolah menengah atas tidak mampu menjalankan misinya sebagai orang yang terdidik, memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki nilai (values) yang menjadi identitas sebagai kaum terdidik. Dan dalam pandangan beberapa perguruan tinggi, lulusan sekolah menengah atas banyak yang belum siap belajar sebagai mahasiswa. Rendahnya values baik berupa nilai agama dan etika, juga telah memperparah keberadaan lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA) di mata masyarakat.
Berbagai pandangan miring yang dialamatkan kepada lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA), tidaklah perlu dinegasikan secara defensif oleh institusi sekolah menengah atas. “Sebab hal tersebut adalah realitas yang harus disikapi dengan arif oleh para pemimpin sekolah menengah atas” (Abudin Nata, 2003 : 24). Selanjutnya Nata menjelaskan:
Stakeholders harus berfikir mengapa realitas ini terjadi. Oleh karena itu maka institusi sekolah menengah atas perlu mencari berbagai faktor determinan yang menentukan mengapa lulusannya sebagian besar sangat rendah kualitasnya. Bukankah, seseorang dikatakan lulus sekolah menengah atas apabila ia telah memenuhi standar akademik yang baik. Mengapa lulusan sekolah menengah atas belum mencerminkan suatu standar akademik, padahal mereka sudah mengikuti proses belajar, mengikuti ujian nasional. Mengapa mereka dinyatakan belum layak menjadi mahasiswa apalagi menjalankan misinya sebagai agen pembaruan masyarakat.

Banyak faktor penyebabnya. Ada yang berpandangan inputnya tidak baik, dananya terbatas, dan bahkan ada pula yang berpendapat regulasi pemerintah tidak memihak kepada peningkatan mutu akademik lulusan sekolah menengah atas. Faktor-faktor itu memang mempengaruhi output sekolah menengah atas dalam memproduksi sumber daya manusia. Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak murid yang tidak siap karena sebagian menderita kekurangan biaya, kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang tidak mendukung. Di samping itu, ada pula perilaku negatif peserta didik yang berdampak pada kesehatan dan proses belajar mengajar seperti perilaku merokok, penyalahgunaan narkoba, seks pra-nikah, dan kasus HIV/AIDS pada usia produktif (15—24 tahun) yang semakin meningkat.
Namun, dari kesemua faktor yang ada, kecenderungan faktor determinan yang menunjukkan rendahnya kualitas lulusan sekolah menengah atas kebanyakan justru terletak pada manajemen sekolah itu sendiri. Yaitu kemampuan mengelola sekolah secara integral dan menyeluruh dengan mengoptimalkan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki sekolah. Sebab fasilitas yang memadai tidaklah menjamin peningkatan kualitas jika kemampuan menata dan mengoptimalkan sumberdaya termasuk sumberdaya manusia belum dimiliki. Bila para pengelola lembaga pendidikan tingkat atas tidak menerapkan prinsip-prinsip manajemen peningkatan kualitas, maka keterpurukan pendidikan yang akan dicapai.
Rendahnya kualitas tenaga pendidikan dan kependidikan, serta lemahnya kompetensi manajerial para pemimpin sekolah menengah atas, secara tersirat telah disadari oleh pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional. Dalam renstra Depdiknas (2006 : 27) dijelaskan sebagai berikut.
Secara eksternal, komponen masukan pendidikan yang secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan meliputi (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya; (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal; (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran; dan (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif.

Dalam konteks yang demikian itulah maka manajemen sekolah menjadi landasan dasar bagi penataan dan perbaikan yang ditujukan untuk menghasilkan lulusan sekolah menengah atas yang berkualitas dengan kualifikasi akademik yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Ted Wall, guru besar manajemen pendidikan dari Mc Gill University, menyebutkan, manajemen sekolah harus dimulai dari adanya kesadaran (awareness) seluruh civitas akademika, terutama bagi pimpinan sekolah. Artinya, setiap kebijakan diambil semata-mata untuk meningkatkan mutu akademik. Lebih lanjut dia menjelaskan sebagai berikut.
Kesadaran pimpinan sekolah menengah atas tersebut harus berangkat dari filosofis bahwa mengelola sekolah menengah atas tidak saja berorientasi pada economic capital (profit oriented) saja, melainkan juga harus berorientasi pada sosio capital – yakni target pengelolaan yang berorientasi pada segi-segi konstruktivitas dan charactarer building manusia, atau dengan kata lain stakeholders haruslah memprioritaskan human capital sebagai sasaran output bagi eksistensi sekolah yang dikelolaanya (Andi Trinanda, 2007 : 1).

Problematika yang dihadapi dalam mengelola sekolah menengah atas, dapat saja dieleminir jika semua elemen baik stakeholders maupun seluruh civitas akademika memiliki komitmen, konsensus, dan completion berupa situasi yang mendukung untuk melakukan perubahan. Komitmen akan melahirkan suatu kesadaran manajerial bahwa mengelola sekolah cenderung didasari oleh suatu konsep yakni pertama, activition, kedua verifikasi-investigasi dan ketiga, suksesi. Konsep manajerial ini penting untuk dikembangkan menjadi suatu komitment yuridis formal oleh institusi pendidikan persekolahan agar ia memiliki standar baku dalam setiap proses langkah mengelola sebuah organisasi yang term-nya adalah produk intelektual.
Pada taratan empiris, berdasarkan informasi dari bagian humas di SMAN Ciawi, dari 326 output peserta didik tahun pelajaran 2007/2008 yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi hanya mencapai 38%, sedangkan yang bekerja 19% dan yang tidak melanjutkan dan belum bekerja mencapai 43%. Adapun di MAN Ciawi, pada tahun pelajaran yang sama, dari jumlah peserta didik 232 orang, yang melanjutkan ke perguruan tinggi sebesar 31%, bekerja 17% dan tidak melanjutkan dan belum bekerja 52% (Hasil wawancara dengan WK Kesiswaan).
Tenaga pendidik yang tidak layak di SMAN 1 Ciawi sebanyak 12,5% dari 75 orang dan di MAN mencapai 17% dari 53 guru. (Ketidak layakan ini dilihat dari latar pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkannya saat ini; misalnya guru berlatar pendidikan Biologi, mengajar sejarah). Dan masih banyak hal-hal lain yang menunjukan belum sesuainya antara harapan dengan kenyataan.
Kedisiplinan guru dan siwa di SMUN 1 Ciawi relatif masih kurang, guru yang telat masuk kelas pada setiap minggunya rata-rata mencapai 9,38% dengan rentang telat antara 10-15 menit, siswa yang kesiangan antara 5 - 10 menit perhari rata-rata 4,12%. Guru yang belum memiliki program pembelajaran mencapai 15,63%; siswa yang lambat membayar SPP setiap bulan rata-rata %; guru yang tidak memiliki catatan proses dan hasil belajar siswa antara 10-13%.
Namun demikian, keadaan Madrasah Aliyah dari berbagai sisi bisa jadi lebih memprihatinkan, sebab meskipun keberadaannya sudah lama, tetapi pengakuan secara yuridis formal oleh Depdiknas baru pada tahun 1992. Dimana secara tegas pemerintah menyatakan bahwa Madrasah Aliyah sebagai SMU berciri khas Islam (Kepmendikbud No. 0489/U/1992 pasal 1 angka 6).
Departemen Agama sebagai departemen yang menaungi Madrasah Aliyah mensinyalir beberapa permasalahan yang dihadapi madrasah, termasuk Madrasah Aliyah, antara lain (1) lembaga pendidikan yang dililit berbagai keterbatasan (sarana-prasarana, dukungan dana), (2) kurikulum yang belum menjawab kebutuhan, (3) kurang tersedianya SDM yang memadai, (4) tantangan iptek dan globalisasi (Depag RI, 2004 : 167). Selain permasalahan tersebut dalam realitas di masyarakat, Madrasah Aliyah belum menjadi pilihan utama peserta didik dan orang tua. Peserta didik lebih bangga bila masuk SMA dan orang tua lebih percaya pada SMA.
Pada sisi lain, tuntuan pemerintah terhadap alumni Madrasah Aliyah sama dengan tuntutan terhadap alumni SMA. Bahkan masyarakat berharap lebih banyak terhadap alumni Madrasah Aliyah, karena selain diharapkan memiliki ilmu pengetahuan umum, juga diharapkan memiliki ilmu agama (Islam) yang memadai. Itulah seharusnya yang menjadi keunggulan dan nilai jual serta kekuatan Madrasah Aliyah, namun demikian bila tidak diimbangi dengan berbagai faktor pendukung, baik berupa dana, sarana, sumber daya manusia, dan sistem manajemen yang baik, maka tuntutan pemerintah dan harapan masyarakat tidak akan terwujud.
Kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan manajemen mutu berbasis sekolah masih dihadapkan kepada berbagai problema yang membutuhkan pengkajian. Indikasi kearah tersebut ditunjukan dengan masih rendahnya fungsional yaitu terkait dengan kegunaan; Temporal yaitu seperti tepat waktu, ketersediaan, akurasi; Phisikal yaitu seperti mekanik, elektrik, bagunan; sensory yaitu berkaitan dengan panca indra dan perasaan; behavorial yaitu berkaitan dengan sifat seperti sopan santun, disiplin, kejujuran; Ergonomic yaitu berkaitan dengan keselamatan, kenyamanan dan kesehatan.
Hasil penelitian Feiby Ismail (2008 : 132) dengan judul Manajemen Berbasis Sekolah: Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan tingkat SLTA di Menado, menyimpulkan bahwa “dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah tersebut diasumsikan kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan juga peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan di tingkat mikro (sekolah) akan lebih meningkat.” Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Aminudin (2008) melalui judul penelitian Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (Study Kasus pada MI Muhammadiyah Program Khusus Kenteng Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2007/2008), menyimpulkan bahwa:
Manajemen peningkatan mutu pendidikan berbassis sekolah merupakan sebuah model manajerial yang baik dan sesuai diterapkan di madrasah, hal ini di buktikan dengan adanya kelengkapan komponen-komponen manajemenya, dan juga konsep kepemimpinan yang terbuka dan demokratis karena lembaga ini berdiri dan berjalan atas partisipasi dan dukungan masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingginya animo masyarakat untuk memasukkan putra-putrinya agar menjadi siswa di lembaga tersebut, akibatnya jumlah siswa saat ini menjadi semakin membludak.

Berdasarkan asumsi tersebut maka dalam mengatasi masalah yang terjadi di SMA maupun di MA dapat dilakukan dengan menerapkan konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah secara utuh. Dilaksanakan dengan seksama dan bekerjasama.
Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan peserta didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka diduga disetiap sekolah/madrasah akan terjadi variasi dalam penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasasis sekolah. Atas dasar itu maka penulis tertarik untuk meneliti perbedaan dan persamaan penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah yang diselenggarakan oleh SMA sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang berada di bawah naungan Depdiknas, dengan Madrasah Aliyah (MA) sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang berada di bawah naungan Depag. Sebagai lokasi penelitian dipilih sebuah kabupaten yang ada di wilayah Jawa Barat, yakni di Kabupaten Tasikmalaya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini selanjutnya diberi judul: MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH (Studi Perbandingan di SMAN dan MAN Se Kabupaten Tasikmalaya).


Perumusan dan Batasan Masalah
Perumusan Masalah
Otonomi pendidikan sebagai hasil dari perjuangan reformasi di bidang pendidikan pada akhirnya memunculkan beberapa kebijakan di bidang pendidikan seperti Manajemen Berbasis Sekolah (school-based management), rencana implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (curriculum-based competence), dan Kurikulum Berbasis Sekolah (school-based curriculum). Manajemen mutu merupakan hal sangat dibutuhkan karena saat ini tidak ada lagi hal yang sederhana, itu pun kalau hal yang sederhana pernah ada (Crosby). Sebagaimana yang telah kita ketahui, standar mutu dapat memiliki peranan dalam TQM. Standar tersebut dapat memberikan pesan aktual dan potensial kepada pelanggan, bahwa institusi mengunakan mutu secara serius, dan bahwa kebijakan-kebijakan dan praktek-prakteknya sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional. Ini dapat memberikan kepercayaan eksternal di samping membangun kebannggaan internal.
Meskipun implementasi MBS ini memerlukan perjuangan berat bangsa Indonesia dan membutuhkan waktu yang cukup panjang (time consuming), dalam pandangan Noble (1996), MBS itu diharapkan dapat: (1) meningkatkan prestasi akademik peserta didik (academic achievement), (2) meningkatkan pertanggung jawaban (accountability) diantara para pengambil kebijakan, (3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment) ke arah perbaikan budaya sekolah (school culture), dan untuk kegunaan politis (political utility) karena para pengambil kebijakan di masyarakat (local players) benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sekolah.
Menurut Cheng (2001), MBS merupakan salah satu kecenderungan internasional yang paling menonjol dalam reformasi di bidang pendidikan (the most salient international trends of school reform). MBS memberikan banyak kesempatan dan kebebasan kepada para guru, orang tua, pendidik, pengelola pendidikan, dan pemimpin pendidikan untuk memikirkan kembali praksis pendidikan, mengembangkan mereka sendiri, mengubah peranan dan membuat inovasi serta meningkatkan kualitas lulusan.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), sebenarnya merupakan bentuk riil keinginan bangsa Indonesia untuk menuju sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik, demokratis dan manusiawi yang perlu diwujudkan dalam di setiap sekolah.
Permasalahan lain yang dihadapi seiring dengan latar belakang masalah di atas adalah sekolah menengah atas sebagai institusi pendidikan dituntut menghasilkan lulusan yang berkualitas dengan mendasarkan kepada realitas yang ada di sekolah masing-masing, juga harus mencapai standar nasional. Pada sisi lain, manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah akan diwarnai oleh berbagai aspek yang ada di lingkungan sekolah masing-masing pada satu sisi, dan pada sisi lain harus sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan diharapkan masyarakat sebagai pemakai jasa pendidikan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah didasarkan kepada teori sistemik, dalam hal ini mutu pendidikan berbasis sekolah akan dipengaruhi oleh input, proses, out put dan out comenya. Sehingga penanganan lembaga pendidikan oleh Departemen yang berbeda lebih memungkinkan terjadinya perbedaan dalam pola-pola peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. Dalam bentuk bagan, permasalahan penelitian ini disajikan sebagai berikut:





Bagan 1. Perumusan Masalah
















Batasan Masalah
Tidak seluruh masalah yang teridentifikasi akan diteliti, melainkan akan dibatasi dan difokuskan pada masalah berikut:
Bagaimanakah pola penerapan manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN se Kabupaten Tasikmalaya?
Masalah-masalah apakah yang dihadapi oleh SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya dalam menerapkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah?
Bagaimana strategi mengatasi masalah-masalah penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya?
Bagaimana hasil penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya?
Dengan memperhatikan permasalahan penelitian tersebut, dalam bentuk bagan dapat dilihat sebagai berikut.
Bagan 2. Batasan Masalah







Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalahnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMA dan MA. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
Perbandingan pola penerapan manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya dalam menerapkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.
Strategi mengatasi masalah-masalah penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.
Hasil penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki dua manfaat. Pertama manfaat secara teoretis dan kedua manfaat secara empiri. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk menambah kajian ilmu pengetahuan tentang peningkatan mutu pendidikan manajemen berbasis sekolah.
Adapun manfaat empirisnya adalah dapat dijadikan acuan oleh kepala sekolah, guru dan komite sekolah dalam menganalisis peningkatan mutu pendidikan berbasis kelas dan upaya mengatasinya jika dalam pelaksanaannya dihadapkan pada permasalahan, baik menyangkut manajemen, kurikulum dan penilaian. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu masukan, khususnya bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah.
Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif sehingga mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Bagi instansi terkait (Kantor Departemen Agama dan Dinas Pendidikan) Kabupatenm Tasikmalaya, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu masukan dalam meningkatkan kualitas sekolah dan madrasah di wilayah Tasikmalaya utara.

Hipotesis Penelitian
Penelitian ini berupaya membandingkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dengan di MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
Hipotesis nihil (Ho) : Secara signifikan tidak terdapat perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah antara SMAN dengan MAN.
Hipotesis alternatif (Ha). Secara signifikan terdapat perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah antara SMAN dengan MAN.
Kedua hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan tes “t” dengan kriteria sebagai berikut: Jika terbukti -ttc > t < ttc maka hipotesis nihil ditolak. Adapun dalam keadaan sebaliknya, hipotesis alternatif diterima.

Prosedur Penelitian
Menetukan Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data kuantitatif yang berkaitan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, baik yang secara asal berbentuk kuantitatif maupun yang sengaja dikuantifikasi.
Penelitian dilakukan di SMAN dan MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dengan alasan data yang diperlukan dapat diperoleh di lokasi tersebut; dan lembaga pendidikan tersebut ada upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah juga ada upaya-upaya mengatasi problema yang dihadapinya.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru-guru, staf TU dan komite sekolah/madrasah di SMAN/MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan informasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya dan dari Kantor Depag Kabupaten Tasikmalaya, diketahui jumlah SMAN ada 12 dan jumlah MAN ada 8. Untuk lebih jelasnya, diuraikan dalam populasi dan sampel penelitian.



Tabel 1.1 Populasi Penelitian
No. SMAN dan MAN di Kab. Tasikmalaya Jumlah Jml Kepala Jml Guru Jml TU Komite Jumlah total
1 SMAN 12 12 485 78 82 669
3 MAN 8 8 304 49 52 421
Jumlah 20 20 789 127 134 1090
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya dan Kontor Depag Kab. Tasikmalaya

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah populasinya adalah 20 sekolah dengan jumlah personil 1090 orang. Dalam penelitian ini penulis tidak akan meneliti seluruh populasi, melainkan akan dilakukan penelitian berdasarkan sampel. Menurut Suharsimi Arikunto (1987 : 100), apabila jumlah populasinya banyak, sampel dapat diambil antara 10 – 15% atau 20 – 25%. Mengacu kepada pernyataan tersebut maka sampel penelitian ini ditetapkan sebesar 20%. Jadi sampelnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2 Sampel Penelitian
No. SLTA Jumlah Jml Kepala Jml Guru Jml TU Komite Jumlah total
1 SMAN 2 2 97 16 16 131
3 MAN 2 2 61 10 10 83
Jumlah 4 4 158 26 26 214

Jadi penelitian ini sampelnya adalah 214 orang yang penentuannya diambil secara random. Teknisnya, masing-masing nama SMAN dan MAN diberi nomor urut, kemudian ditulis dalam kertas kecil, digulung dan dimasukan ke dalam botol/gelas (dipisah antara SMAN dan MAN). Kemudian dikocok dan dikeluarkan, dua untuk SMAN dan 2 untuk MAN. Nama SMAN dan MAN yang keluar dijadikan sebagai sampel penelitian, dalam hal ini kepala, guru, staf TU dan komite menjadi responden penelitian.

Menentukan Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif, yaitu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi saat ini dengan menggunakan pendekatan kuantitif, yang menganalisis hal-hal yang telah dilakukan oleh sekolah dalam mengimplementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah dan dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik observasi, teknik wawancara dan teknik dokumentasi. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut :

Teknik Observasi
Observasi yang dilakukan yaitu observasi langsung dengan harapan memperoleh informasi dan data tentang kondisi objektif SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya, terutama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Masalah yang dihadapi dalam menejemen peningkatan mutu pendidikan dan penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Teknik Wawancara
Wawancara yang dilakukan menggunakan jenis wawancara tertutup melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti. Penentuan informan yang mengetahui tentang SMAN dan MAN yang diteliti disesuaikan dengan jumlah sampel penelitian dan kadar kesiapan yang akan diwawancara serta kemampuan peneliti, baik dari segi waktu, pokok masalah yang akan diwawancarakan dan tempatnya.

Teknik Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk mengetahui data tertulis tentang manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah melalui penelusuran dokumen, buku-buku, majalah dan berbagai literature lainnya yang mendukung terhadap teori dan konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Teknik Angket
Angket berguna untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar responden yang menjadi sampel. Dalam menjawab pertanyaan, responden lebih leluasa karena tidak dipengaruhi oleh sikap mental korelasi antara peneliti dengan responden (Muhammad Ali, 1987 :87). Atas dasar alasan tersebut maka angket digunakan sebagai teknik pengumpulan data utama. Bentuk angket yang disebarkan kepada responden adalah angket terstruktur dengan pola tertutup karena sejumlah pilihan telah ditentukan dan responden tinggal menandai jawaban yang paling cocok bagi dirinya.
Jenis data yang diperoleh dari penyebaran angket ini akan dikuantifikasi dengan skala sebagai berikut: responden yang memilih alternatif jawaban A. B. C. D atau E. pada bentuk soal/pernyataan positif, akan diberi skor 5, 4, 3, 2 atau 1 pada setiap item, sedangkan untuk bentuk soal negatif penskoran dilakukan sebaliknya.

Analisis Data
Data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan statistik non parametrik. Dalam hal ini adalah statistik perbandingan terhadap dua sampel independen, yaitu manajemen peningkatan mutu pendidikan di SMAN dan manajemen peningkatan mutu pendidikan di MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya.
Rumus-rumus statistik yang akan digunakan antara lain mean, median, modus, standar deviasi, chi kuadrat, t tes untuk perbandingan jika memenuhi kriteria atau Mann-Whitney U-Tes jika tidak memenuhi criteria pengujian t tes. Data akan dihitung dengan rumus-rumus sebagai berikut :

Menghitung rata-rata dengan rumus
M=(∑▒fX)/(N (Jumlah responden))
Hasil hitung rata-rata ditafsirkan dengan menggunakan skala lima norma absolute sebagai berikut:
0,5 – 1,5 = sangat rendah / sangat jelek
1,5 – 2,5 = rendah / jelek
2,5 – 3,5 = cukup
3,5 – 4,5 = tinggi / baik
4,5 – 5,5 = sangat tinggi / sangat baik

Standar deviasi atau simpangan baku dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
SD = √(((∑▒〖〖fX〗^2) 〗)/n- ((∑▒fX)/n) )^2

Uji Normalitas Distribusi
Pengujian normal tidaknya distribusi data dilakukan dengan menggunakan chi kuadrat, dengan kriteria: jika chi kuadrat hitung lebih besar daripada chi kuadrat tabel, maka data tergolong berdistribusi normal.
Rumus chi kuadrat yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

2 = (Sugiyono, 2008 : 81).

Uji Homoginitas Variansi
Uji homoginitas variansi dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

F=

Data tergolong memiliki variansi yang homogen jika terbukti F hitung lebih kecil daripada F tabel pada taraf signifikansi 5%. Dalam keadaan sebaliknya homoginitas variansi ditolak.

Uji komparatif
Jika diketahui data tergolong berdistribusi normal dan variansinya homogen, maka proses uji komparatif akan dilakukan dengan uji (tes) t, dengan diawali oleh penentuan angka standar deviasi gabungan melalui rumus :
SDg =

Setelah diketahui standar deviasi gabungan akan dilanjutkan dengan menentukan t hitung melalui rumus sebagai berikut
t =



Jika terbukti ttabel lebih besar daripada thitung pada taraf signifikansi 5% maka hipotesis alternatif yang menyatakan adanya perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan bebasis sekolah di SMAN dan MAN se Kabupaten Tasikmalaya, diterima. Sedangkan yang menyatakan sebaliknya ditolak.
Penghitungan statistik akan dilakukan dengan menggunakan bantuan proram excel dan SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

Minggu, 27 Juli 2008

Fiqih Madrasah Aliyah Semester 2

BAB I
PEMBINAAN HUKUM ISLAM

A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, Ijtihad berarti : mengarjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedangkan menurut syara’ Ijtihad berarti : mengerahkan semua potensi dan kemampuan secara optimal untuk menetapkan hukum hukum syari’ah.
Hukum Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan jaman atau waktu. Dengan demikian Hukum Islam tidak bersifat statis dan kaku, akan tetapi senantiasa diterapkan dalam segala keadaan dan kondisi masyarakat, kapanpun dan di manapun mereka berada.
Para Ulama sejak dahulu selalu berusaha mendalami hukum hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunah yang kadang-kadang di antara mereka terdapat perbedaan paham dan pendapat dalam menetapkan hukum yang mereka istimbatkan dari Al-Quran dan As-Sunah tersebut. Hal ini dikarenakan di antara ayat Al-Quran ataupun Hadis Nabi itu ada yang bersifat zhanni, sehingga memerlukan pemikiran dan usaha yang sungguh sungguh untuk dapat memahami nash-nash yang demikian.
Di samping itu seringkali para Ulama menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi pada jaman Nabi dan belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian mereka harus berusaha dengan segala daya serta kemampuannya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru tersebut sesuai dengan prinsip prinsip hukum yang ada dalam sumber-sumber pokoknya yaitu Al-Quran dan As-Sunah. Usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para Ulama untuk menetapkan hukum Islam inilah yang dikenal dengan sebutan “Ijtihad”, sedangkan para Ulama yang melakukannya disebut “Mujtahid”.
Berusaha mendalami hukum Islam memang merupakan keharusan dalam ajaran Islam, dan orang yang melakukannya sudah barang tentu akan memperoleh derajat yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Firman Allah :








Artinya :”Tidak sepatutnya bagi orang orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang) mengapa tidak pergi tiap tia golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)

Di antara nash-nash hukum yang ada, adakalanya merupakan nash yang Qath’i, artinya nash tersebut menunjukan kepada hukum yang jelas dan tertentu sehingga tidak mungkin adanya interprestasi atau penafsiran lain. Terhadap nash yang demikian tidak diperlukan adanya Ijtihad.
Sebagai contoh, Firman Allah :









Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur : 2)
Dalam memahami ayat tersebut diatas, tidak memerlukan ijtihad karena ayat tersebut telah menunjukan hukum yang jelas dan tidak mungkin ada interprestasi lain, yaitu bahwa hukuman bagi orang yang melakukan zina (dalam hal ini yang ghair muhsan) adanya sebanyak seratus kali dera.
Akan tetapi adakalanya dianatara nash-nash itu bersifat zhani, artinya nash tersebut belum menunjukan kepada hukum yang jelas dan masih dimungkinakan adanya interprestasi atau penafsiran lain.
Sebagai contoh, Firman Allah :



Artinya : “Wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (Al-Baqoroh : 228)
Ayat tersebut belum menunjukan kepada hukum yang jelas dan pasti, karena pengertian quru’ dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu : suci dan haid. Jadi berdasarkan ayat di atas, wanita wanita yang dicerai (ditalak) itu iddahnya ada dua kemungkinan yaitu : Tiga kali suci, atau tiga kali haid. Diantara dua kemungkinan hukum tersebut, mana yang akan diambil ketetapan hukumnya? Dalam hal ini memerlukan ijtihad.
Ijtihad Imam As-Syafi’i menetapkan bahwa wanita wanita yang ditalak oleh suaminya, masa iddahnya tiga kali suci : sedangka Ijtihad Imam Hanafi menetapkan bahwa wanita-wanita yang ditalak oleh suaminya masa iddahnya tiga kali haid.
Selain dari itu adakalanya timbul masalah masalah yang terjadi dalam masyarakat, ketetapan hukumnya belum ada, baik dalam A-Quran maupun Sunnah. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik) pada manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata, dan lain lain. Semua itu memerlukan ijtihad untuk menetakan hukumnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tempat atau lapangan ijtihad itu adalah
o Dalam mengistibatkan hukum dari nash-nash yang sifatnya zhanni.
o Dalam menetapkan hukum terhadap masalah masalah baru yang ketetapan hukumnya belum ada.



2. Hukum Ijtihad
Dilihat dari masalah yang diijtihadi, hukum ijtihad terhadap suatu masalah bagi seorang mujtahid, dibedakan pada tiga tingkatan.
Wajib ‘ain yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang masalah sedang masalah tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
Sunnat, yaitu Ijihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.


3. Syarat Syarat Ijtihad
Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, karena tidak semua orang memenuhi syarat sebagai mujtahid. Syarat-syarat dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Berapa jumlah ayat Al-Quran dan Al-Hadits yang harus diketahuinya? Mneurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi, ayat ayat harus diketahui adalah kurang lebih 500 ayat, harus lebih banyak lagi dari 500 ayat hukum tersebut. Jumlah hadis yang harus diketahui mujathid yang ada yang mengataka harus 3000 nuah, ada pula yang mengatakan harus 1200 buah . menurut As-Syaukani harus mengetahui hadis hadis yang ada dalam kitab kitab yang enam. Baik tentang ayat ayat Al_quran maupun hadis hadis tidak disyaratkan hafal, tetapi cukup apabila dibutuhkan dapat mencarinya dalam al-quan dan kitab kitab Hadis. Tntang hadis selain mengetahui keadaan perawi perawi hadits mana yang tercela dan mana yang tidak.
b. Mengetahui hukum hukum yang ditetapkan dengan Ijma’ Ulama
Hukum-hukum yang telah disepakati melalui Ijma’ ulama perlu diketahui oleh orang yang akan berijtihad, sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
c. Mengetahui serta memahami bahasa Arab
Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang hakikat, yang majaz. Am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlak, muqayad, muntaq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
d. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh
Melakukan ijtihad harus didasari dengan ilmu ushul fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal soal cabang kepada soal soal pokoknya
e. Mengetahui nasikh dan mansukh
Ayat Al-Quran dan hadits menunjukkan adanya nasihk dan mansukh sehingga sehingga mujtahid tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.

4. Tingkatan Tingkatan Mujtahid
a. mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab
b. mujtahid muntasib yaitu orang yang mempunyai sarat syarat iujtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara cara yang ditetapkan oleh imam madzhab tersebut dalam berijtihad.

5. Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam hasil berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada yang tidak. Sabda Rasululloh saw.


Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran ) maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari )
Hadis tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu sebagian mujtahid dapai mencapainya maka ia dikatakan yang encapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.

6. Pendapat Para Ulama Tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat
Para Ulama sepakat bahwa nabi boleh berijtihad dalam masalah masalah yang berhubungan dengan soal dunia seperti dalam soal peperangan perdamaian menentukan startegi dan lain lain. Adapun ijtihaf Nabi dalam hukum hukum syari’ah, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut golongan Asy’ari Nabi tidak boleh berijtihad sedak ia tidak terhindar dari kemungkinan salah, mengapa nabi tidak boleh berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan.
Adapun mengenai kebolehan para sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pula pendapatnya. Pendapat yang kuat membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan dengan Nabi maupun di kala berjauhan dengan beliau.
Nabi pernah berkata kepada ‘Amr Bin Ash : putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata : apakah saya boleh brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi : Ya, apabila tidak benar kamu mendapat satu pahala.

7. Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan urutan di bawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Adapun urutan urutan tersebut adalah sebagao berikut
1. Dalil dalam bentuk :
a. Nash-nash Al_Quran
b. Hadis mutawattir
c. Hadis Ahad
d. Zhahir Al-Quran
e. Zhahir Hadis
2. Dalil mufham
a. Mufham Al-Quran
b. Mufham Hadis
3. Pebuatan dan taqrir nabi
4. Qiyas
5. Bara’ah ashaliyah
Kalau iamenghadapi dalil dalil yang berlawanan, hendaknya ditermpuh bebrapa alternatif berikut :
a. memadukan/mengkomproikan dalil dalil tersebut
b. mentarjihkanb (menguatkan salah satunya)
c. menashkan yaitu dicari mana yang lebih dulul dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak berlaku lagi)
d. Tawaqquf, ia tidak boleh menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut
e. Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya

B. Ijma

C. Qiyas

D. Ittiba’
Menurut bahasa ittiba’ berarti mengikuti
Menurut pengertian syara ittiba’yaitu : menerima atai mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan, sebagaimana Firman allah :




Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yanbg mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An Nahl :43)
Maksud ayat tersebut diatas yakni, tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari al-Quran dan hadis dan bukan dari pendapat mereka semata mata/. Dzikr dalam ayat diatas maksudnya adalah al-Quran dan hadis. Dengan demikian yang dimaksud Ali Dzikr dalam ayat diatas yaitu Ahli Quran dan ahli Hadis. Apabila mereka ditanya tentang sesuatu masalah hukum, maka jawalah : Alah menetapkan begini, atau dalam hadis disebutklan begitu, dan sebaginya.
a. Taklid
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya.
Kalau kita teliti dari kurang 90 % umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadis tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri orang orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan mejadi berkurang karena mau tidak mau orang orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dengan keadan terpaksa
Firman Allah :


Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, oenglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (Al-Isra ayat 36)
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat syarat orang yang ditaklidi, indetitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasululloh saw karena itu haram hukumnya taklid kepada orang yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui indetitas serta keahliannya dalam agama.

Syarat syarat taklid
1. Syarat orang yang bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanssup mencari sediri hukum syari’ah. Amak ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal hal lain (soal soal ibadat), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya

2. syarat syarat masalah yang ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu :
· hukum akal
· Hukum Syara’
Taklid dalam masala hukum akal
Dalam masalah hukum akan tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti mngetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat sifatnya.hal ini karena jalan untuk menetapkan hukum hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal. Karea itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid soal soal tersebut dengan firman Nya :





Artinya : Apabila dikatan mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah mereka terjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapt dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (Al-Baqoroh 170)
Taklid dalam masalah hukum syara’
Hukum syara’ dibagi dua yaitu:
a. yang diketahui dengan pasti dari agama, seperti wajibnya shalat lima waktu, puas, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam soal soal diatas tersebut tudak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya
b. yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal soal ibadahnya yang kecil kecil dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat para Imam yang empat dan Ulama lainnya :
1. Imam Abu Hanifah berkata : Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
2. Imam Malik berkata : saya hanya manusia biasa yang kadang kadang salah dan kadang kadang benar, selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-quran dan Al-Hadis maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan
3. Imam Syafi’I berkata : Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alaan) seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
4. Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atu Auza’I tetapi ambillah dari mana mereka mengambil
5. Ibnu Ma’sud berkata : kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Imam maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.
E. Ta’adul, Tarjih, dan Tafliq
Pengetian Ta’adul, Tarjih danm Talfiq
Yang dimaksud dengan Ta’adul yaitu : mengadakan perbandingan diantara dua masalah yang mempunya alasan sama kuat, sehingga hukum tersebut sama sama ditunjang oleh dalil (alasan) yang sama kuatnya.
Tarjih yaitu : menguatkan suatu alasan hukum atas hukum yang lain disebabkan terdapatnya alasan alasan yang lebih meyakinkan atau terdapat aspek aspek lain yang menunjang. Hal ini dimaksudkan agar hukum syari’ah yang berdasarkan dalil dalil zhani, bila terdapat perlawanan diantara dalil dalil tersebut, ketidak jelasan, ataupun terdapat aspek aspek lain yang memungkinkan diperjelas salh satunya, makaperlu ditarjihkan sehingga dalil atau alasan yang kuat itulah yang kita pegangi.
Adapun Tarjih ini dasarnya sebagai berikut :
a. Ijma sahabat dalam melaksanakan tarjih. Mereka memakai hadis yang diriwayatkan Aisyah yang mnerangkan wajibnya mandi karena bertemu dua kelamin laki laki dan perempuan dan mereka meningga;kan hadis yang menerangkan bahwa Air itu hanya karena air (maksudnya wajibnya mandi itu bila terjadi persetubuhan yang mengeluarkan air mani ). Yang ditarjihkan oleh para sahabat adalah hadis aisyah yang menerangkan bahwa persetubuhan anatar laki laki dan perempuan itu mewajibkan mandi walaupun tidak keluar air mani.
b. Kalau ada dugaan yang berlawanankemudian salah satunya lebih kuat maka dengan memakai dugaan yang lebih kuat itu menjadika kita ragu ragu menurut adat kebiasaan. Demikian pula dalam hukum hukum syari’ah kalau kita tidak mamakai yang lebih kuat tentu kita memakai yang lemah. Sedangkang pemakaian yang lemah dengan meninggalkan yang kuat tidak dapat diterima akal
Syarat syarat tarjih
dalil dalil yang berlawan itu setingkat atau sebanding kekuatannya sepereto al-Quran dengan al-quran, al-Quran dengan Hadis mutawattir, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis ahad dengan hadis ahad. Kalau tidak sama/sebanding kekuataanya seperti al-Quran dengan ahad maka tidak perlua da tarjih lagi sebab yang lebih kuat sudah tentu Al-Quran dan inilah yang dipakai.
Sama hukumnya, dan bersatu pula dalam hal waktu, tempat, maudlu’ (subjek), mahmul (predikat) dan kseluruhan atau sebagian.
Kalau berbeda waktu misalnya, seperti : Jual beli sesudah adzan jum’at dilarang, diwaktu yang lain jual beli dibolehkan. Disini tidak ada perlawanan karea berbeda waktunya.
Macam Macam Tarjih
Macam tarjih adalahsesuai dengan macam perlawanan antara dalil dalil yang harus ditarjihkan menurut peneitian, macam macam perlawanan dalil dalil itu ada 10 macam yaitu :
· antara Al-Quran dengan Al-Quran
· Antara Al-Quran dengan Hadis
· Antara Al-Quran dengan Ijma’
· Antara Al-Quran dengan Qiyas
· Antara Hadis dengan Hadis
· Antara Hadis dengan Ijma’
· Antara Hadis dengan Qiyas
· Antara Ijma’dengan Ijma’
· Antara Ijma’ dan Qiyas
· Antara Qiyas dengan Qiyas
Yang akan dibicarakan disini hanyalah mengenai perlawanan antara hadis dengan Hadis. Perlawanan selebihnya boleh dikatakan tidak pernah terjadi.
Cara-cara mentarjih Hadis Hadis yang berlawanan
1. Tarjih mengingat Isnad
Mentarjih hadis mengingat Isnad, didahulukan hadis hadis sebagai berikut :
a. Yang banyak perawinya
b. Yang diriwawyatkan oleh orang orang besar (orang kenamaan) dari pada yang diriwayatkan oleh orang orang yang tidak kenamaan
c. Yang diriayatkan oleh orang orang Fiqih ( ahli Fiqh) dari pada yang meriwayatkan oleh orang orang yang tidak Fiqh.
d. Yang diriwayatkan oleh orang yang lebih dipercaya dan teliti
e. Yang diriwayatkan oleh orang yang langsung mengalami peritiwa (Shahibul qissah)
f. Yang diriwayatkan oleh orang yang langsung menerimanya
g. Yang diriwayatkan oleh orang yang banyak bergaul dengan Nabi
h. Yang diriwayatkan oleh orang yang kuat hafalannya dan tidak pelupa
i. Riwayat yang disebutkan sebabnya
j. Riwayat yang didengar berhadap harapan dari pada yang didengar dari belakang tirai
k. Hadi yang terdapat dalam kedua kitab Bukhari dan Muslim.

2. Tarjih mengingat matan
Dalam mentarjih hadis mengingat matan, didahulukan hadis sebagai berikut
a. Yang hakikat dari pada majaz
b. Yang menunjukan kepada maksud dari dua jalan dari pada yang hanya satu jalan
c. Yang mengandung isyarat kepada hukum dari pada yang tidak demikian
d. Yang memakai penjelasan dari pada yang tidak
e. Yang mengandung mafhum muwafaqah dari pada yang mengandung mafhum mukhalafah
f. Yang mengandung larangan dari pada yang mengandung suruhan

3. Tarjih mengingat madlul
Dalam mentarjih hadis mengingat madlul (maksud dan kandungan hadis, didahulukan hadis hadis berikut:
a. yang berisi hukum yang lebih ringan
b. yang menetapkanb hukum (musbit) dari pada yang meniadakannya (nifa)
c. yang berisi pembatalan hukum had (hukuman tertentu) dari pada yang menetapkannya
d. yang mendekati ihtihati (hati hati)
e. Yang menetapkan hukum asal usul bara’ah asliyah

4. Tarjih mengingat hal hal di luar hadis
Dalam mentarjihkan hadis menbgingat hal hal diluar hadis itu sendiri, didahulukan hadis hadis berikut :
b. hadis yang dikuatkan oleh dalil yang lain
c. hadis yang menyerupai zhahir Al-Quran
d. Hadis yang berupa perkataan dari pada yang berupa perbuatam, sebab dialah (petunjuk) perkataan lebih kuat dari pada dialah perbuatan
Adapun yang dimaksud dengan talfiq menurut Ushul Fiqih ialah mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai masdzhab atau pendapat yang berbeda.
Talfiq tidak diberankan dalam ajaran syari’at, yakni bila penggabungan pendapat mengakibatkan batalnya amal. Dan dibenarkan sepanjang tidak membatalkan amaliah. Demikian pula perpindahan madzhab dalam masalah yang berbeda pendapat, dibenarkan.

F. Fatwa
Hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Islam senangtiasa memenetapkan ketentuan dan kepastian hukum yang dapat digunakan untuk kepentingan Islam di segenap waktu dan tempat.
Para fuqoha berkewajiban memberikan nasihat, pendapat tentang suatu masalah, baik diminta maupun tidak diminta, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk dakwah dan amar ma’ruf nahyil munkar. Landasannya adalah Q.S. An-Nahl ayat 43 “tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui”. Dan secara logis dipahami bahwa setiap masalah wajib ada ketentuan hukumnya.
Setiap orang berhak menerima fatwa dari orang yang berkomepeten dalam bidangnya.

G. Tujuan Umum dari Penetapan hukum
Mengetahui dan memahami tujuan umum tentang ditetapkannya hukum hukum syara’ merupakan masalah yang sangat penting. Hal ini agar kita tidak mengalami kekeliruan dalam mamehami nash nash hukum, dan juga agar dapat menetapkan hukum dalam masalah masalah yang belum terdapat nashnya sesuai dengan prinsip prinsip yang terdapat dalam hukum, Islam.
Adapun maksud pokok dari pencipta hukum (Allah swt) dalam menetapkan hukum hukum Nya yaitu :



Artinya :
Mewujudkan kemaslahatan atau kesejahteraan manusia dalam kehidupan mereka, dengan jalan mendatangkan hal hal yang bermanfaat bagi mereka dan menghindarkan hal hal yang merugikan mereka.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka Allah Swt menetapkan berbagai macam hukum yang menyangkut segala kebutuhan dan kepentingan manusia yang terdiri dari tiga macam, yaitu :
1. Dlarury (hal hal yang mesti ada, yang sifatnya merupakan kebutuhan pokok)
2. Haajy (hal hal yang diperlukan yang sifatnya merupakan kebutuhan penting).
3. Tahsiny (halhal yang lebih baik adanya, yang sifatnya merupakan kebutuhan pelengkap)
Kebutuhan manusia terhadap masalah duniawi tidak terlepas dari ketiga hal tersebut di atas, yang kebutuhan pokok, kebutuhan penting, dan kebutuhan yang sifatnya perlengkapan. Sebagai contoh : kebutuhan pokok manusia terhadap tempat tinggal (rumah) adalah adanya suatu tempat yang dapat memelihara diri dari kehujanan dan kepanasan, jadi kalau seseorang membangun rumah dengan mendirikan tiang tiangnya, memasang atap dan dingdingnya, ini sebenarnya sedah cukup hanya sampai disitu, tapi dibuatnya pintu pintu dan jendela jendela yang bisa dibuka dan ditutup sesuai dengan keperluan ini merupakan kebutukan penting. Lebih lanjut rumah tadi lebih diperindah lagi dengan dicat, dan lain lain. Ini adalah merupakan kebutuhan pelengkap terhadap rumah yang dibangunnya. Demikian pula hal ini berlaku dalam masalah makanan, pakaian, dan lain lain.
Allah swt menetapkan berbagai macam hukum baik dalam masalah ibadat muamalat maupun uqubat (hukuman) tujuan pokoknya tidak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dan kemaslahatan manusia hanya akan terwujud bilamana telah terpenuhi kebutuhannya yang bersifat pokok, penting dan perlengkapan termasuk dalam hal kebutuhan mereka terhadap hukum
1. Hukum hukum yang ditetakan Allah yang bersifat dlarury (pokok)
Hukum hukum yang bersifat dlarury yaitu hukum hukum yang sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya dan mesti adanya sehingga kalau hukum hukum yang bersifat dlarury itu tidak ada, maka akan kacaulah kehidupan manusia ini.
Hukum hukum yang bersifat dlarury ini berprinsip kepada menjaga serta melindungi 5 (lima) hal yaitu :
1. memelihara / melindungi agama
2. memelihara / melindungi jiwa
3. memelihara / melindungi akal
4. memelihara / melindungi kehormatan
5. memelihara / melindungi harta
Yang dimaksud dengan agama disini yaitu ketentuan ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia sesamanya
Untuk melindungi dan memelihara agama ini Hukum Islam menetapkan adanya kewajiban beriman kepada Allah Pencipta Alam Semesta, kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lima yaitu : mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan menunaikan Haji ke Baitullah, dan lain lain ibadat yang bersifat pokok.
Untuk melindungi jiwa manusia yang sangat berharga, hukum Islam menetapkan haramnya membunuh seseorang yang tidak berdosa (tidak halal darahnya), diharamkannya bunuh diri, ditetapkannya hukum qishash, diyat dan kifarat dalam pembunuhan. Juga untuk mengembangkan keturunan manusia, Islam menetapkan adanya syari’ah nikah dengan syarat syarat serta rukun rukun tertentu.
Untuk melindungi dan memelihara akal manusia, hukum Islam menetapkan haramnya minum khamr dan setiap minuman yang memabukkan, juga menghukum orang yang meminumnya.
Untuk memelihara dan melindungi kehormatan manusia Hukum Islam menetapkan haramnya perbuatan zina dan orang yang menuduh zina tanpa keterangan yang benar.
Untuk melindungi harta manusia, hukum Islam menetapkan haramnya perbuatan mencuri harta orang lain, juga menghukum orang/pelaku pencurian tersebut diharamkannya setiap perbuatan korupsi dan manipulasi serta diharamkannya setiap perbuatan untuk mendapatkan dan memakan harta orang dengan jalan yang batil

2. Hukum hukum yang ditetapkan Allah yang bersifat Haajy (penting)
Hukum hukum yang bersifat haajy (penting) yaitu hukum hukum yang bertujuan untuk melaksanakan hukum. Bila hukum hukum yang besifat haajy (penting) ini tidak ada, maka timbul kesulitan dan keberatan dalam melaksanakan hukum.
Contoh : Dalam masalah ibadah, hukum Islam menetapkan adanya berbagai rukhshah (keringanan) bagi mukallaf dalam melaksanakan hukum, seperti : dibolehkannya mengqashar salat bagi orang yang berpergian, dibolehkannya bertayammum dalam keadaan tidak ada air untuk berwudlu dan lain lain.
Dalam hal mu’malat hukum Islam menetapkan dibolehkannya melakukan berbagai macam akad dan transaksi seperti jual beli, sewa-menyewa, syirkah, dan lain lain
Dalam hal hukum, hukum Islam menetapkan adanya hak orang yang membunuh adanya ketentuan Diyat (denda) sebagai keringanan bagi orang yang melakukan pembunuhan tanpa sengaja dan lain lain.
3. Hukum hukum yang ditetapkan Allah yang bersifat Tahsiniyah (pelengkap)
Hukum yang bersifat tahsaniyah yaitu hukum hukum yang bertujuan untuk mewujudkan apa yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang maupun masyarakat, menurut pertimbangan susila dan kesopanan.
Apabila hukum hukum yang bersifat tahsiny ini tidak ada maka tidak mengakibatkan kehidupan mansuai menjadi kacau sebagaimana kalau tudak ada hukum yang bersifat dlarury, juga tidak akan terasa berat dan sulit sebagaimana kalau tidak ada hukum yang bersufat haajy, hanya saja kehidupan manusia akan menjadi asing dn dibenci oleh akal dan tabi’at.
Contoh :Dalam masalah Ibadat, hukum Islam menetapkan adanya keharusan bersuci, menutup aurat, memakai pakaian yang paling bagus dan memakai wangi-wangian ke mesjid dan lain lain.
Dalam masalah mua’malat hukum Islam melarang menjual barang najis, membeli atau menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
Dalam masalah pidana ( jinayat) hukum Islam menetapkan bahwa dalam peperangan melawan kafir diharamkan membunuh anak-anak, wanita para pendeta agama.

H. Urutan Pengutamaan Hukum
Berlakunya hukum yang bersifat dlarury merupakan tujuan syari’ah yang paling peting, karena hilangnya hukum yang menyangkut hal hal yang dlarury ini akan mengakibatikan kesulitan baik bagi perorangan maupun masyarakat. Setelah itu hukum yang bersifat tahsiny, karena tidak adanya hukum ini akan menimbulkan hal hal yang dibenci dan akan semakin menjauhkan tercapainya kesempurnaan hidup manusia.
Berdasarkan urutan urutan hukum tersebut di atas, maka sesuatu hukum yang bersifat tahsiny tidak akan dijalankan kalau sekiranya akan meninggal hukum yang bersifat haajy, dan hukum yang bersifat haajy tidak pula akan dipertahankan apabila akan mengabaikan hukum yang bersifat dlarury sendiri.
Contoh contoh :
o Dibolehkan membuka aurat, kalau diperlukan untuk berobat. Menutup aurat termasuk hukum tahsiny, sedangkan keharusan berobat untuk memelihara jiwa adalah hukum dlarury. Karena itu dalam hal ini hukum tahsiny ditinggalkan karena mengutamakan hukum dlarury.
o Boleh menggunakan barang najis untuk berobat dan dalam keadaan darurat. Laragan menggunakan barang najis termasuk hukum tahsiny, sedangkan perintah menolak bahaya dan berobat termasuk hukum dlarury,
o Kewajiban kewajiban agama harus dijalankan, meskipun membawa kesulitan kesulitan oleh karena menjalankan kesulitan termasuk dlarury, sedangkan menghindari kesulitan termasuk haajy, maka hukum haajy tidak perlu dijalankan kalau akan mengabaikan hukum dalalury.
Selanjutnya hukum hukum yang berhubungan dengan masalah dlarury tidak boleh ditinggalkan, kecuali kalau akan mengabaikan hukum dlarury lainnya yang lebih penting dari padanya. Dalam hal ini hukum dlarury lainnya yang lebih penting dari padanya. Hukum dlarury yang lebih rendah tingkatannya boleh ditinggalkan. Contoh-contoh :
o Berperang adalah wajib, meskipun bisa membawa kematian. Hal ini karena memelihara agama lebih penting dari pada memelihara jiwa
o Mengunakan narkotika untuk penngobatan orang sakit dibolehkan. Hal ini karena menjaga keselamatan jiwa lebih penting dari pada memelihara akal.

Manusia memikul amanat Tuhan untuk bertaqwa dan beribadah kepada Nya dengan melaksanakan segala perintahnya serta menjauhkan segala larangann-Nya.
Agar manusia dapat melaksanakan tugas suci dan mulia ini dengan sebaik baiknya, maka Allah memberikan anugerah kepada manusia unsur unsur potensial yang berupa akal sebagai alat dan pusat daya cipta dengan menumbuhkan kemampuan penalaran dan pemikiran, kalbu sebagai alat dan pusat daya rasa, dan karsa yang memperhalus dan mempelajari perasaan serta memperlurus dan memperkokoh kemampuan kehendak atau kemauan, juga indera dan anggota badan sebagai alat dan pusat daya karya dengan mengembangkan kekuatan fisik serta kemampuan berkarnya.
Dengan membina dan membangun kemampuan daya cipta, daya rasa, daya karya, anugerah Tuhan yang sangat tinggi nilainya ini secara terarah dan terpadu, maka terwujudlah pembangunan manusia seutuhnya, yang mencakup segi lahir maupun batin, fisik materil maupun mental spiritual
Peningkatan kemampuan daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya haruslah seimbang dan berkesenambungan, misalnya hanya mengutamakan penalaran dan pemikiran semata , sebab dengan demikian berarti hanya membangun manusia sebahagiannya, yakni hanya membangun kepala manusia tanpa badan dan tanpa anggota.
Menurut syari’ah kemampuan daya cipta, daya karsa, dan daya karya tersebut wajib dimanfaatkan semaksimalnya untuk kemaslahatan hidup, kehidupan penghidupan manusia beserta lingkungannya agar memperoleh ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akherat.
Manusia bertanggung jawab terhadap Allah tentang pendayagunaan potensi akal, kalbu dan fisiknya itu.
Pengamalan syari’ah di muka bumi adalah kewajiban manusia yang beriman, dan hal ini akan dipertanggungjawabkan ke hadirat Allah swt.
Orang yang beriman tiap kali mengucapkan kalimat syahadat berarti mengikatkan diri dan berjanji untuk tetap beriman, taat, patuh, takwa kepada Allah dan penuh rasa tanggung jawab dalam menjalankan syari’ah.
Ayat ayat yang bertalian dengan janji itu, antara lain :
1. Firman Allah :








Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu ) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji dan pewrbuatan musuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamuberjanji dam janganlah kamu membatalkan sumpah sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi mu terhadap sumpah sumpah itu) sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (An-Nahl 90-91)
Firman Allah


Artinya : Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya (Al – Isra : 34)

Syari’ah
Syari’ah ialah peraturan Allah bagi manusia yang disampaikan melalui rasul rasul Nya berupa ketentuan ketentuan hukum, baik yang bersifat I’tiqadiyah (Akidah), Khlulqiyah (Akhlak) maupun Amaliyah (Amal perbuatan).
Ketentuan ketentuan yang bersifat akidah dibahas dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuludin atau Ilmu Tasawuf sedangkan yang bersifat amal dibahas dalam Ilmu Fiqih atau Ilmu Syari’ah atau Ilmu Hukum Islam.
Secara luas, Syari;ah meliputi hukum tentang akidah, hukum tentang akhlak, serta hukum tentang amal. Tetapi secara sempit, syari’ah lazim dipakai untuk maksud hukum yang bertalian dengan amal perbuatan saja.
Syari’ah atau disebut juga Fiqih Islam ialah hukum yang mengatur tentang bagaimana semestinya seorang manusia itu bersikap, bertutur kata, bertingkah laku, bertindak tanfuk serta berbuat terhadap Allah, terhadap dirinya maupun terhadap sesama makhluk, baik manusia maupun selain manusia, yakni alam sekitar berupa benda, tumbuh tumbuhan maupun binatang.
Materi syari’ah meliputi enam komponen atau sub sistem yaitu Hukum Ibadat (peribadatan), hukum Muamalat (pergaulan atau hubungan kerja), muhkamat (perkawinan), muwaratsat (perwarisan) Jinayat (Pidana) dan siyasat (kenegaraan).
Semua ketentuan ketentuan Allah tentang berbagai bidang hukum tersebut harus dapat dilaksnakan oleh subyek hukum, yakni manusia yang lazim disebut istilah mukallaf (orang yang dibebani taklif atau beban hukum).
Di dalam kedaulatan rakyat ada “kedaulatan Allah swt”. Keutamaannya adalah berdasarkan keinsafan bahwa dialah yang paling agung karena langsung bersumber kepada Allah yang telah berkenan mempercayakan kepada manusia tugas dan tanggung jawab ikut serta memelihara keselamatan di atas bumi (QS. 2:30;6 : 165)
Jelas bahwa syahadat Islami mengandung tugas yang sangat mulia, suatu kewajiban yang mesti dilakukan karena Allah dan untuk Allah demi keselamatan makhluk Nya dibumi ini. Karena itu hendaklah dipahamkan bahwa menjalankan amanah Allah itu wajib dilakukan dengan penuh dedikasi tanpa pamrih.



BAB II
DASAR-DASAR FIQIH ISLAM
A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menanggap baik terhadap sesuatu. Istihsan menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah meninggalkan qiyas jali (Qiyas yang nyata) untuk berpindah kepada qiyas khafi (Qiyas yang samar-samar) atau meninggalkan hukum kuli untuk berpindah kepada hukum juz’I atau hukum istisna’I (pengecualian) disebabkan terdapat dalil yang membenarkan kepindahan menurut logika.
Jika seseorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa tetapi tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, maka seorang mujtahi ini menggunakan Qiyas untuk mengetahui hukum tentang peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya. Di dalam menetapkan hukum menurut istihsan ialah menggunakan Qiyas yang samar-samar dengan meninggalkan qiyas yang nyata. Demikian juga seorang mujtahid menemukan satu peristiwa, ia dalam menetapkan hukum itu menggunakan ddalil ististnai dan meninggalkan dalil yang bersifat kuli. Kedua cara yang ditempuh oleh mujtahid itu disebabkan karena terdapat kebaikan yang dapat diterima oleh logika.
2. Macam-macam Istihsan
Berdasarkan pengertian Istihsan menurut syara’, berarti istihsan dapat dibagi menjadi dua bagian :
a. Istihsan yang mengutamakan qiyas khafi dar pada qiyas jali. Contoh :
1) Apabila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka menurut qiyas hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan lorong-lorong di ats tanah tersebut tidak termasuk yang diwaqafkannya jika tidak disebutkan pada waktu penyerahan tanah waqaf itu, Menurut istihsan jika seseorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan hal-hal yang ebrkaitan dengan tanah itu termasuk di dalam pengertian waqaf secara langsung. Adapun segi istihdannya ialah bahwa tujuan berwaqaf itu ialah untuk memberikan manfa’at sesuatu benda yang diwaqafkan kepada yang diberi waqaf.
2) Sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti burung rajawali burung elang dan sebagainya menurut istihsan adalah suci, jika sisa minuman dari burung-burung yang diharamkan dagingnya adalah najis karena diqiyaskan dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas seperti singa, harimau, serigala dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena hukum sisa minuman dari binatang-binatang buas itu mengkuti kepada hukum dagingnya yaitu haram sehingga minuman sisa binatang-binatang itu menjadi najis
Dalam hal ini seorang mujtahid tidak menggunakan qiyas jalli yaitu qiyas sisa munuman burung-burung buas kepada sisa minuman binatang buas; tetapi berpindah kepada qiyas khafi yaitu mengkiyaskan paru burung-burung buas itu dengan tulang. Tulang jika menjadi air, maka air yang terkena tulang itu tidak menjadi najis. Demikian juga air sisa burung-burung buas itu meminumnya melalui paruh yang dapat diqiyaskan dengan tulang.
b. Meninggalkan hukum kulli untuk beralih kepada hukum istihsan. Contoh :
1) Menurut hukum kulli (prinsip secara umum), syara’ melarang memeperjualbelikan barang-barang yang belum yang belum ada pada saat aqad terjadi. Tetapi menurtu hukum ististanai menjalankan salam (jual beli dengan pembayaran terlebih dahulu tetapi benda yang dijual belikan dikirim kemudian) menurut istihsan diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena ada sesuatu yang dianggap membawa kebaikan dalam kehidupan. Hukum kulli menetapkan tidak sah menjalankan jual beli dengan cara salam, tetapi menurut hukum istitsnai jual beli secara salam ini dibenarkan menurut istihsan.
2) Seseorang yang ditahan untuk membelanjakan hartanya karena pemboros menurut hukum kulli tidak sah menjalankan transaksi. Tetapi menurtu istihsan seseorang yang beramal sosial dari hartanya sendiri diperbolehkan karena terdapat kebaikan di dalam pelaksanaan beramal sosial daris eseorang yang ditahan untuk mentasharufkan hartanya karena pemboros.
3. Kehujjahan Istihsan
Pada dasarnya istihsan ini tidak berdiri sendiri sebagai sumber hukum tetapi termasuk di dakam qiyas, atau merupakan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli. Hal ini disebabkan karena mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Para ulama yang berpegang kepada istihsan sebagai sumber hukum kebanyakan alasan sebagai berikut : Menetapkan dalil dengan istihsan sebenarnya adalah penggunaan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jali atau mengecualikan suatu hukum dari hukum kulli karena kedua usaha ini mengandung masalahp-masalah dan usaha menetapkan dali dengan dua cara seperti ini adalah termasuk usaha yang shahih. Selain usaha-usaha Hafiyah maupun fuqoha Malikiyah baru memakai dalil istihsan apabila penerapan hukum berdasarkan qiyas jali itu mengakibatkan kejanggalan dan ketidakadilan. Menurut Imam Syafi’I istihsan itu adalah berarti menetapkan suatu hukum syara’ menuurut kemauan hawa nafsu. Letak perbedaan antara ulam ayang pro dan ulama yang kontra terhadap istihsan ialah pemahamannya terhadap ungkapan istihsan sendiri. Bagi yang kontra terhadap istihsan menganggap bahwa istihsan itu adalah usaha untuk menetapkan hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata-mata didasarkan kepada hawa nafsunya. Padahal sebenarnya dimaksud dengan istihsan itu adalah sah untuk mendapatkan kemaslahatan dalam kehidupan.

B. ISTISHHAB
1. Pengertian Istishhab
Istishhab menurut bahasa artinya pengakuan terhadap hubungan pernikahan. Menurut istilah ulam Ushul Fiqih istishhab ialah menetapakan sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan tersebut. Atau menurut ibarat lain istishhab ialah menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa yang lalu secara abadi berdasarkan keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Contoh :
Amin menikahi Aminah secara sah. Setelah itu Amin meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian yang saha. Dalam keadaan Aminah ditinggalkan oleh suaminya ada seorang yang ingin menikahi Aminah bernama Ahmad. Keinginan Ahmad untuk menikahi Aminah tidak dapat dilangsungkan karena Aminah menurut status hukumnya adalah istri dari Amin. Selama tidak ada bukti bahwa Aminah telah dicerai oleh Amin maka status Aminah tetap sebagai istri Amin.
2. Macam-macam Istishhab
Istishhab ada dua macam yaitu :
a) Istishhab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau bara atul ahsliyah (kemurnian menurut aslinya). Contoh :
1) Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah hukumnya. Hal ini disebabkan karena Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini dapat dimanfa’atkan oleh seluruh manusia
2) Ketetapan tidak wajib menjalankan shalat fardh 5 kali dalam sehari semalam adalah berdasarkan istishhab kepada hukum akal dengan bara-atul ashliyah (bebas menurut aslinya). Hal ini disebbakan karena tidak ada dalil yang menetapkannya.
b) Istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil yang mengubahnya.
Contoh : Hukum-hukum yang diciptakan oleh syar’I berdasarkan sebab-sebab tertentu. Oleh karena itu apabila sebab-sebab itu dengan yakin maka tercipatalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. Dalam suatu contoh yang lebih nyata apabila ada seserang yang berwudlu, kemudian ragu apakah sudah bata atau belum, maka ia dihukum sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudlu berdasarkan istishhab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya. Pada umumnya orang Ushul Fiqih berpendapat bahwa istishhab merupakan tempat fatwa yang berakhir untuk mengetahui sesuatu berdasrkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yange mengubahnya. Hal ini merupakan metode di dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan manusia pada penetapan hukum mereka. Sebagai contoh serang yang bepergian dengan tisak diketahui kabar beritanya apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dan tidak diketahui pula tinggalnya, orang seperti ini secara hukum ia ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan keadaan semual sewaktu ia bepergian sampai ada bukti yang menunjukkan kematiannya.

C. MASHALIHUL MURSALAH
1. Pengertian Mashalihul Mursalah
Yang dimaksud dengan mashalihul mursalah ialah suatu kemaslahatan yang ditetapkan oleh syara’ dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkannya. Mashlahajh seperti ini disebut dengan mashalahat mutalak karena tidak terkait oleh dalil yang menyatakan benar atau salah. Adapun mashlahah yang ditetapkan oleh dalil syara’ disebut dngan mashlahah mu’tabarah. Contoh mashlahah mursalah ialah kemaslahatan yang dilaksnakan oleh para sahabat di dalam mengisyaratkan adanya penjara, dicetaknya mata uang, ditetapkanya pajak penghasilan dan kemaslahatan0kemaslahatan yang lain yang diadakan berdasarkan keperluan dalam kehidupan.
Adapun contoh mashlahah mu’tabarah uaitu mashlahah dalam pemeliharaan kehidupan ummat manusia berupa hukum qishas, hukum potong tanganbegi pencuri yang sudah sampai kepada nisab atau dara bagi orang yang zina dan hukum-hukum lain yang telah ditetapkan berdasarkan dalil nash. Sedangkan mashlahah yang tidak terdapat dalam nash-nash syara’ inilah yang disebut dengan mashlahah mursalah.
Contoh lain yang dapat dikemukakan ialah seseorang yang mengadakan transaksi jual beli untuk dinyatakan dengan tidak tercata, tidak dapat dipakai dasar untuk dinyatakan bahwa beli itu tidak sah berdasarkan kepada mashlahah.
2. Kehujjahn Mashlahah Mursalah
Jumbur ulama menetapkan bahwa mashalaha mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum berdasarkan alasan sebagai berikut
a. kemaslahatan manusia itu berkembang dan bertambah terus, mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan ini hanya mempedomani kepada kemaslahatan yang terdapat pada nash saja maka ada kemungkinan pada periose teertentu akan mengalami kekosongan hukum, dan dengan demikian hukum Islam tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan hukum Islam ialah untuk menciptakan kemaslahatan manusia pada semua tempat dan waktu.
b. Menurut penelitin bahwa hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang diproduksi oleh para sahabat tabi’in dan imam-imam mujtahid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Kalau sesudah periode itu tidak ada lagi prduk kemaslahatan maka keadaan umat setelah periode ini akan menemui kesulitan dalam menghadapi kehidupan.
3. Syrat-syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Untuk menjadikan mashlagag mursalah sebagai hujjah harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut :
a. Maslah tersebut haruslah mashahah yang haqiqi bukan hanya berdasarkan kepada perkiraan saja. Jadi masalah ini adalah mashlahah yang benar-benar dapa membawa manfaat dan dapat menolak kemudharatan.
b. Kemaslahatan itu hendaklah kemashlahatan yang umum bukan kemashlahatan yang khusus untuk seserang. Oleh karena itu kemashlahatan itu harus dimanfa’atkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemadharatan yang menimpa orang banyak.
c. Kemasghlahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang tekah digariskan oleh nash atau ijma’.

D. ‘URF (ADAT KEBIASAAN)
1. Pengertian ‘Urf
‘Urf (adat kebiasaan) adalah segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia dan telah dibiasakan oleh mereka dan dijalankan secara terus menerus baik berupa perkataan atau perbuatan. Sebab contoh ‘urf dalam bentuk perkataan mislanya perkataan w\”walad” (anak) menurut bahsa sehari-hari hanya termasuk dalam perkataan walad. Itu. Contoh yang lain perkataan “lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak termasuk daging ikan.
Se bagai contoh ‘urf yang berupa perbuatan (‘urf amali) seperti jual beli dengan cara pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas benda yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab qabul karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.
‘Urf berbeda dengan ijma’ karena ‘urf itu terjadi berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan mereka. Sedang ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari kalangan para mijtahidin. Dalam ijma’ ini orang-orang umum tidak ikut dalam pembentukan ijma’.
2. Macam-macam ‘Urf
‘Urf ada 2 macam, yaitu ‘urf shahih (benar) ‘urf fasid (rusak.
‘Urf shahih ialah ada kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan ada kebiasaan itu tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan yang wajib. Hal ini dapat dicontohkan seperti adat kebiasaan dalam dunia perdagangan dengan pembelian secara indent (Pembelian dengan cara memberikan pembayaran terlebih dahulu sedangkan benda yang dibeli akan dterima oleh pembeli dalam waktu kemudian). Adat kebiasaan shahih juga dapat dicontohkan seperti pembayaran mahar secara kontan atau hutang, kebiasaan seseorang melamar dengan memberikan sesuatu kepada pihak perempuan sebagai hadiah dan bukan sebagai mahar. Masih banyak adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
‘Urf fasid ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan adat kebiasaan itu bertentangan dengan syari’at, mungkin karena membawa kepada menghalakan yang haram atau membatalkan yang wajib. Ada kebiasaan ini dapat dicontohkan seperti mengandung unsur syirik atau kebiasaan-kebiasaan yang diiringi dengan minum-minuman yang haram, dan sebagainya.
3. Kedudukan ‘Urf
a. ‘urf shahih dipelihara oleh mujtahid, di dalam menciptakan hukum-hukum Islam dan oleh hakim dalam memtuskan perkara yang diajukan oleh masyarakat. Adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat merupakang kebutuhan dan menjadi mashlahat di kalangan masyarakat itu. Selama itu tidak bertentangan dengan syari’at hendaknya kebiasaan itu tetap dipeliharanya. Dalam halini para ulama ahli Ushul Fiqih mencipatakan kaidah yang berbuny (adat kebiasaan itu meupakan syar’at yang ditetapkan sebagai hukum).
b. ‘urf fasid tidak perlu diperhatikan dan dipertahamnkan karena mempertahankan ‘urf fasid berarti menentang dalil syara’ atau membatalkannya. Oleh sebab itu kebiasaan mengadakan transaksi jual beli mengandung riba atau kebiasaan lain menghalalkan transaksi itu. Hanya saja transaksi seperti itu dapat ditinjau dari segi lain yaitu misalnya transaksi semacam itu sangat dibutuhkan, atau dari segi darurat baru transaksi itu dibolehkan untuk mengerjakannya. Jadi transaksi jual beli yang mengandung riba dibolehkan karena alasan darurat bukan karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh orang banyak.

E. SYAR’U MAN QABLANA (Syari’at Sebelum Islam)
Apabila Al-Quran atau Hadits Shahih menerangkan tentang suatu hukum yang diisyaratkan oleh Allah SWT kepada ummat sebelum Islam, kemudian Al-Quran atau hadits tersebut menetapkan bahwa ulama sepakat bahwa hukum itu adalah merupakan syari’at bagi kita sebagai hukum yang harus diikuti. Hal ini dapat dicontohkan seperti kewajiban puasa yang diwajibkan bagi ummat sebelum Islam dan juga bagi kita selaku ummat Islam.
Allah SWT berfirman




Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al-Baqarah : 183)
Demikian juga jika Al-Quran atau Hadits shahih menerangkan tentang suatu hukum yang disyari’atkan bagi ummat terdahulu kemudian hukum itu disusul oleh dalil syara’ yang membatalkannya maka para ulama juga sepakat bahwa hukum itu bukanlah merupakan hukum syara’ bagi kita. Hal ini dapat dicontohkan seperti syari’at yang berlaku pada zaman Nabi Musa A.S., bahwa seserang berbuat maksiat tidak dapat diampuni dosanya kecuali ia membunuh dirinya. Demikian juga pakaian yang terkena najis tidak dapat disucikan kembali sebelum dipotong bagian yang terkena najis itu.
Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang dilakukan oleh ummat Nabi Musa AS antara lain ialah firman Allah SWT :


Artinya : dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.(Hud : 3)
Taubat menurut syari’at Islam harus memenuhi tiga syarat yaiu berhenti dari berbuat ma’siat, menyesali perbuatan ma’siat yang dikerjakan dan berniat tidak akan mengulangi lagi perbuatan ma’siat itu.
Adapun dalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang terkena najis bagi kamu Nabi Musa ialah Firman Allah SWT.

Artinya : dan pakaianmu bersihkanlah, (Al-Mudatsir : 4)
Hukum yang diterangkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak ada nash yang menunjukkan bahwa hal itu wajab bagi kita sebagaimana diwajibkan juga kepada mereka atau diperselisihkan oleh para ulama. Allah SWT berfirman sebagai berikut :







Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah : 32
Untuk selanjutnya Allah SWT berfirman :



Artinya : Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (Al-Maidah :45)
Dalam hal ini menurut kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syari’at yang ditetapkan untuk ummat Bani Israil juga berlaku bagi ummat Islam karena ayat ini tidak dinashahkan oleh dalil lain. Dengan demikian maka orang Islam yang membunuh kafir dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh perempuan harus dihukum qishas sebagaiman hukum yang berlaku bagi orang-orang Bani Israil. Menurut ayat ini bagi orang yang membunuh orang lain harus dibunuh juga, dengan tidak membedakan antara muslim dan kafir dan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayar’at yang berlaku untuk ummat terdahulu tidak berlaku bagi ummat Islam sekarang ini. Hal ini disebabkan karena syari’at yang berlaku bagi umat kita sekarang ini telah menashahk (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan bagi ummat sebelum kita, kecuali ada dalil yang menetapkan bahwa syari’at itu juga berlaku bagi kita.



F. SADDUDZ DZARAI’
1. Pengertian
Saddudz Dzarai’ ialah menutup pintu-pintu (melarang perkara-perkara) yang menurut dzhairnya adalah mubah tetapi perkara itu menjadi pendorong untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’.
2. Kedudukan Saddudz Dzarai’
Imam Malik menetapkan adanya Saddudz Dzarai’ sedang kebanyakan ulam ayang lain tidak menetapkannya. Menurut Imam Malik bahawa hal-hal yang mudah itu harus dilarang kalau memang benar-benar membuka jalan ke arah ma’siat. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal yang mudah itu tidak boleh dilarang karena hukum ashalnya ialah mubah. Adapun alasan bagi ulam ayang berpendapat melarang yang mubah yang akan membuka jalan kearah yang ma’siat ialah hadits sebagaimana berikut ini :


Artinya : “Tinggalkan apa yang meragukan padamu kepada yang tidak meragukan.” (HR. Tirmidzi)
Hadits lain menyatakan sebagai berikut :


Artinya : “Siapa yang berputar-putar di sekitar larangan-larangan Tuhan ia akan jautuh di dalamnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Agar seorang tidak terjatuh di dalam satu larangan hendakalah menjauhkan diri dari larangan itu.

G. MASDZHAB SHAHABI
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah perkataan para sahabat Nabi yang bukan berdasarkan kepada pemikiran semata-mata adalah menjadi hujjah bagi ummat Islam. Yang demikian karena apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohkan seperti perkataan Aisyah r.a. :



Artinya : “Kandungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih panjang bergesernya bayang-bayang benda yang ditancapkan dari dua tahun”. (HR Ad-Daruqthni)
Menurut keterangan Aisyah ra. Ini bahwa waktu mengandung maksimal adalah dua tahun tidak lebih sedikitpun. Pendapat ini tidaklah semata-mata hasil ijtihat atau pwnywlidikan yang dilakukan oleh Aisyah ra. Dengan demkikian keterangan ini adalah bersumber dari apa yang telah didengarnya dari Rasulullah SAW, meskipun secara lahiriyah pendapat ini diungkapkan oleh Aisyah ra.
Demikian juga perkataan shahabat yang lain adalah menjadi hujjah bagi orang Islam. Dalam hal ini disebabkan persesuaian antara para sahabat dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW. Pengetahuan para sahabat yang mendalam mengnai rahasias-rahasia syari’ah itu adalah menjadi bukti berdasarkan kepada dalil yang qoth’I dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohakan seperti keputusan khalifah Abu Bakar ra mengenai bveberapa orang nenek yang mewariskan bersama-sama mendapatkan seperenam harta peninggalan yang dibagikan kepada mereka secara merata. Dalam hal ini tidak seorang sahabat pun yang bereaksi keputusan Khalifah Abu Bakar ini.
Adapun perkataan para sahabat yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabt ini dapat dijadikan sebagai hujjah. Selanjutnya Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila aku tidak mendapat ketentuan dari kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku meninggalkan pendapat sahabat lain yang tidak kukehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat para sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain pendapat sahabat”. Perkataan Imam Abu Hanifah membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat. Dalam hal ini Imam Abu Hanfah tidak mengambil qiyas selama masih ada fatwa dari shahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang saja yang dikehendaki.
Imam Syafi’I tidak sependapat, jika pendapat salah seorang sahabat itu menjadi hujah. Imam Syafi’I membolehkan melawan pendat seluruh sahabat untuk berijtihad menteapkan pendapat para sahabat itu tidak lain adalah kumpulan ijtihan perorangan yang tidak luput dari kesalahan. Seorang sahabat dapat berpendapat berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain, maka para mujtahid setelah sahabatpun demikian juga halnya. Oleh sebab itu Imam Syafi’I berpendapat : “Menetapkan hukum atau memberi fatwa tidak boleh selain berdasarkan dengan dasar yang kuat yaitu Al-Kitab, Al-Hadits, pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan atau qiyas kepada salah satu yang telah disebutkan.

H. DILALAH IQTIRAN
1. Pengertian
Dilalah Iqtiran ialah apabila ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan yang lain karena kedua-duanya disebut bersama-sama dalam dalil itu juga. Iqtiran artinya bersama-sama (berbarengan).
2. Pendapat Ulama tentang Dilalah Iqtiran
Sebagian golongan Hafiyah dan sebagi golongan Syafi’iyah serta sebagian golongan Malikiyah menggunakan dilalah iqtiran menurut jumhur ulama mereka tidak membenarkan untuk menetapkan dilalah iqtiran yaitu bahwa kuda tidak wajib dizakati sebagaiman keledai juga tidak wajib dizakati. Kedua-duanya disebvutkan bersama-sama dalam satu ayat sebagaiman Firman Allah SWT berikut ini :




Artinya : dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (An-Nahl : 8)
Jika keledai tidak wajib dizakati maka kudapun tidak wajib dizakati juga. Dalam hal ini wau athaf menunjukkan bersekutu (berbarengan) tentu saja bersekutu di dalam hukumnya. Kalau yang satu wajib yang lainnya juga wajib. Bagi yang berpendapat bahwa dilalah iqtiran tidak dapat dijadikan sebagai hujjah bahwa dua hal yang hukumnya sama yang disebutkan secara berbarengan bukan karena dilalah iqtiran tapi semata-mata karena keduanya itu mempunyai ilalat yang sama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT sebagi berikut :


Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, (Al-Fath : 29)
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad SAW adalah Rasul Allah sedangkan orang-orang yang besertanya tidak ikut menjadi Rasul, mereka ini keras terhadap orang-orang kafir.




BAB V
KAIDAH-KAIDAH/POKOK-POKOK FIQIH ISLAM
A. AMAR DAN NAHI
1. Pengertian Amar
Amar menurut istilah ulama ahli Ushul Fiqih ialah perintah dari atasan kepada bawahannya. (dari Tuhan kepada manusia), tentang sesuatu perbuatan yang harus dilakukan.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa amar itu suatu perintah yang harus dilakukan oleh orang yang diperintah yang datangnya dari atas kepada bawahannya. Dalam hal ini perintah-perintah itu tercantum di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut pengertian ini perintah atau permintaaan sesuatu kepada sesamanya yang sederajat (iltimas) atau permintaan sesuatu dari bawahan kepada atasan (du’a) maka kedua-duanya itu tidak termasuk dalam lingkup amar.
2. Bentuk-bentuk Amar
a. Fi’il amar
Contoh :

Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku (Al-Baqoroh : 43)
b. Fi’il Mudhari’ yang didahulul oleh lam Amar
Contoh :



Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (Ali Imran : 104)
c. Isim Fi’il
Contoh :



Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (Al-Maidah : 105)
d. Jumalah khbariyah (kalimat berita) yang diartikan sebagi jumlah isyaiyah (kalimat yang mengandung tuntunan)
Contoh :


Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqoroh : 228)
Bentuk-bentuk amar selain yang dikemukakan pada uraian sebelumnya masih ada lagi bentuk amar yang lain.
Menurut kaidah yang asli bagi bentuk amar adalah utnuk mewajibkan sesuatu perintah yang terkandung di dalam amar itu. Tetapi jika ada suatu keterangan yang dapat mengalihkan lafadz amar itu dari arti wajib kepda arti yang lain maka bentuk amar itu dimaksudkan sebagaimana dikehendaki oleh qarinah (keterangan) tersebut. Dalam hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut :
1) Amar yang menunjukkan nad atau sunnat
Contoh :


Artinya : …. hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, …. (An-Nur : 33).
2) Amar yang menunjukkan Irsyada atau pengarahan
Contoh :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Al-Baqoroh : 282).
3) Amar yang menunjukkan Ibahah atau membolehkan
Contoh :

Artinya : ….dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (Al-Baqoroh : 187).
4) Amar yang menunjukkan Doa atau berdoa
Contoh :

Artinya : …"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
5) Amar yang menunjukkan ta’jiz taua memperlihatkan kelemahan lawan
Contoh :

Artinya :…. Maka buatlah satu surat (saja) semisal Al-Quran itu …. (Al-Baqoroh : 23).
6) Amar yang menunjukkan tahdi anacaman
Contoh :

Artinya : …. perbuatlah apa yang kamu kehendaki …. (Fushilat : 40)
7) Amar yang menunjukkan indzar atau menakut-nakuti
Contoh :


Artinya : Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka" (Ibrahim : 30).
8) Amar yang menunjukkan ikram atau menunjukkan penghormatan
Contoh :

Artinya : "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman" (Al-Hijr : 46)
9) Amar yang menunjukkan tskhir (merendahkan)
Contoh :

Artinya :jadilah kamu kera yang hina ( Al-Baqoroh : 65)
10) Amar yang menunjukkan ihanah (penghinaan)
Contoh :

Artinya : Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.(Ad-Dukhan : 49).
3. Nahi dan Larangan
a. Pengertian
Nahi ialah perintah meninggalkan suatu perbuatan dari atasan kepada bawahannya.
Yang dimaksud dengan larangan dari atasan kepada bawahannya ialah larangan dari Tuhan kepada manusia. Nahi dalam bahasa lain sering disebut dengan mencegah (al-mani’)
Pada dasarnya nahi itu menunjukkan kepada hukum haram sebagai ulam ada yang berpendapat bahwa nahi pada dasarnya menunjukkan makruh tetapi jika ada satu qarinah (keterangan) yang menunjukkan bahwa nahi itu bisa saja untuk menunjukkan selain hukum haram. Contoh nahi yang menunjukkan hukum haram :


Artinya : “Janaganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ini” (Al-Baqarah : 11)
Contoh yang lain dapat dikemukakan sebagai berikut :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (Ali Imran : 130).
Adapun bentuk-bentuk nahi yang menunjukkan hukum yang tidak haram antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
1) Nahi yang menunjukkan karahah (makruh)
Contoh :
ﻝﺒﻻﺍﻥﺎﻄﻋﺃﻲﻓﺍﻮﻠﺼﺘﻻﻮ
Artinya :janganlah kamu shalat di kandang unta (H.R. Ahmad dan Tabrani).
2) Nahi yang menunjukkan do’a (mendo’a)
Contoh :

Artinya : (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)."(Ali Imran : 8)
3) Nahi yang menunjukkan Irsyad (memberi petunjuk baik)
Contoh :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu (Al-Maidah : 101).
4) Nahi yang menunjukan tahqir (meremehkan)
Contoh :

Artinya : Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), (Al-Hijr : 88).
5) Nahi yang menunjukkan ta’yis (putus asa)
Contoh :

Artinya : Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.(At-Tahrim : 7).

B. MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
1. Mutlaq
a. Pengertian Muthlaq
Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti sebenarnya dengan tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain.
Jadi lafadz muthlaq ini masih dalam keadaannya yang asli tanpa batas-batasan dengan sesuatu lafadz. Hal ini dapat kita conohkan seperti lafadz “aidiyakum” pada surat An-Nisa 43 tentang tayamum sebagai berikut :


Artinya: …. kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu
Dalam ayat ini mengusap tangan dengan tidak dibatasi (diterangkan) sampai dimana. Oleh karena itu lafadz “aidiyakum” tidak dibatasi lafadz lain.
Contoh lafadz muthlaq yang lain ialah lafadz “rokobah” yang artinya budak, tercantum dalam surat Al-Mujadilah : 3


Artinya: …. maka wajib atasnya memerdekakan budak … (Al-Mujadalah : 3).
Lafadz “rokobah” pada ayat ini tidak dibatasi dengan lafadz lain, artinya dalam memerdekakan budak tidak diterangkan budak yang bagaimana yang penting adalah budak baik yang mukmin atau yang tidak mukmin.
b. Pengertian Muqayyad
Muqayyad ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya yang dibatasi oleh sesuatu batasan tertentu. Batasan yang membatasi lafadz muqayyad yaitu (Al-qoyid). Contoh lafadz muqayyad yaitu disebut Al-Qoyyid yang tercantum pada Surat Al-Maidah ayat 6 yang menerangkan tentang cara berwudlu sebagai berikut :


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, ….
Dalam ini lafadz “aidiyakum” dibatasi oleh lafadz “ilal marofiki” sehingga lafadz “aidiyakum” disebut dengan Al-Muqayyad. Contoh lain yaitu lafadz “rokobatim mu’minatin” pada surat An-Nisa ayat 92 sebagai berikut :


Artinya : Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min karena tersalah (handaklah) ia memerdekakan seorang hamba yang beriman … (An-Nisa : 92).
Menurut ayat ini lafadz rokobah disebut muqayyad karena dibatasi oleh lafadz mu’minatin, lafadz mu’minatin ini disebut qaid.
2. Ketentuan Muthlaq dan Muqayyad
Apabila ada suatu lafadz di suatu tempat disebutkan dengan lafadz muthlaq sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayad maka ada 4 macam ketentuan
Pertama, Kedua lafadz itu kedua-duanya mempunyai persamaan dalam sebab dan hukumnya mak yang muthlaq harus diikuti kepada yang muqayyad. Contoh :


Artinya: Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi … (Al-Maidah : 3).
Lafadz “damaa” (darah) yang diharamkan oleh surat Al-Maidah ayat 3 disebutkan dengan lafadz muthlaq. Kemudian di dalam suarat Al-An’am ayat 145 Allah SWT menerangkan bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang mengalir, sebagai firmannya berikut ini :

Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi (Al-An’am : 145).
Pada ayat ini lafadz “damaa” (darah) dibatas dengan lafadz masfuuhaa (mengalir). Sesuai dengan ketentuan di atas bahwa yang muthlaq diikuti kepada yang, muqayyad, maka yang dikehendaki dengan darah yang tercantum dalam suart Al-Maidah ayat 3 adalah darah yang mengalir sebagaimana tercantum dalam surat Al-An’am ayat 145. Kedua ayat ini mempunyai sebab yang sama yaitu keadaannya sama-sama berupa darah dan juga mempunyai hukum yang sama yaitu kedua-duanya hukumnya haram.
Kedua, perbedaan sebab tetapi persamaan hukum. Demikian ini yang muthlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad, contoh :


Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.(Al-Mujadilah : 3).
Ayat yang lain menjelaskan sebagai berikut :

Artinya: Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min karena tersalah (handaklah) ia memerdekakan seorang hamba yang beriman … (An-Nisa : 92).
Menurut surat Al-Mujadilah ayat 3 yang menjadi sebab untuk memerdekakan budak ialah orang yang bersumpah dzihir kemudian menarik kembali. Sedangkan pada suart An-Nisa ayat 92 yang menjadi sebab memerdekakn buadak ialah karena ayat ini mempunyai hukum yang sama-sama memerdekakan budak
Karena dua ayat ini sama-sama menyebutkan lafadz “roqobah” yang satu dengan lafadz muthlaq dan yang lain dengan lafadz muqayyad kedua-duanya mempunyai sebab yang berbeda dan hukum yang sama yaitu sama-sama memerdekakan budak, maka dalam hal ini yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad; yaitu orang yang melakukan sumpah dzihar hukumnya memerdekakan budak tidak perlu budak mikmin, sedangkan orang yang membunuh mukmin yang bersalah hukumnya adalah memerdekakn budak yang mukmin.
Ketiga, perbedaan dalam hukum dan sebab maka yang muthlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Contoh :

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (Al-Maidah : 38).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:


Keempat, hukumnya tidak sama tetapi sebab yang diapakai untuk menetapkan hukum adalah sama. Demikian yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap pada muqayyadnya. Contoh :


Artinya: … bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. (An-Nisa : 43).
Bandingkan dengan ayat tentang wudlu sebagai berikut :

Artinya: … maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai sikut…(Al-Maidah : 6)
Pada ayat tentang tayamum cara mengusap tangan tidak dibatasi dengan suatu keterangan, tetapi ayat yang menerangkan tentang wudlu, membasuh tangan dibatasi sampai siku. Dalam hal ini sebabnya berbeda yaitu yang satu karena wudlu dan yang satu lagi sebabnya adalah karena tayamum. Tetapi keduanya mempunyai hukum yang sama yaitu sama-sama membasuh/mengusap tangan. Maka dalam hal ini yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad. Jadi membasuh tangan dalam wudlu sampai siku tetapi mengusap tangan pada tayamum mestinya pergelangan tgangan. Tetapi dalam hal ini ulama-ulama Syafi’iayah dalam menetapkan mengusap tangan ketika tayamum sampai kepada siku karena ada hdits yang menyatakan sebagai berikut:
Artinya :“Tayamum itu dua kali sapuan. Sekali sapu untuk muka dan sekali sapu pada kedua tangan sampai dengan kedua siku”. (H.R. Ad-Daruquthni)
Ulama Hanfiyah, ulama Malikiyah dan Hanabilah mewajibkan menyapu anggta tayamum hanya sampai pergelangan tangan saja, tidak sampai siku, sesuai dengan ketentuan diatas. Adapun hadit tayamum yang menjelaskan bahwa menyapu tangan itu sampai suiku, oleh beliau dipadang bukan sebagai hadits yang shahih.
C. MANTUQ DAN MAFHUM
1. Pengertian Mantug dan Mafhum
a. Pengertian Mantuq
Mantuq ialah sesuatu hal yang hukum yang diterangkan oleh sesuatu lafadz menurut bunyi lafadz itu sendiri (menurtu ucapannya).
Apabila sesuatu hal atau sesuatu hukum diambil berdasarkan bunyi dari dalil itu mak yang demikian itu disebut muthlaq. Jadi menurut mathruqnya yang dimaksudkan adalah menurut apa adanya yang terdapat dalam dalil itu. Contoh :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janjimu
Bunyi tersebut dalam ayat ini menunjukkan bahwa menepati janji itu hukumnya wajib (menurut manthuqnya), maka menepati janji itu hukumnya wajib.
b. Pengertian Mafhum
Mafhum ialah suatu hal atau hukum yang diterangkan oleh suatu lafadz tidak menurut bunyi lafadaz itu sensiri tetapi menurut pemahaman atau menurut makna yang terkandung dalam lafadz itu. Contoh firman Allah SWT sebagai berikut :


Artinya: Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, (At-Thalaq : 6).
Ayat ini mengandung hukum yang tidak tertulis (menurut mafhumnya) ialah peremopuan yang dithalaq yang tidak hami itu tif\dak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya.
c. Pembagian Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
Yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah ialah mafhum yang apabila hukum yang tidak disebut dalam lafadz itu sesuai dengan yang disebutkan dalam lafadz tersebut (tidak berlawanan), Contoh :

Artinya: “Maka janganlah berkata cis kepada kedua orang tua….” (Al-Isra : 23).
Menurut ayat ini berkata cis kepada kedua orang tua hukumnya haram, maka menurut mafhumnya memukul orang tua hukumnya haram juga karena kedua-duanya mempunyai illat yang sama yaitu sama-sama menyakiti hati. Jika di dalam mafhum muwafaqoh yang tidak disebut dalam lafadz itu keadaannya lebih berat daripada yang disebut dalam lafadz yang demikian itu disebut dengan fahwal khitab. Hal ini dapat dicontohkan seperti memukul orang tua dibanding dengan berkata cis, seperti yang diterangkan sebelumnya. Jika yang disebut dalam lafadz keadaannya lebih ringan atau sama berat dari apa yang disebutkan dalam lafadz, maka yang demikian itu disebut lahnal khitab. Hal ini dapat dicontohkan dengan mengucapkann lafadz yang kasar kepada orang tua.
2. Mafhum Mukahlafah
Yang dimaksud dengan masfhum mukhalafah ialah apabila hukum yang tidak disebut lafadz itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam lafadz itu. Contoh :

Artinya: Maka deralah mereka sebanya 80 kali (An-Nur : 4).
Menurut mafhum mukhalafah dari ayat ini, mendera lebih dari 80 kali hukumnya adalah haram karena berlawanan dengan ketentuan yang terdapat dalam lafadz nash itu.
Berhujjah dengan mafhum mukhalafah hukumnya mubah. Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama memperbolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah kecuali mafhum mukhalafah. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa menyebutkan sesuatu sifat belum tentu berarti meniadakan sifat-sifat yang lain, tetapi harus ada dalil lain yang menunjukkan. Kita tidak boleh mengambil hukum kebalikan yang terdapat di dalam nash dengan begitu saja tanpa ada dalil yang menentukannya.
a) Macam-macam mafhum Mukhalafah
1) Mafhum Sifat
Mafhum Sifat ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat ’anhu melalui sifat yang terdapat da;am manthuq.
Contoh :
Artinya: “… ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki (An-Nisa : 25).
Pada ayat ini dikatakan bahwa bagi seorang muslim yang tidak cukup belajanya untuk mengawani wanita yang mukmin maka ia boleh mengawini budak wanita yang mukmin. Berarti menurut mafhumnya tidak boleh mengawini wanita yang bukan mukmin.
2) Mafhum Ghayah
Mafhum Ghayah ialah menetapkan lawan hukum bagi maskut ‘anhu dengan melalui ghaya (balasan)
Contoh :
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.(Al-Baqoroh : 230)
Menurut ayat ini maka mafhum mukhalafahnya ialah halal mengawini mantan istri yang sudah ditalak tiga jika mantan istri itu telah dikawini laki-laki lain dan telah dicerai sesudah dikumpulinya.
3) Mafhum Syarat
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi dengan satu syarat.
Contoh :
Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya An-Nisa : 4).

Menurut manthuq dari ayat ini, seorang suami dibolehkan memakan sebagian maskawin yang pernah diberikan kepada isterinya dengan syarat bahwa isteri tersebut menyerahkan dengan suka rela. Mafhum mukhalafahnya yaitu suami tidak diperkenankan memakan maskawin apabila isteri tidak menyerahkan.
4) Mafhum ‘Adad
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi dengan bilangan yang sudah tertentu. Contoh :


Artinya: maka siapa yang tidak puas maka wajib memberi makan 60 orang miskin (Al-Mujadilah : 4).
Menurut manthuq bahwa kafarat dzihir itu bila tidak dapat memerdekakan budak hendaknya diganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Mafhum mukhalafahnya ialah tidak boleh memberikan makan itu kepada orang miskin yang kurang dari 60 atau bahkan lebih dari 60 orang.
5) Mafhum Laqab
Yaitu menetapkan lawan hukum mashut ’anhu dari hukum manthuq dengan isim alam (nama orang), isim sofat (yang menunjukkan kualitas atau aktivitas) dan isim jains (nama untuk materi tertentu). Contoh firman Allah sebagai berikut :


Artinya: ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: wahai ayahku sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang (Yusuf : 4).
Menurut ayat ini hanya Yusuf saja yang disebutkannya. Mafhum mukhalafahnya ialah selain Yusuf tidak dapat dimasukkan ke dalam orang yang melapor kepada ayah Yusuf.
6) Mafhum Hashar
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dihasharkan (dikhususkan hanya untuknya). Contoh sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “Hanyalah hak wala’ itu bagi orang yang memerdekakannya” (HR. Bukhari).
Menurut dalil manthuq ini bahwa hak mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah merdeka hanya bagi tuan yang telah membebaskannya. Menurut mafhum mukhalafahnya ialah bahwa selain tuan yang telah membebaskannya tidak mempunyai gak untuk mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah dimerdekakan itu.


D. MUJMAL DAN MUBAYYAN
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal ialah lafadz yang belum jelas yang tidak dapat menyebutkan arti yang sesungguhnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Contohnya lafadz quru’ dalam ayat 228 surat Al-Baqarah sebagai berikut :


Artinya: Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri tiga kali quru’ (Al-Baqoroh : 228).
Lafadz quru’ ini masih mujmal (belum jelas), mungkin berarti suci dan mungkin juga berarti haidh. Dalam hal ini harus ada dalil lain yang menjelaskannya. Menurut Imam Syafi’I lafadz Quru’ berarti suci menurut Imam Abu Hanifah lafadz quru’ berarti haidh.
Lafadz mujmal ada 3 macam yaitu :
a. Lafadz musyatarakyang sulit ditentukan, contoh seperti lafadz qur’an.
b. Ma’na lafadz-lafadz yang menurut bahasa dipindah oleh syari’ kepada ma’na yang pantas untuk istilah syari’ah. Contoh lafadz shalat, zakat dan lain-lain adalah lafadz-lafadz yang dipindahkan oleh syari’ dari ma’na menurut bahasa, kepada ma’na yang khas dalam istilah syari’at.
c. Ma’na lafadz-lafadz yang menurut ma’na yang umum dipergunakan oleh syara’ untuk satu ma’na yang khusus. Contoh ma’na; lafadz Al-Quran menurut syari’ah artinya sama dengan qiamat.
Yang dimaksud dengan mubayyan ialah lafadz yang telah mempunyai arti yang jelas. Jadi lafadz ini sudah jelas artinya tidak perlu membutuhkan kepada penjelasan (bayan) Contoh :

Artinya: Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (Al-Baqoroh : 20)
Ayat ini sudah jelas bahwa Allah ialah Tuhan, yaitu Tuhan yang dipercayai oleh ummat Islam yang berhak disembah dan dimintai segala sesutu. Dalam hal ini sudah jelas bahwa Allah adalah dzat yang Maha Kuasa. Karena jelasnya ibarat ini maka tidak perlu adanya bayan atau penjelasan.
Sedangkan lafadz mujmal yang merupakan lafadz yang belum jelas maka lafadz ini memerlukan bayan atau penjelasan. Yang dimaksudkan dengan bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari keadaan yang musykil (sulita artinya) kepada arti yang jelas.
2. Macam-macam Bayan
a. Bayan dengan perkataan
Contoh firman Allah swt dalam hal puasa tamutu’ :
Ayat ini sebagai bayan terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai pengganti kurban bagi orang yang meninggalkan wajib (sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 166)
Artinya: Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa hajji dan tujuh hari bila kamu telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna (Al-Baqoroh : 196).
b. Bayan dengan perbuatan
Hal ini seperti yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW mengenai cara-cara mengerjakan shalat, melakukan haji dan sebagainya.
c. Bayan dengan tulisan (surat menyurat)
Hal ini dapat dicontohkan seperti surat Abu Bakar kepada Anas selalu panitia zakat di daerah Basharah yang berisi penjelasan Rasulullah tentang macam-macam binatang ternak yang wajib dizakatkan serta masing-masing nasibnya.
d. Bayan dengan isyarat
Hal ini dapat dicontohkan seperti tindakan Rasulullah Saw memegang sutra di tangan kanannya dan emas ditangan kirinya kemudian bersabda : “Sesungguhnya dua macam ini adalah haram bagi orang laki-laki dari ummatku”.
e. Bayan dengan meninggalkan perbuatan setelah beberapa kali perbuatan itu dikerjakannya.
Sebagai contoh Rasulullah Saw pernah menjalankan do’a qunut selama sebulan untuk mend’akan suatu kabilah Arab yangmasih hidup dab akhirnya beliau tidak menjalankan lagi.
f. Bayan dengan diam sesudah ada pertanyaan
Hal ini dapat dicontohkan ketika Rasulullah menerangkan kewajiban haji di muka umum kemidia ada salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun. Beliau dia tidak memberikan jawaban atas pertanya itu. Diamnya Rasul Allah itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu bukan setiap tahun.
g. Bayan dengan macam-macam taksish
Contoh tentang hal ini diberikan pada pembahasan tentang takhsish.

E. MURAIF DAN MUSTARAK
1. Pengertian Muradif dan Mustarak
Muaradif ialah beberapa lafadz yang banya mempunyai arti yang satu. Di dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan sinonim. Hal ini dapat dicontohkan lafadz ﺭﺳﺍ dan ﺙﻴﻠ artinya singa : lafadz ﺔﻂﻧﺣ dan ﺢﻣﻗ artinya gandum. Lafadz mustarak ialah lafadz tetapi mempunyai dua arti atau lebih yang sebenarnya arti-arti itu berbeda-beda. Seperti lafadz ﺀﺭﻗ artinya suci atau haidh.
Jika arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain merupakan arti majaz maka yang demikian ini tidak termasuk lafadz musytarak.
2. Hukum Lafadz Muradif
Perbedaan pendapat dalam lafadz muradif ini hanya pada lafadz Al-Quran dan dzikir-dzikir dalam shaalt atu dzikir-dzikir yang lain. Imam Malik berpendapat tidak boleh membaca takbir kecuali dengan lafadz Allahu Akbar. Imam Syafi’I juga berpendapat seperti pendapat Imam Malik. Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan lafadz yang sama artinya dengan Allahu Akbar seperti Allah A’dzam atau Allahu ’Ala atau Allahu Ajjal. Sebab perbedaan pendapat ini ialah apakah kita beribadah dengan lafadz dan ma’nanya atau cukup dengan ma’nanya saja.
3. Hukum Lafadz Musytarak
Apabila ada lafadz musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki ialah salah satu artinya, amka dengan sendirinya lafadz musytarak itu ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena tidak mingkin kita bisa beramal, kecuali dengan cara mengetahui maksud dari lafadz itu yang sebenarnya. Oleh karena itu tiap-tiap lafadz musytarak yang ada di dalam nash baik Al-Quran amaupun Hadits Nabi harus disertai dengan qarinag; qarinah qauliyah (perkataan) atau qarinah haliyah (keadaan/suasana). Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut :

Artinya: istri-istri yang diceraikan hendaklah berdiam diri tiga kali suci/haid
Lafadz quruin ini mempunyai dua arti yaitu haidh dan suci. Yang dikehendaki oleh ayat ini menurut pendapat Imam Syafi’I ialah suci. Keterangan tentang hal ini adalah sebagai berikut :
Arti quru’an semula ialah waktu yang tertentu. Waktu yang tertentu itu hanya terdapat dalam dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang kepada keadaan yang asal. Maka yang bergilirahn di dini tidak lain adalah datang bulan atau haidh, sebab suci adalah keadaan yang asal. Dari contoh ini dapat diketahui bahwa yang dimaksud lafadz musytarak di sini hanya salah satu artinya saja. Qarinah tentang ini adalah qarinah haliyah (keadaan).

F. DZAHIR DAN TA’WIL
1. Pengertian Dzahir dan Ta’wil
Yang dimaksud dengan dzahir ialah dalil yang dapat menerima ta’wil. Suatu dalil yang memungkinkan untuk dita’wil atau memerlukan ta’wil agar terdapat salah faham sehingga arti tadi bisa lebih sesuai maka dalil yang seperti ini disebut dengan lafadz dzahir. Contoh firman allah SWT sebagai berikut :


Artinya: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah (Al-Baqoroh : 88)
Lafadz dita’wil dengan dzat Allah itu sendiri. Jadi ungkapan maka Tuhan berarti Dzat Tuhan itu sendiri.
Yang dimaksud dengan ta’wil ialah membolehkan kalimat dari dzahirnya kepada arti lain inilah yang dianggap tepat.
2. Syarat-syarat Ta’wil
Ta’wil harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Ta’wil harus sesuai dengan kaidah-kaidah Bahsa dan sastra Arab
b. Ta’wil itu biasa dipergunakan sepanjang pengertian bahasa.
c. Ta’wil sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ yang berlaku.
d. Ta’wil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang ta’wilnya itu.
e. Jika ta’wil itu berdasarkan qiyas haruslah memakai qiyas yang jelas dan kuat.
3. Macam-macam Ta’wil
Ta’wil ada 2 macam yaitu ta’wil soal-soal pokok seperti soal-soal kepercayaan, sifat-sufat Tuhan dan Pokok-pokok agama. Ta’wil terhadap soal-soal pokok seperti ini diperselisihkan oleh para ulama. Contoh soal-soal Ushul dapat dikemukakan sebagai berikut :


Artinya: Tuhan yang maha pemurah yang bersemayam di atas Arasy (Thaha : 5)
Ayat ini disebutkan dengan ayat mutasyabih (ayat yang samar-samar). Menurut dzihir ayan ini Tuhan sama dengan makhluk karena ia bertempat tinggal yaitu di Arasy. Yang dimaksudkan dengan ayat ini tentulah dzahir dari ma’na yang terkandung di dalam ayat. Menurut ulama salaf ayat-ayat mutasybihat ini diserahkan pengertian yang sebenarnya kepada Allah Swt semata. Tapi menurut kalangan ulama tertentu agar ayat ini tidak menghawatirkan terhadap keimanan orang-orang yang masih lemah imaknnya maka ayat ini fita’wil. Istawa dita’wilkan dengan berkuasa. Dalam ayat lain “yadum” di ta’wil dengan “qudrah” (kekuasaan).
4. Ta’wil dalam soal-soal Furu’
Ta’wil ini yang telah disepakati oleh para ulama ahli Ushul Fiqh. Ulama Syafi’I membagi ta’wil ini kepada dua bagian yaitu ta’wil dekat dan ta’wil jauh. Yang dimaksud dengan ta’wil yang jauh ialah suatu ta’wil yang tidak dikandung oleh perkataannya. Ta’wil dekat ialah memindahkan suatu perkataan dari artinya yang lahir. Dengan demikian antara ta’wil dengan lafadz yang dita’wil masih ada hubungan.

G. NASIKH DAN MANSUKH
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Ungakapan nasikh menurut bahasa artinya sama dengan memndahkan atau membatalkan dan menghilangkan.
Nasikh menurut syara’ ialah penghapusan syar’I terhdap suatu hukum Islam dengan suatu dalil syar’I yang datang kemudian. Contoh penghapusan terhadap keharaman berziarah kubur dakan sabda Nabi SAW sebagai berikut :
Artinya : “Dahulu saya melarang kamu berziarah kubur, sekarang berjiarah ke kuburan karena hal itu dapat mengingatkan tentang keakhiratan (HR. Muslim dan Abu Daud).
Menurut hadits ini semula ziarah ke kubur itu hukumnya haram. Kemudian sekarang ini hukum berziarah ke kubur itu sudah dimansukh. Yang manasikh harmanya ziarah kubur adalah hadits nabi itu sendiri dengan sabdanya alaa “fuzuruhaa”. Hukum yang telah dihapuskan disebut dengan mansukh dan lafadz yang menghapuskan hukum itu disebut dengan naskh.
2. Dasar dan Hukum Naskh
a. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :



Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Baqoroh : 106).
b. Firman Allah ayat 101 surat An-Nahl sebagai berikut :



Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(An-Nahl : 101)
Perbedaan pendapat para ulama tentangayat-ayat tersebut yang mengisyaratkan adanya naskh dan perbedaan ayat ini membawa perbedaan pendapat tentang ada atau tidaknya naskh di dalam Al-Quran. Ada sebagian ulama yang mengingkari adanya naskh, dan sebagian besar ulama mengakui adanya naskh.
Adanya golongan ulama antara lain Imam Abu Muslim Al-Asfihani mengingkari adanya naskh dengan alasan sebagai berikut :
a. Pengertian “aayatan” dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sdan surat An-Nahl ayat 101 adalah syariat. Dengan demikian yang dimaksud dengan ayat yang dinaskh ialah syariat-syariat yang terdapat didalam kitab-kitab suci terdahulu yang terdapat pada kitab Taurat dan kitab injil seperti merayakan hari Sabtu sudah dihapus oleh Tuhan sebagai ma’na firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 06 dan surat an-Nahl ayat 101.
b. Lafadz naskh dalam surat Al-Baqarah ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101 artinya ialah memindahkan ayat dari lauh mahfudz ke seluruh kitab yang diturunkan kepada ummat manusia.
c. Ayat tersebut tidak menunjukkan kepastian adanya naskh, tetapi hanya menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya naskh
d. Jika sekiranya di dalam Al-Quran itu terdapat naskh maka ada sebagian hukum dari Al-Quran yang telah dibatalkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:



Artinya: Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (Fushilat : 41).
Sesuiai dengan ayat ini maka syari’at yang terkandung di dalam Al-Quran bersifat kekal tidak dapat dubah atau diganti. Oleh sebab itu hukum-hukum di dalam Al-Quran berlaku sepanjang masa.
Jumhur ulama menetapkan bahwa di dalam Al-Quran terdapat naskh (pembatalan hukum). Al-Quran yang dinaskh dengan Al-Quran dapat diterima dan memang benar-benar terjadi. Jumhur ulama memberikan arti “ayaatin” dalam surat Al-Baqarah ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101 serta ungkapan tabdil (penggantian) adalah sebagai berikut :
Para mufashirin memberikan pengertian :
Maksudnya ialah kami angkat ayat itu lalu kami turunkan lainnya. pengertian tersebut dikuatkan oleh atsar dari Ibnu Abi Hathib tentang firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 101 maksudnya adalah naskh dan mansukh. Dengan demikian maksud surat An-Nahl ayat 101 ialah ketika kami menaskh satu ayat di dalam kitab, kami gantikan dengan ayat yang lain, karena suatu hikmah yang terkandung di dalam naskh itu kami ketahui sendiri, orang lain selain kami tidak mengetahuinya kemudia orang-orang musyrik menuduh bahwa Muhammad berdusta karena Allah mengatakan Al-Quran yang ada disampinya itu diaku wahyu dari Allah.
Menurut akal, Allah ingin mengajarkan kepada manusia bahwa perubahan masa dan suasan menuntut adanya perubahan hukum. Suatu hukum yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada satu masa tertentu maka ditetapkan hukumnya. Kemudian keringan kepada hamab-Nya, lalu diubah hukum yang telah berlaku diganti dengan hukum yang baru.
Menurut jumhur ulama yang menetapkan adanya naskh di dalam Al-Quran ialah bahwa jumlah ayat yang dinaskh cukup banyak. Imam Ash Syuyuthi menghitung ayat yang dinaskh sebanyak 20 tempat. Menurut Prof. DR. Ahmad Shalagi jumlah ayat yang dinaskh kecil sekali dan ini untuk memberikan pelajaran kepada kita bahwa hukum dapat berubah dengan adanya perubahan keadaan dan suasana.
Menurut DR. Mushtafa Zaid bahwa ada 9 tempat naskh yaitu 4 tempat di antaranya naskh Al-Quran terdapat As-Sunnah dan 5 tempat merupakan naskh Al-Quran terhadap Al-Quran.
a. Naskh Sunnah dengan Al-Quran
1) Nas Qiblat Shalat
Hal ini diketahui Nabi Muhammad SAW beserta kaum muslimin sewaktu berada di Makkah ketika mereka mengerjakan shalat menghadap wajah mereka ke arah Baitul Maqdis, seperti yang dilakukan para Nabi sebelumnya. Ketika nabi Muhammad berada di Madinah pada suatu ketika beliau menengadah ke langit memohon turunnya wahyu kemudian turun ayat sebagai berikut :



Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqoroh : 144)
2) Menasikh kebebasan bicara ketika shalat
Pada awal Islam seseorang yang sedang menjalankan shalat tidak dilarang berbicara dengan sesama temannya. Kemudia turun firman Allah SWT :


Artinya: dan berdirilah shalat untuk Allah dengan khusyu (2:238)
Setelah turun ayat ini maka kebebasan bicara ketika orang mengerjakan shalat yang tadinya dibolehkan dihapus dan diganti dengan hukum haram.
3) Menaskh puasa Asyura
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah puasa diwajibkan pada ummat Islam pada awal mulanya ialah puasa Asyura. Kemudian puasa Asyura ini dinaskh dengan surat Al-Baqarah ayat 183.



4) Naskh tentang keharaman makan dan mencampuri isteri bagi orang-orang yang sedang berupuasa Ramashan yang tertidur pada sore hari sebelum berbuka puasa
Pada awal siyari’atkan Islam diantara ketentuan-ketentuan puasa ialah apabila seseorang berpuasa Ramadhan pada sore harinya ia tertidur sebelum berbuka ia diharamkan makan dan minum bahkan mencampuri isterinya. Hal ini dinaskh dengan ayat sebagai berikut :


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.(Al-Baqoroh : 187).
Dengan adanya ayat ini makan, minum, dan mencampuri isteri sesudah tidur belum berbuka puasa yang semula diharamkan dinaskh menjadi diperbolehkan.
b. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran
1) Naskh surat Al-Anfal ayat 65 dengan surat Al-Anfal ayat 66 :




Artinya: Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (Al-Anfal : 65)
Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT mewajibkan kepada pejuang mu’min agar tabah dalam menghadapi musuh dan haram melarikan diri dari kalangan musuh jika perbandingan antara mu’min dengan tentara kasif. 1 : 10. Ketentuan tersebut dinaskh oleh Allah SWT dengan memberikan keringanan perbandingan antara tentar mu’min dengan tentara kafir 1 : 2. Allah SWT berfirman :


Artinya: Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
2) Naskh surat Al-Muhadillah ayat 12 dengan surat Al-Mujadilah ayat 13
Pada waktu itu kaum muslimin banyak yang mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah sehingga beliau merasa berat menghadapi mereka. Untuk mengurangi beban beliau ini Allah SWT mewajibkan kepda orang-orang yang hendak bertanya kepada Nabi SAW supaya orang yang bertanya kepada Nabi tu mengeluarkan sedekah kepada fakir miskin. Allah SWT berfirman :





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Mujadilah : 12).
Setelah ayat ini turun maka para sahabat merasa enggan dan bahkan tidak ada yang berani bertanya kepada beliau sekalipun ada beberapa masalah yang sangat diperlukan jawabannya. Setelah itu turunlah ayat berikutnya yang membatalkan perintah mengeluarkan sedekah jika hendak bertanya kepada beliau. Allah SWT berfirman :





Artinya: Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Mujadilah : 13).
3) Menaskh surat An-Nisa ayat 43 dengan surat Al-Maidah ayat 90.
Di dalam surat An-Nisa ayat 43 Allah SWT berfirman :


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (An-Nisa : 43).
Surat ini memberikan isyarat bahwa khamar itu bila tidak sampai emnganggu peminumnya untuk melakukan shalat maka diperbolehkan. Kemudian turun ayat 90 surat Al-Maidah yang mengharamkan minum khamar secara total. Allah SWT berfirman :


Artinya Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(Al-maidah : 90).
4) Menaskh kewajiban shalat malam diaganti dengan hukum sunnat.
Allah Swt berfirman :


Artinya: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.Al-Muzzammil : 104).
Sebelum diwajibkan shalat fardhu, shalat malam adalah shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT. Kemudian turun ayat yang meringankan shalat malam yang semula merupakan kewajiban menjadi sunnat tathawu’. Allah SWT berfirman :






Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Muzammil : 20)
5) Naskh surat An-Nisa ayat 15 dan 16 dengan surat An-Nur ayat 2.
Allah SWT menetapkan hukum zina bagi orang laki-laki maupun perempuan sebagai berikut :
Pada surat An-Nisa ayat 16 Allah SWT berfirman :







Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (An-Nisa : 15-16)
Surat An-Nisa ayat 15 menerangkan bahwa hukuman bagi pezina wanita pada permulaan pembinaan hukum Islam adalah hukuman kurungan di dalam rumah sampai dia meninggal atau sampai ada ketentuan lain dari Allah SWT. Wanita pezina itu baik berstatus sebagai gadis atau janda.
Surat An-Nisa ayat 16 menerangkan bahwa hukuman bagi pezina laki-laki dan perempuan yaitu kurungan dan hukuman badan seperti yang tercantum dalam kedua ayat dalam surat An-Nisa itu. Hukuman itu kemudian dinaskh dan diganti dengan hukuman jilid (dera). Sebagaimana firman Alah dalam surat An-Nur ayat 2 sebagai berikut :





Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman (An-Nur : 2).