Senin, 19 Oktober 2009

Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Sekolah menengah atas (SMA/MA) merupakan institusi pendidikan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan memproduksi, mengkonstruksi dan merevitalisasi paradigma sumber daya manusia di lembaga pendidikan tersebut, diarahkan agar mereka memiliki perspektif kognisi, afeksi dan konasi yang baik di mata masyarakat sebagai bekal kehidupannya.
Sekolah menengah atas tidak saja dituntut segi-segi otentitasnya secara yuridis dan eksistensial agar legitimasinya diakui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai sebuah institusi yang capable mengelola dan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu, tetapi juga harus mampu mengkonstruktivitaskan institusinya secara moral dan manajerial agar ia dapat survive dan mampu menyediakan semua proses intelektualisasi produk yang dihasilkannya kepada masyarakat secara sistematis, kontinue dan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat tentang harapan dan cita-citanya mendapatkan manfaat belajar di sekolah.
Atas tuntutan itulah setiap orang pada akhirnya mendudukan sekolah sebagai sesuatu yang penting. Suatu cita-cita yang senantiasa terus dikejar oleh masyarakat untuk menapaki eksistensi kehidupannya dalam komunitas kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera. Dengan kata lain, sekolah menengah atas sampai hari ini merupakan jalan elementer bagi masyarakat dalam upaya menjadikannya sebagai perantara untuk memasuki perguruan tinggi dan sekaligus sebagai kaum elit – kelompok masyarakat yang memberikan pengaruh, dan daya dorong kuat sekaligus sebagai pemimpin ditengah suatu komunitas masyarakat. Apapun komunitasnya–apakah komunitas politik, ekonomi, sosial, budaya, profesi dan sebagainya.
Dalam realitas di masyarakat, banyak alumni sekolah tingkat atas (SMA/MA) yang melanjutkan ke perguruan tinggi, dan tidak sedikit yang langsung bekerja menjalankan fungsi sebagai agen pembaharu di masyarakat. Hal ini sejalan dengan arah tujuan sekolah menengah sebagaimana dirumuskan Depdiknas berikut ini.
Lulusan sekolah menengah atas dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi), disamping harus mampu menjalankan fungsinya sebagai agen pembaruan dalam masyarakat (agent of social change). Yakni Pemahaman dan pemikiran masyarakat yang terbuka dan cerdas dalam bidang apapun (politik, hukum, pendidikan, kesehatan, keagamaan) dan berbagai dimensi lain. Lulusan sekolah menengah atas juga diharapkan membawa pencerahan dan memberikan pengaruh bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat (Depdiknas, 2006 : 12).

Harapan yang begitu menggebu terhadap lulusan sekolah menengah atas cukup beralasan. Karena kalau bukan lulusan sekolah siapa lagi yang memberikan pencerahan, pembaruan, dan peningkatan taraf hidup mereka. Namun keinginan agar lulusan sekolah menengah atas berkualitas dan mampu melakukan yang terbaik, tenyata akhir-akhir ini tinggal harapan.
Mengapa? Selama ini kualitas lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA) pada skala nasional maupun daerah cukup mengkhawatirkan. Jumlah lulusan yang memiliki kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik kepada masyarakat cukup kecil. Inilah salah satu persoalan mendasar dalam praktek pengelolaan pendidikan di sekolah menengah atas. Pada akhirnya tidak salah apabila masyarakat sering memiliki pandangan miring kepada lulusan sekolah menengah atas. Masyarakat menemukan sebagian besar lulusan sekolah menengah atas tidak mampu menjalankan misinya sebagai orang yang terdidik, memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki nilai (values) yang menjadi identitas sebagai kaum terdidik. Dan dalam pandangan beberapa perguruan tinggi, lulusan sekolah menengah atas banyak yang belum siap belajar sebagai mahasiswa. Rendahnya values baik berupa nilai agama dan etika, juga telah memperparah keberadaan lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA) di mata masyarakat.
Berbagai pandangan miring yang dialamatkan kepada lulusan sekolah menengah atas (SMA/MA), tidaklah perlu dinegasikan secara defensif oleh institusi sekolah menengah atas. “Sebab hal tersebut adalah realitas yang harus disikapi dengan arif oleh para pemimpin sekolah menengah atas” (Abudin Nata, 2003 : 24). Selanjutnya Nata menjelaskan:
Stakeholders harus berfikir mengapa realitas ini terjadi. Oleh karena itu maka institusi sekolah menengah atas perlu mencari berbagai faktor determinan yang menentukan mengapa lulusannya sebagian besar sangat rendah kualitasnya. Bukankah, seseorang dikatakan lulus sekolah menengah atas apabila ia telah memenuhi standar akademik yang baik. Mengapa lulusan sekolah menengah atas belum mencerminkan suatu standar akademik, padahal mereka sudah mengikuti proses belajar, mengikuti ujian nasional. Mengapa mereka dinyatakan belum layak menjadi mahasiswa apalagi menjalankan misinya sebagai agen pembaruan masyarakat.

Banyak faktor penyebabnya. Ada yang berpandangan inputnya tidak baik, dananya terbatas, dan bahkan ada pula yang berpendapat regulasi pemerintah tidak memihak kepada peningkatan mutu akademik lulusan sekolah menengah atas. Faktor-faktor itu memang mempengaruhi output sekolah menengah atas dalam memproduksi sumber daya manusia. Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak murid yang tidak siap karena sebagian menderita kekurangan biaya, kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang tidak mendukung. Di samping itu, ada pula perilaku negatif peserta didik yang berdampak pada kesehatan dan proses belajar mengajar seperti perilaku merokok, penyalahgunaan narkoba, seks pra-nikah, dan kasus HIV/AIDS pada usia produktif (15—24 tahun) yang semakin meningkat.
Namun, dari kesemua faktor yang ada, kecenderungan faktor determinan yang menunjukkan rendahnya kualitas lulusan sekolah menengah atas kebanyakan justru terletak pada manajemen sekolah itu sendiri. Yaitu kemampuan mengelola sekolah secara integral dan menyeluruh dengan mengoptimalkan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki sekolah. Sebab fasilitas yang memadai tidaklah menjamin peningkatan kualitas jika kemampuan menata dan mengoptimalkan sumberdaya termasuk sumberdaya manusia belum dimiliki. Bila para pengelola lembaga pendidikan tingkat atas tidak menerapkan prinsip-prinsip manajemen peningkatan kualitas, maka keterpurukan pendidikan yang akan dicapai.
Rendahnya kualitas tenaga pendidikan dan kependidikan, serta lemahnya kompetensi manajerial para pemimpin sekolah menengah atas, secara tersirat telah disadari oleh pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional. Dalam renstra Depdiknas (2006 : 27) dijelaskan sebagai berikut.
Secara eksternal, komponen masukan pendidikan yang secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan meliputi (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya; (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal; (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran; dan (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif.

Dalam konteks yang demikian itulah maka manajemen sekolah menjadi landasan dasar bagi penataan dan perbaikan yang ditujukan untuk menghasilkan lulusan sekolah menengah atas yang berkualitas dengan kualifikasi akademik yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Ted Wall, guru besar manajemen pendidikan dari Mc Gill University, menyebutkan, manajemen sekolah harus dimulai dari adanya kesadaran (awareness) seluruh civitas akademika, terutama bagi pimpinan sekolah. Artinya, setiap kebijakan diambil semata-mata untuk meningkatkan mutu akademik. Lebih lanjut dia menjelaskan sebagai berikut.
Kesadaran pimpinan sekolah menengah atas tersebut harus berangkat dari filosofis bahwa mengelola sekolah menengah atas tidak saja berorientasi pada economic capital (profit oriented) saja, melainkan juga harus berorientasi pada sosio capital – yakni target pengelolaan yang berorientasi pada segi-segi konstruktivitas dan charactarer building manusia, atau dengan kata lain stakeholders haruslah memprioritaskan human capital sebagai sasaran output bagi eksistensi sekolah yang dikelolaanya (Andi Trinanda, 2007 : 1).

Problematika yang dihadapi dalam mengelola sekolah menengah atas, dapat saja dieleminir jika semua elemen baik stakeholders maupun seluruh civitas akademika memiliki komitmen, konsensus, dan completion berupa situasi yang mendukung untuk melakukan perubahan. Komitmen akan melahirkan suatu kesadaran manajerial bahwa mengelola sekolah cenderung didasari oleh suatu konsep yakni pertama, activition, kedua verifikasi-investigasi dan ketiga, suksesi. Konsep manajerial ini penting untuk dikembangkan menjadi suatu komitment yuridis formal oleh institusi pendidikan persekolahan agar ia memiliki standar baku dalam setiap proses langkah mengelola sebuah organisasi yang term-nya adalah produk intelektual.
Pada taratan empiris, berdasarkan informasi dari bagian humas di SMAN Ciawi, dari 326 output peserta didik tahun pelajaran 2007/2008 yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi hanya mencapai 38%, sedangkan yang bekerja 19% dan yang tidak melanjutkan dan belum bekerja mencapai 43%. Adapun di MAN Ciawi, pada tahun pelajaran yang sama, dari jumlah peserta didik 232 orang, yang melanjutkan ke perguruan tinggi sebesar 31%, bekerja 17% dan tidak melanjutkan dan belum bekerja 52% (Hasil wawancara dengan WK Kesiswaan).
Tenaga pendidik yang tidak layak di SMAN 1 Ciawi sebanyak 12,5% dari 75 orang dan di MAN mencapai 17% dari 53 guru. (Ketidak layakan ini dilihat dari latar pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkannya saat ini; misalnya guru berlatar pendidikan Biologi, mengajar sejarah). Dan masih banyak hal-hal lain yang menunjukan belum sesuainya antara harapan dengan kenyataan.
Kedisiplinan guru dan siwa di SMUN 1 Ciawi relatif masih kurang, guru yang telat masuk kelas pada setiap minggunya rata-rata mencapai 9,38% dengan rentang telat antara 10-15 menit, siswa yang kesiangan antara 5 - 10 menit perhari rata-rata 4,12%. Guru yang belum memiliki program pembelajaran mencapai 15,63%; siswa yang lambat membayar SPP setiap bulan rata-rata %; guru yang tidak memiliki catatan proses dan hasil belajar siswa antara 10-13%.
Namun demikian, keadaan Madrasah Aliyah dari berbagai sisi bisa jadi lebih memprihatinkan, sebab meskipun keberadaannya sudah lama, tetapi pengakuan secara yuridis formal oleh Depdiknas baru pada tahun 1992. Dimana secara tegas pemerintah menyatakan bahwa Madrasah Aliyah sebagai SMU berciri khas Islam (Kepmendikbud No. 0489/U/1992 pasal 1 angka 6).
Departemen Agama sebagai departemen yang menaungi Madrasah Aliyah mensinyalir beberapa permasalahan yang dihadapi madrasah, termasuk Madrasah Aliyah, antara lain (1) lembaga pendidikan yang dililit berbagai keterbatasan (sarana-prasarana, dukungan dana), (2) kurikulum yang belum menjawab kebutuhan, (3) kurang tersedianya SDM yang memadai, (4) tantangan iptek dan globalisasi (Depag RI, 2004 : 167). Selain permasalahan tersebut dalam realitas di masyarakat, Madrasah Aliyah belum menjadi pilihan utama peserta didik dan orang tua. Peserta didik lebih bangga bila masuk SMA dan orang tua lebih percaya pada SMA.
Pada sisi lain, tuntuan pemerintah terhadap alumni Madrasah Aliyah sama dengan tuntutan terhadap alumni SMA. Bahkan masyarakat berharap lebih banyak terhadap alumni Madrasah Aliyah, karena selain diharapkan memiliki ilmu pengetahuan umum, juga diharapkan memiliki ilmu agama (Islam) yang memadai. Itulah seharusnya yang menjadi keunggulan dan nilai jual serta kekuatan Madrasah Aliyah, namun demikian bila tidak diimbangi dengan berbagai faktor pendukung, baik berupa dana, sarana, sumber daya manusia, dan sistem manajemen yang baik, maka tuntutan pemerintah dan harapan masyarakat tidak akan terwujud.
Kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan manajemen mutu berbasis sekolah masih dihadapkan kepada berbagai problema yang membutuhkan pengkajian. Indikasi kearah tersebut ditunjukan dengan masih rendahnya fungsional yaitu terkait dengan kegunaan; Temporal yaitu seperti tepat waktu, ketersediaan, akurasi; Phisikal yaitu seperti mekanik, elektrik, bagunan; sensory yaitu berkaitan dengan panca indra dan perasaan; behavorial yaitu berkaitan dengan sifat seperti sopan santun, disiplin, kejujuran; Ergonomic yaitu berkaitan dengan keselamatan, kenyamanan dan kesehatan.
Hasil penelitian Feiby Ismail (2008 : 132) dengan judul Manajemen Berbasis Sekolah: Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan tingkat SLTA di Menado, menyimpulkan bahwa “dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah tersebut diasumsikan kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan juga peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan di tingkat mikro (sekolah) akan lebih meningkat.” Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Aminudin (2008) melalui judul penelitian Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (Study Kasus pada MI Muhammadiyah Program Khusus Kenteng Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2007/2008), menyimpulkan bahwa:
Manajemen peningkatan mutu pendidikan berbassis sekolah merupakan sebuah model manajerial yang baik dan sesuai diterapkan di madrasah, hal ini di buktikan dengan adanya kelengkapan komponen-komponen manajemenya, dan juga konsep kepemimpinan yang terbuka dan demokratis karena lembaga ini berdiri dan berjalan atas partisipasi dan dukungan masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingginya animo masyarakat untuk memasukkan putra-putrinya agar menjadi siswa di lembaga tersebut, akibatnya jumlah siswa saat ini menjadi semakin membludak.

Berdasarkan asumsi tersebut maka dalam mengatasi masalah yang terjadi di SMA maupun di MA dapat dilakukan dengan menerapkan konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah secara utuh. Dilaksanakan dengan seksama dan bekerjasama.
Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan peserta didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka diduga disetiap sekolah/madrasah akan terjadi variasi dalam penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasasis sekolah. Atas dasar itu maka penulis tertarik untuk meneliti perbedaan dan persamaan penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah yang diselenggarakan oleh SMA sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang berada di bawah naungan Depdiknas, dengan Madrasah Aliyah (MA) sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang berada di bawah naungan Depag. Sebagai lokasi penelitian dipilih sebuah kabupaten yang ada di wilayah Jawa Barat, yakni di Kabupaten Tasikmalaya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini selanjutnya diberi judul: MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH (Studi Perbandingan di SMAN dan MAN Se Kabupaten Tasikmalaya).


Perumusan dan Batasan Masalah
Perumusan Masalah
Otonomi pendidikan sebagai hasil dari perjuangan reformasi di bidang pendidikan pada akhirnya memunculkan beberapa kebijakan di bidang pendidikan seperti Manajemen Berbasis Sekolah (school-based management), rencana implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (curriculum-based competence), dan Kurikulum Berbasis Sekolah (school-based curriculum). Manajemen mutu merupakan hal sangat dibutuhkan karena saat ini tidak ada lagi hal yang sederhana, itu pun kalau hal yang sederhana pernah ada (Crosby). Sebagaimana yang telah kita ketahui, standar mutu dapat memiliki peranan dalam TQM. Standar tersebut dapat memberikan pesan aktual dan potensial kepada pelanggan, bahwa institusi mengunakan mutu secara serius, dan bahwa kebijakan-kebijakan dan praktek-prakteknya sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional. Ini dapat memberikan kepercayaan eksternal di samping membangun kebannggaan internal.
Meskipun implementasi MBS ini memerlukan perjuangan berat bangsa Indonesia dan membutuhkan waktu yang cukup panjang (time consuming), dalam pandangan Noble (1996), MBS itu diharapkan dapat: (1) meningkatkan prestasi akademik peserta didik (academic achievement), (2) meningkatkan pertanggung jawaban (accountability) diantara para pengambil kebijakan, (3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment) ke arah perbaikan budaya sekolah (school culture), dan untuk kegunaan politis (political utility) karena para pengambil kebijakan di masyarakat (local players) benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sekolah.
Menurut Cheng (2001), MBS merupakan salah satu kecenderungan internasional yang paling menonjol dalam reformasi di bidang pendidikan (the most salient international trends of school reform). MBS memberikan banyak kesempatan dan kebebasan kepada para guru, orang tua, pendidik, pengelola pendidikan, dan pemimpin pendidikan untuk memikirkan kembali praksis pendidikan, mengembangkan mereka sendiri, mengubah peranan dan membuat inovasi serta meningkatkan kualitas lulusan.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), sebenarnya merupakan bentuk riil keinginan bangsa Indonesia untuk menuju sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik, demokratis dan manusiawi yang perlu diwujudkan dalam di setiap sekolah.
Permasalahan lain yang dihadapi seiring dengan latar belakang masalah di atas adalah sekolah menengah atas sebagai institusi pendidikan dituntut menghasilkan lulusan yang berkualitas dengan mendasarkan kepada realitas yang ada di sekolah masing-masing, juga harus mencapai standar nasional. Pada sisi lain, manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah akan diwarnai oleh berbagai aspek yang ada di lingkungan sekolah masing-masing pada satu sisi, dan pada sisi lain harus sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan diharapkan masyarakat sebagai pemakai jasa pendidikan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah didasarkan kepada teori sistemik, dalam hal ini mutu pendidikan berbasis sekolah akan dipengaruhi oleh input, proses, out put dan out comenya. Sehingga penanganan lembaga pendidikan oleh Departemen yang berbeda lebih memungkinkan terjadinya perbedaan dalam pola-pola peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. Dalam bentuk bagan, permasalahan penelitian ini disajikan sebagai berikut:





Bagan 1. Perumusan Masalah
















Batasan Masalah
Tidak seluruh masalah yang teridentifikasi akan diteliti, melainkan akan dibatasi dan difokuskan pada masalah berikut:
Bagaimanakah pola penerapan manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN se Kabupaten Tasikmalaya?
Masalah-masalah apakah yang dihadapi oleh SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya dalam menerapkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah?
Bagaimana strategi mengatasi masalah-masalah penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya?
Bagaimana hasil penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya?
Dengan memperhatikan permasalahan penelitian tersebut, dalam bentuk bagan dapat dilihat sebagai berikut.
Bagan 2. Batasan Masalah







Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalahnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMA dan MA. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
Perbandingan pola penerapan manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya dalam menerapkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.
Strategi mengatasi masalah-masalah penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.
Hasil penerapan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki dua manfaat. Pertama manfaat secara teoretis dan kedua manfaat secara empiri. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk menambah kajian ilmu pengetahuan tentang peningkatan mutu pendidikan manajemen berbasis sekolah.
Adapun manfaat empirisnya adalah dapat dijadikan acuan oleh kepala sekolah, guru dan komite sekolah dalam menganalisis peningkatan mutu pendidikan berbasis kelas dan upaya mengatasinya jika dalam pelaksanaannya dihadapkan pada permasalahan, baik menyangkut manajemen, kurikulum dan penilaian. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu masukan, khususnya bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah.
Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif sehingga mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Bagi instansi terkait (Kantor Departemen Agama dan Dinas Pendidikan) Kabupatenm Tasikmalaya, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu masukan dalam meningkatkan kualitas sekolah dan madrasah di wilayah Tasikmalaya utara.

Hipotesis Penelitian
Penelitian ini berupaya membandingkan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dengan di MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
Hipotesis nihil (Ho) : Secara signifikan tidak terdapat perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah antara SMAN dengan MAN.
Hipotesis alternatif (Ha). Secara signifikan terdapat perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah antara SMAN dengan MAN.
Kedua hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan tes “t” dengan kriteria sebagai berikut: Jika terbukti -ttc > t < ttc maka hipotesis nihil ditolak. Adapun dalam keadaan sebaliknya, hipotesis alternatif diterima.

Prosedur Penelitian
Menetukan Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah jenis data kuantitatif yang berkaitan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah di SMAN dan MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, baik yang secara asal berbentuk kuantitatif maupun yang sengaja dikuantifikasi.
Penelitian dilakukan di SMAN dan MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dengan alasan data yang diperlukan dapat diperoleh di lokasi tersebut; dan lembaga pendidikan tersebut ada upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah juga ada upaya-upaya mengatasi problema yang dihadapinya.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru-guru, staf TU dan komite sekolah/madrasah di SMAN/MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan informasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya dan dari Kantor Depag Kabupaten Tasikmalaya, diketahui jumlah SMAN ada 12 dan jumlah MAN ada 8. Untuk lebih jelasnya, diuraikan dalam populasi dan sampel penelitian.



Tabel 1.1 Populasi Penelitian
No. SMAN dan MAN di Kab. Tasikmalaya Jumlah Jml Kepala Jml Guru Jml TU Komite Jumlah total
1 SMAN 12 12 485 78 82 669
3 MAN 8 8 304 49 52 421
Jumlah 20 20 789 127 134 1090
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Tasikmalaya dan Kontor Depag Kab. Tasikmalaya

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah populasinya adalah 20 sekolah dengan jumlah personil 1090 orang. Dalam penelitian ini penulis tidak akan meneliti seluruh populasi, melainkan akan dilakukan penelitian berdasarkan sampel. Menurut Suharsimi Arikunto (1987 : 100), apabila jumlah populasinya banyak, sampel dapat diambil antara 10 – 15% atau 20 – 25%. Mengacu kepada pernyataan tersebut maka sampel penelitian ini ditetapkan sebesar 20%. Jadi sampelnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2 Sampel Penelitian
No. SLTA Jumlah Jml Kepala Jml Guru Jml TU Komite Jumlah total
1 SMAN 2 2 97 16 16 131
3 MAN 2 2 61 10 10 83
Jumlah 4 4 158 26 26 214

Jadi penelitian ini sampelnya adalah 214 orang yang penentuannya diambil secara random. Teknisnya, masing-masing nama SMAN dan MAN diberi nomor urut, kemudian ditulis dalam kertas kecil, digulung dan dimasukan ke dalam botol/gelas (dipisah antara SMAN dan MAN). Kemudian dikocok dan dikeluarkan, dua untuk SMAN dan 2 untuk MAN. Nama SMAN dan MAN yang keluar dijadikan sebagai sampel penelitian, dalam hal ini kepala, guru, staf TU dan komite menjadi responden penelitian.

Menentukan Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif, yaitu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi saat ini dengan menggunakan pendekatan kuantitif, yang menganalisis hal-hal yang telah dilakukan oleh sekolah dalam mengimplementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah dan dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik observasi, teknik wawancara dan teknik dokumentasi. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut :

Teknik Observasi
Observasi yang dilakukan yaitu observasi langsung dengan harapan memperoleh informasi dan data tentang kondisi objektif SMAN dan MAN di Kabupaten Tasikmalaya, terutama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Masalah yang dihadapi dalam menejemen peningkatan mutu pendidikan dan penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Teknik Wawancara
Wawancara yang dilakukan menggunakan jenis wawancara tertutup melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti. Penentuan informan yang mengetahui tentang SMAN dan MAN yang diteliti disesuaikan dengan jumlah sampel penelitian dan kadar kesiapan yang akan diwawancara serta kemampuan peneliti, baik dari segi waktu, pokok masalah yang akan diwawancarakan dan tempatnya.

Teknik Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk mengetahui data tertulis tentang manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah melalui penelusuran dokumen, buku-buku, majalah dan berbagai literature lainnya yang mendukung terhadap teori dan konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Teknik Angket
Angket berguna untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar responden yang menjadi sampel. Dalam menjawab pertanyaan, responden lebih leluasa karena tidak dipengaruhi oleh sikap mental korelasi antara peneliti dengan responden (Muhammad Ali, 1987 :87). Atas dasar alasan tersebut maka angket digunakan sebagai teknik pengumpulan data utama. Bentuk angket yang disebarkan kepada responden adalah angket terstruktur dengan pola tertutup karena sejumlah pilihan telah ditentukan dan responden tinggal menandai jawaban yang paling cocok bagi dirinya.
Jenis data yang diperoleh dari penyebaran angket ini akan dikuantifikasi dengan skala sebagai berikut: responden yang memilih alternatif jawaban A. B. C. D atau E. pada bentuk soal/pernyataan positif, akan diberi skor 5, 4, 3, 2 atau 1 pada setiap item, sedangkan untuk bentuk soal negatif penskoran dilakukan sebaliknya.

Analisis Data
Data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan statistik non parametrik. Dalam hal ini adalah statistik perbandingan terhadap dua sampel independen, yaitu manajemen peningkatan mutu pendidikan di SMAN dan manajemen peningkatan mutu pendidikan di MAN yang ada di Kabupaten Tasikmalaya.
Rumus-rumus statistik yang akan digunakan antara lain mean, median, modus, standar deviasi, chi kuadrat, t tes untuk perbandingan jika memenuhi kriteria atau Mann-Whitney U-Tes jika tidak memenuhi criteria pengujian t tes. Data akan dihitung dengan rumus-rumus sebagai berikut :

Menghitung rata-rata dengan rumus
M=(∑▒fX)/(N (Jumlah responden))
Hasil hitung rata-rata ditafsirkan dengan menggunakan skala lima norma absolute sebagai berikut:
0,5 – 1,5 = sangat rendah / sangat jelek
1,5 – 2,5 = rendah / jelek
2,5 – 3,5 = cukup
3,5 – 4,5 = tinggi / baik
4,5 – 5,5 = sangat tinggi / sangat baik

Standar deviasi atau simpangan baku dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
SD = √(((∑▒〖〖fX〗^2) 〗)/n- ((∑▒fX)/n) )^2

Uji Normalitas Distribusi
Pengujian normal tidaknya distribusi data dilakukan dengan menggunakan chi kuadrat, dengan kriteria: jika chi kuadrat hitung lebih besar daripada chi kuadrat tabel, maka data tergolong berdistribusi normal.
Rumus chi kuadrat yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

2 = (Sugiyono, 2008 : 81).

Uji Homoginitas Variansi
Uji homoginitas variansi dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

F=

Data tergolong memiliki variansi yang homogen jika terbukti F hitung lebih kecil daripada F tabel pada taraf signifikansi 5%. Dalam keadaan sebaliknya homoginitas variansi ditolak.

Uji komparatif
Jika diketahui data tergolong berdistribusi normal dan variansinya homogen, maka proses uji komparatif akan dilakukan dengan uji (tes) t, dengan diawali oleh penentuan angka standar deviasi gabungan melalui rumus :
SDg =

Setelah diketahui standar deviasi gabungan akan dilanjutkan dengan menentukan t hitung melalui rumus sebagai berikut
t =



Jika terbukti ttabel lebih besar daripada thitung pada taraf signifikansi 5% maka hipotesis alternatif yang menyatakan adanya perbedaan manajemen peningkatan mutu pendidikan bebasis sekolah di SMAN dan MAN se Kabupaten Tasikmalaya, diterima. Sedangkan yang menyatakan sebaliknya ditolak.
Penghitungan statistik akan dilakukan dengan menggunakan bantuan proram excel dan SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

Tidak ada komentar: