Minggu, 27 Juli 2008

Fiqih Madrasah Aliyah Semester 2

BAB I
PEMBINAAN HUKUM ISLAM

A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, Ijtihad berarti : mengarjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedangkan menurut syara’ Ijtihad berarti : mengerahkan semua potensi dan kemampuan secara optimal untuk menetapkan hukum hukum syari’ah.
Hukum Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan jaman atau waktu. Dengan demikian Hukum Islam tidak bersifat statis dan kaku, akan tetapi senantiasa diterapkan dalam segala keadaan dan kondisi masyarakat, kapanpun dan di manapun mereka berada.
Para Ulama sejak dahulu selalu berusaha mendalami hukum hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunah yang kadang-kadang di antara mereka terdapat perbedaan paham dan pendapat dalam menetapkan hukum yang mereka istimbatkan dari Al-Quran dan As-Sunah tersebut. Hal ini dikarenakan di antara ayat Al-Quran ataupun Hadis Nabi itu ada yang bersifat zhanni, sehingga memerlukan pemikiran dan usaha yang sungguh sungguh untuk dapat memahami nash-nash yang demikian.
Di samping itu seringkali para Ulama menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi pada jaman Nabi dan belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian mereka harus berusaha dengan segala daya serta kemampuannya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru tersebut sesuai dengan prinsip prinsip hukum yang ada dalam sumber-sumber pokoknya yaitu Al-Quran dan As-Sunah. Usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para Ulama untuk menetapkan hukum Islam inilah yang dikenal dengan sebutan “Ijtihad”, sedangkan para Ulama yang melakukannya disebut “Mujtahid”.
Berusaha mendalami hukum Islam memang merupakan keharusan dalam ajaran Islam, dan orang yang melakukannya sudah barang tentu akan memperoleh derajat yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Firman Allah :








Artinya :”Tidak sepatutnya bagi orang orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang) mengapa tidak pergi tiap tia golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)

Di antara nash-nash hukum yang ada, adakalanya merupakan nash yang Qath’i, artinya nash tersebut menunjukan kepada hukum yang jelas dan tertentu sehingga tidak mungkin adanya interprestasi atau penafsiran lain. Terhadap nash yang demikian tidak diperlukan adanya Ijtihad.
Sebagai contoh, Firman Allah :









Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur : 2)
Dalam memahami ayat tersebut diatas, tidak memerlukan ijtihad karena ayat tersebut telah menunjukan hukum yang jelas dan tidak mungkin ada interprestasi lain, yaitu bahwa hukuman bagi orang yang melakukan zina (dalam hal ini yang ghair muhsan) adanya sebanyak seratus kali dera.
Akan tetapi adakalanya dianatara nash-nash itu bersifat zhani, artinya nash tersebut belum menunjukan kepada hukum yang jelas dan masih dimungkinakan adanya interprestasi atau penafsiran lain.
Sebagai contoh, Firman Allah :



Artinya : “Wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (Al-Baqoroh : 228)
Ayat tersebut belum menunjukan kepada hukum yang jelas dan pasti, karena pengertian quru’ dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu : suci dan haid. Jadi berdasarkan ayat di atas, wanita wanita yang dicerai (ditalak) itu iddahnya ada dua kemungkinan yaitu : Tiga kali suci, atau tiga kali haid. Diantara dua kemungkinan hukum tersebut, mana yang akan diambil ketetapan hukumnya? Dalam hal ini memerlukan ijtihad.
Ijtihad Imam As-Syafi’i menetapkan bahwa wanita wanita yang ditalak oleh suaminya, masa iddahnya tiga kali suci : sedangka Ijtihad Imam Hanafi menetapkan bahwa wanita-wanita yang ditalak oleh suaminya masa iddahnya tiga kali haid.
Selain dari itu adakalanya timbul masalah masalah yang terjadi dalam masyarakat, ketetapan hukumnya belum ada, baik dalam A-Quran maupun Sunnah. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik) pada manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata, dan lain lain. Semua itu memerlukan ijtihad untuk menetakan hukumnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tempat atau lapangan ijtihad itu adalah
o Dalam mengistibatkan hukum dari nash-nash yang sifatnya zhanni.
o Dalam menetapkan hukum terhadap masalah masalah baru yang ketetapan hukumnya belum ada.



2. Hukum Ijtihad
Dilihat dari masalah yang diijtihadi, hukum ijtihad terhadap suatu masalah bagi seorang mujtahid, dibedakan pada tiga tingkatan.
Wajib ‘ain yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang masalah sedang masalah tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
Sunnat, yaitu Ijihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.


3. Syarat Syarat Ijtihad
Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, karena tidak semua orang memenuhi syarat sebagai mujtahid. Syarat-syarat dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Berapa jumlah ayat Al-Quran dan Al-Hadits yang harus diketahuinya? Mneurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi, ayat ayat harus diketahui adalah kurang lebih 500 ayat, harus lebih banyak lagi dari 500 ayat hukum tersebut. Jumlah hadis yang harus diketahui mujathid yang ada yang mengataka harus 3000 nuah, ada pula yang mengatakan harus 1200 buah . menurut As-Syaukani harus mengetahui hadis hadis yang ada dalam kitab kitab yang enam. Baik tentang ayat ayat Al_quran maupun hadis hadis tidak disyaratkan hafal, tetapi cukup apabila dibutuhkan dapat mencarinya dalam al-quan dan kitab kitab Hadis. Tntang hadis selain mengetahui keadaan perawi perawi hadits mana yang tercela dan mana yang tidak.
b. Mengetahui hukum hukum yang ditetapkan dengan Ijma’ Ulama
Hukum-hukum yang telah disepakati melalui Ijma’ ulama perlu diketahui oleh orang yang akan berijtihad, sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
c. Mengetahui serta memahami bahasa Arab
Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang hakikat, yang majaz. Am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlak, muqayad, muntaq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
d. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh
Melakukan ijtihad harus didasari dengan ilmu ushul fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal soal cabang kepada soal soal pokoknya
e. Mengetahui nasikh dan mansukh
Ayat Al-Quran dan hadits menunjukkan adanya nasihk dan mansukh sehingga sehingga mujtahid tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.

4. Tingkatan Tingkatan Mujtahid
a. mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab
b. mujtahid muntasib yaitu orang yang mempunyai sarat syarat iujtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara cara yang ditetapkan oleh imam madzhab tersebut dalam berijtihad.

5. Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam hasil berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada yang tidak. Sabda Rasululloh saw.


Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran ) maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari )
Hadis tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu sebagian mujtahid dapai mencapainya maka ia dikatakan yang encapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.

6. Pendapat Para Ulama Tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat
Para Ulama sepakat bahwa nabi boleh berijtihad dalam masalah masalah yang berhubungan dengan soal dunia seperti dalam soal peperangan perdamaian menentukan startegi dan lain lain. Adapun ijtihaf Nabi dalam hukum hukum syari’ah, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut golongan Asy’ari Nabi tidak boleh berijtihad sedak ia tidak terhindar dari kemungkinan salah, mengapa nabi tidak boleh berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan.
Adapun mengenai kebolehan para sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pula pendapatnya. Pendapat yang kuat membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan dengan Nabi maupun di kala berjauhan dengan beliau.
Nabi pernah berkata kepada ‘Amr Bin Ash : putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata : apakah saya boleh brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi : Ya, apabila tidak benar kamu mendapat satu pahala.

7. Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan urutan di bawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Adapun urutan urutan tersebut adalah sebagao berikut
1. Dalil dalam bentuk :
a. Nash-nash Al_Quran
b. Hadis mutawattir
c. Hadis Ahad
d. Zhahir Al-Quran
e. Zhahir Hadis
2. Dalil mufham
a. Mufham Al-Quran
b. Mufham Hadis
3. Pebuatan dan taqrir nabi
4. Qiyas
5. Bara’ah ashaliyah
Kalau iamenghadapi dalil dalil yang berlawanan, hendaknya ditermpuh bebrapa alternatif berikut :
a. memadukan/mengkomproikan dalil dalil tersebut
b. mentarjihkanb (menguatkan salah satunya)
c. menashkan yaitu dicari mana yang lebih dulul dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak berlaku lagi)
d. Tawaqquf, ia tidak boleh menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut
e. Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya

B. Ijma

C. Qiyas

D. Ittiba’
Menurut bahasa ittiba’ berarti mengikuti
Menurut pengertian syara ittiba’yaitu : menerima atai mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan, sebagaimana Firman allah :




Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yanbg mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An Nahl :43)
Maksud ayat tersebut diatas yakni, tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari al-Quran dan hadis dan bukan dari pendapat mereka semata mata/. Dzikr dalam ayat diatas maksudnya adalah al-Quran dan hadis. Dengan demikian yang dimaksud Ali Dzikr dalam ayat diatas yaitu Ahli Quran dan ahli Hadis. Apabila mereka ditanya tentang sesuatu masalah hukum, maka jawalah : Alah menetapkan begini, atau dalam hadis disebutklan begitu, dan sebaginya.
a. Taklid
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya.
Kalau kita teliti dari kurang 90 % umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadis tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri orang orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan mejadi berkurang karena mau tidak mau orang orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dengan keadan terpaksa
Firman Allah :


Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, oenglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (Al-Isra ayat 36)
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat syarat orang yang ditaklidi, indetitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasululloh saw karena itu haram hukumnya taklid kepada orang yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui indetitas serta keahliannya dalam agama.

Syarat syarat taklid
1. Syarat orang yang bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanssup mencari sediri hukum syari’ah. Amak ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal hal lain (soal soal ibadat), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya

2. syarat syarat masalah yang ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu :
· hukum akal
· Hukum Syara’
Taklid dalam masala hukum akal
Dalam masalah hukum akan tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti mngetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat sifatnya.hal ini karena jalan untuk menetapkan hukum hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal. Karea itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid soal soal tersebut dengan firman Nya :





Artinya : Apabila dikatan mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah mereka terjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapt dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (Al-Baqoroh 170)
Taklid dalam masalah hukum syara’
Hukum syara’ dibagi dua yaitu:
a. yang diketahui dengan pasti dari agama, seperti wajibnya shalat lima waktu, puas, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam soal soal diatas tersebut tudak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya
b. yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal soal ibadahnya yang kecil kecil dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat para Imam yang empat dan Ulama lainnya :
1. Imam Abu Hanifah berkata : Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
2. Imam Malik berkata : saya hanya manusia biasa yang kadang kadang salah dan kadang kadang benar, selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-quran dan Al-Hadis maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan
3. Imam Syafi’I berkata : Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alaan) seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
4. Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atu Auza’I tetapi ambillah dari mana mereka mengambil
5. Ibnu Ma’sud berkata : kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Imam maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.
E. Ta’adul, Tarjih, dan Tafliq
Pengetian Ta’adul, Tarjih danm Talfiq
Yang dimaksud dengan Ta’adul yaitu : mengadakan perbandingan diantara dua masalah yang mempunya alasan sama kuat, sehingga hukum tersebut sama sama ditunjang oleh dalil (alasan) yang sama kuatnya.
Tarjih yaitu : menguatkan suatu alasan hukum atas hukum yang lain disebabkan terdapatnya alasan alasan yang lebih meyakinkan atau terdapat aspek aspek lain yang menunjang. Hal ini dimaksudkan agar hukum syari’ah yang berdasarkan dalil dalil zhani, bila terdapat perlawanan diantara dalil dalil tersebut, ketidak jelasan, ataupun terdapat aspek aspek lain yang memungkinkan diperjelas salh satunya, makaperlu ditarjihkan sehingga dalil atau alasan yang kuat itulah yang kita pegangi.
Adapun Tarjih ini dasarnya sebagai berikut :
a. Ijma sahabat dalam melaksanakan tarjih. Mereka memakai hadis yang diriwayatkan Aisyah yang mnerangkan wajibnya mandi karena bertemu dua kelamin laki laki dan perempuan dan mereka meningga;kan hadis yang menerangkan bahwa Air itu hanya karena air (maksudnya wajibnya mandi itu bila terjadi persetubuhan yang mengeluarkan air mani ). Yang ditarjihkan oleh para sahabat adalah hadis aisyah yang menerangkan bahwa persetubuhan anatar laki laki dan perempuan itu mewajibkan mandi walaupun tidak keluar air mani.
b. Kalau ada dugaan yang berlawanankemudian salah satunya lebih kuat maka dengan memakai dugaan yang lebih kuat itu menjadika kita ragu ragu menurut adat kebiasaan. Demikian pula dalam hukum hukum syari’ah kalau kita tidak mamakai yang lebih kuat tentu kita memakai yang lemah. Sedangkang pemakaian yang lemah dengan meninggalkan yang kuat tidak dapat diterima akal
Syarat syarat tarjih
dalil dalil yang berlawan itu setingkat atau sebanding kekuatannya sepereto al-Quran dengan al-quran, al-Quran dengan Hadis mutawattir, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis ahad dengan hadis ahad. Kalau tidak sama/sebanding kekuataanya seperti al-Quran dengan ahad maka tidak perlua da tarjih lagi sebab yang lebih kuat sudah tentu Al-Quran dan inilah yang dipakai.
Sama hukumnya, dan bersatu pula dalam hal waktu, tempat, maudlu’ (subjek), mahmul (predikat) dan kseluruhan atau sebagian.
Kalau berbeda waktu misalnya, seperti : Jual beli sesudah adzan jum’at dilarang, diwaktu yang lain jual beli dibolehkan. Disini tidak ada perlawanan karea berbeda waktunya.
Macam Macam Tarjih
Macam tarjih adalahsesuai dengan macam perlawanan antara dalil dalil yang harus ditarjihkan menurut peneitian, macam macam perlawanan dalil dalil itu ada 10 macam yaitu :
· antara Al-Quran dengan Al-Quran
· Antara Al-Quran dengan Hadis
· Antara Al-Quran dengan Ijma’
· Antara Al-Quran dengan Qiyas
· Antara Hadis dengan Hadis
· Antara Hadis dengan Ijma’
· Antara Hadis dengan Qiyas
· Antara Ijma’dengan Ijma’
· Antara Ijma’ dan Qiyas
· Antara Qiyas dengan Qiyas
Yang akan dibicarakan disini hanyalah mengenai perlawanan antara hadis dengan Hadis. Perlawanan selebihnya boleh dikatakan tidak pernah terjadi.
Cara-cara mentarjih Hadis Hadis yang berlawanan
1. Tarjih mengingat Isnad
Mentarjih hadis mengingat Isnad, didahulukan hadis hadis sebagai berikut :
a. Yang banyak perawinya
b. Yang diriwawyatkan oleh orang orang besar (orang kenamaan) dari pada yang diriwayatkan oleh orang orang yang tidak kenamaan
c. Yang diriayatkan oleh orang orang Fiqih ( ahli Fiqh) dari pada yang meriwayatkan oleh orang orang yang tidak Fiqh.
d. Yang diriwayatkan oleh orang yang lebih dipercaya dan teliti
e. Yang diriwayatkan oleh orang yang langsung mengalami peritiwa (Shahibul qissah)
f. Yang diriwayatkan oleh orang yang langsung menerimanya
g. Yang diriwayatkan oleh orang yang banyak bergaul dengan Nabi
h. Yang diriwayatkan oleh orang yang kuat hafalannya dan tidak pelupa
i. Riwayat yang disebutkan sebabnya
j. Riwayat yang didengar berhadap harapan dari pada yang didengar dari belakang tirai
k. Hadi yang terdapat dalam kedua kitab Bukhari dan Muslim.

2. Tarjih mengingat matan
Dalam mentarjih hadis mengingat matan, didahulukan hadis sebagai berikut
a. Yang hakikat dari pada majaz
b. Yang menunjukan kepada maksud dari dua jalan dari pada yang hanya satu jalan
c. Yang mengandung isyarat kepada hukum dari pada yang tidak demikian
d. Yang memakai penjelasan dari pada yang tidak
e. Yang mengandung mafhum muwafaqah dari pada yang mengandung mafhum mukhalafah
f. Yang mengandung larangan dari pada yang mengandung suruhan

3. Tarjih mengingat madlul
Dalam mentarjih hadis mengingat madlul (maksud dan kandungan hadis, didahulukan hadis hadis berikut:
a. yang berisi hukum yang lebih ringan
b. yang menetapkanb hukum (musbit) dari pada yang meniadakannya (nifa)
c. yang berisi pembatalan hukum had (hukuman tertentu) dari pada yang menetapkannya
d. yang mendekati ihtihati (hati hati)
e. Yang menetapkan hukum asal usul bara’ah asliyah

4. Tarjih mengingat hal hal di luar hadis
Dalam mentarjihkan hadis menbgingat hal hal diluar hadis itu sendiri, didahulukan hadis hadis berikut :
b. hadis yang dikuatkan oleh dalil yang lain
c. hadis yang menyerupai zhahir Al-Quran
d. Hadis yang berupa perkataan dari pada yang berupa perbuatam, sebab dialah (petunjuk) perkataan lebih kuat dari pada dialah perbuatan
Adapun yang dimaksud dengan talfiq menurut Ushul Fiqih ialah mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai masdzhab atau pendapat yang berbeda.
Talfiq tidak diberankan dalam ajaran syari’at, yakni bila penggabungan pendapat mengakibatkan batalnya amal. Dan dibenarkan sepanjang tidak membatalkan amaliah. Demikian pula perpindahan madzhab dalam masalah yang berbeda pendapat, dibenarkan.

F. Fatwa
Hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Islam senangtiasa memenetapkan ketentuan dan kepastian hukum yang dapat digunakan untuk kepentingan Islam di segenap waktu dan tempat.
Para fuqoha berkewajiban memberikan nasihat, pendapat tentang suatu masalah, baik diminta maupun tidak diminta, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk dakwah dan amar ma’ruf nahyil munkar. Landasannya adalah Q.S. An-Nahl ayat 43 “tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui”. Dan secara logis dipahami bahwa setiap masalah wajib ada ketentuan hukumnya.
Setiap orang berhak menerima fatwa dari orang yang berkomepeten dalam bidangnya.

G. Tujuan Umum dari Penetapan hukum
Mengetahui dan memahami tujuan umum tentang ditetapkannya hukum hukum syara’ merupakan masalah yang sangat penting. Hal ini agar kita tidak mengalami kekeliruan dalam mamehami nash nash hukum, dan juga agar dapat menetapkan hukum dalam masalah masalah yang belum terdapat nashnya sesuai dengan prinsip prinsip yang terdapat dalam hukum, Islam.
Adapun maksud pokok dari pencipta hukum (Allah swt) dalam menetapkan hukum hukum Nya yaitu :



Artinya :
Mewujudkan kemaslahatan atau kesejahteraan manusia dalam kehidupan mereka, dengan jalan mendatangkan hal hal yang bermanfaat bagi mereka dan menghindarkan hal hal yang merugikan mereka.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka Allah Swt menetapkan berbagai macam hukum yang menyangkut segala kebutuhan dan kepentingan manusia yang terdiri dari tiga macam, yaitu :
1. Dlarury (hal hal yang mesti ada, yang sifatnya merupakan kebutuhan pokok)
2. Haajy (hal hal yang diperlukan yang sifatnya merupakan kebutuhan penting).
3. Tahsiny (halhal yang lebih baik adanya, yang sifatnya merupakan kebutuhan pelengkap)
Kebutuhan manusia terhadap masalah duniawi tidak terlepas dari ketiga hal tersebut di atas, yang kebutuhan pokok, kebutuhan penting, dan kebutuhan yang sifatnya perlengkapan. Sebagai contoh : kebutuhan pokok manusia terhadap tempat tinggal (rumah) adalah adanya suatu tempat yang dapat memelihara diri dari kehujanan dan kepanasan, jadi kalau seseorang membangun rumah dengan mendirikan tiang tiangnya, memasang atap dan dingdingnya, ini sebenarnya sedah cukup hanya sampai disitu, tapi dibuatnya pintu pintu dan jendela jendela yang bisa dibuka dan ditutup sesuai dengan keperluan ini merupakan kebutukan penting. Lebih lanjut rumah tadi lebih diperindah lagi dengan dicat, dan lain lain. Ini adalah merupakan kebutuhan pelengkap terhadap rumah yang dibangunnya. Demikian pula hal ini berlaku dalam masalah makanan, pakaian, dan lain lain.
Allah swt menetapkan berbagai macam hukum baik dalam masalah ibadat muamalat maupun uqubat (hukuman) tujuan pokoknya tidak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dan kemaslahatan manusia hanya akan terwujud bilamana telah terpenuhi kebutuhannya yang bersifat pokok, penting dan perlengkapan termasuk dalam hal kebutuhan mereka terhadap hukum
1. Hukum hukum yang ditetakan Allah yang bersifat dlarury (pokok)
Hukum hukum yang bersifat dlarury yaitu hukum hukum yang sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya dan mesti adanya sehingga kalau hukum hukum yang bersifat dlarury itu tidak ada, maka akan kacaulah kehidupan manusia ini.
Hukum hukum yang bersifat dlarury ini berprinsip kepada menjaga serta melindungi 5 (lima) hal yaitu :
1. memelihara / melindungi agama
2. memelihara / melindungi jiwa
3. memelihara / melindungi akal
4. memelihara / melindungi kehormatan
5. memelihara / melindungi harta
Yang dimaksud dengan agama disini yaitu ketentuan ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia sesamanya
Untuk melindungi dan memelihara agama ini Hukum Islam menetapkan adanya kewajiban beriman kepada Allah Pencipta Alam Semesta, kewajiban melaksanakan rukun Islam yang lima yaitu : mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan menunaikan Haji ke Baitullah, dan lain lain ibadat yang bersifat pokok.
Untuk melindungi jiwa manusia yang sangat berharga, hukum Islam menetapkan haramnya membunuh seseorang yang tidak berdosa (tidak halal darahnya), diharamkannya bunuh diri, ditetapkannya hukum qishash, diyat dan kifarat dalam pembunuhan. Juga untuk mengembangkan keturunan manusia, Islam menetapkan adanya syari’ah nikah dengan syarat syarat serta rukun rukun tertentu.
Untuk melindungi dan memelihara akal manusia, hukum Islam menetapkan haramnya minum khamr dan setiap minuman yang memabukkan, juga menghukum orang yang meminumnya.
Untuk memelihara dan melindungi kehormatan manusia Hukum Islam menetapkan haramnya perbuatan zina dan orang yang menuduh zina tanpa keterangan yang benar.
Untuk melindungi harta manusia, hukum Islam menetapkan haramnya perbuatan mencuri harta orang lain, juga menghukum orang/pelaku pencurian tersebut diharamkannya setiap perbuatan korupsi dan manipulasi serta diharamkannya setiap perbuatan untuk mendapatkan dan memakan harta orang dengan jalan yang batil

2. Hukum hukum yang ditetapkan Allah yang bersifat Haajy (penting)
Hukum hukum yang bersifat haajy (penting) yaitu hukum hukum yang bertujuan untuk melaksanakan hukum. Bila hukum hukum yang besifat haajy (penting) ini tidak ada, maka timbul kesulitan dan keberatan dalam melaksanakan hukum.
Contoh : Dalam masalah ibadah, hukum Islam menetapkan adanya berbagai rukhshah (keringanan) bagi mukallaf dalam melaksanakan hukum, seperti : dibolehkannya mengqashar salat bagi orang yang berpergian, dibolehkannya bertayammum dalam keadaan tidak ada air untuk berwudlu dan lain lain.
Dalam hal mu’malat hukum Islam menetapkan dibolehkannya melakukan berbagai macam akad dan transaksi seperti jual beli, sewa-menyewa, syirkah, dan lain lain
Dalam hal hukum, hukum Islam menetapkan adanya hak orang yang membunuh adanya ketentuan Diyat (denda) sebagai keringanan bagi orang yang melakukan pembunuhan tanpa sengaja dan lain lain.
3. Hukum hukum yang ditetapkan Allah yang bersifat Tahsiniyah (pelengkap)
Hukum yang bersifat tahsaniyah yaitu hukum hukum yang bertujuan untuk mewujudkan apa yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang maupun masyarakat, menurut pertimbangan susila dan kesopanan.
Apabila hukum hukum yang bersifat tahsiny ini tidak ada maka tidak mengakibatkan kehidupan mansuai menjadi kacau sebagaimana kalau tudak ada hukum yang bersifat dlarury, juga tidak akan terasa berat dan sulit sebagaimana kalau tidak ada hukum yang bersufat haajy, hanya saja kehidupan manusia akan menjadi asing dn dibenci oleh akal dan tabi’at.
Contoh :Dalam masalah Ibadat, hukum Islam menetapkan adanya keharusan bersuci, menutup aurat, memakai pakaian yang paling bagus dan memakai wangi-wangian ke mesjid dan lain lain.
Dalam masalah mua’malat hukum Islam melarang menjual barang najis, membeli atau menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
Dalam masalah pidana ( jinayat) hukum Islam menetapkan bahwa dalam peperangan melawan kafir diharamkan membunuh anak-anak, wanita para pendeta agama.

H. Urutan Pengutamaan Hukum
Berlakunya hukum yang bersifat dlarury merupakan tujuan syari’ah yang paling peting, karena hilangnya hukum yang menyangkut hal hal yang dlarury ini akan mengakibatikan kesulitan baik bagi perorangan maupun masyarakat. Setelah itu hukum yang bersifat tahsiny, karena tidak adanya hukum ini akan menimbulkan hal hal yang dibenci dan akan semakin menjauhkan tercapainya kesempurnaan hidup manusia.
Berdasarkan urutan urutan hukum tersebut di atas, maka sesuatu hukum yang bersifat tahsiny tidak akan dijalankan kalau sekiranya akan meninggal hukum yang bersifat haajy, dan hukum yang bersifat haajy tidak pula akan dipertahankan apabila akan mengabaikan hukum yang bersifat dlarury sendiri.
Contoh contoh :
o Dibolehkan membuka aurat, kalau diperlukan untuk berobat. Menutup aurat termasuk hukum tahsiny, sedangkan keharusan berobat untuk memelihara jiwa adalah hukum dlarury. Karena itu dalam hal ini hukum tahsiny ditinggalkan karena mengutamakan hukum dlarury.
o Boleh menggunakan barang najis untuk berobat dan dalam keadaan darurat. Laragan menggunakan barang najis termasuk hukum tahsiny, sedangkan perintah menolak bahaya dan berobat termasuk hukum dlarury,
o Kewajiban kewajiban agama harus dijalankan, meskipun membawa kesulitan kesulitan oleh karena menjalankan kesulitan termasuk dlarury, sedangkan menghindari kesulitan termasuk haajy, maka hukum haajy tidak perlu dijalankan kalau akan mengabaikan hukum dalalury.
Selanjutnya hukum hukum yang berhubungan dengan masalah dlarury tidak boleh ditinggalkan, kecuali kalau akan mengabaikan hukum dlarury lainnya yang lebih penting dari padanya. Dalam hal ini hukum dlarury lainnya yang lebih penting dari padanya. Hukum dlarury yang lebih rendah tingkatannya boleh ditinggalkan. Contoh-contoh :
o Berperang adalah wajib, meskipun bisa membawa kematian. Hal ini karena memelihara agama lebih penting dari pada memelihara jiwa
o Mengunakan narkotika untuk penngobatan orang sakit dibolehkan. Hal ini karena menjaga keselamatan jiwa lebih penting dari pada memelihara akal.

Manusia memikul amanat Tuhan untuk bertaqwa dan beribadah kepada Nya dengan melaksanakan segala perintahnya serta menjauhkan segala larangann-Nya.
Agar manusia dapat melaksanakan tugas suci dan mulia ini dengan sebaik baiknya, maka Allah memberikan anugerah kepada manusia unsur unsur potensial yang berupa akal sebagai alat dan pusat daya cipta dengan menumbuhkan kemampuan penalaran dan pemikiran, kalbu sebagai alat dan pusat daya rasa, dan karsa yang memperhalus dan mempelajari perasaan serta memperlurus dan memperkokoh kemampuan kehendak atau kemauan, juga indera dan anggota badan sebagai alat dan pusat daya karya dengan mengembangkan kekuatan fisik serta kemampuan berkarnya.
Dengan membina dan membangun kemampuan daya cipta, daya rasa, daya karya, anugerah Tuhan yang sangat tinggi nilainya ini secara terarah dan terpadu, maka terwujudlah pembangunan manusia seutuhnya, yang mencakup segi lahir maupun batin, fisik materil maupun mental spiritual
Peningkatan kemampuan daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya haruslah seimbang dan berkesenambungan, misalnya hanya mengutamakan penalaran dan pemikiran semata , sebab dengan demikian berarti hanya membangun manusia sebahagiannya, yakni hanya membangun kepala manusia tanpa badan dan tanpa anggota.
Menurut syari’ah kemampuan daya cipta, daya karsa, dan daya karya tersebut wajib dimanfaatkan semaksimalnya untuk kemaslahatan hidup, kehidupan penghidupan manusia beserta lingkungannya agar memperoleh ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akherat.
Manusia bertanggung jawab terhadap Allah tentang pendayagunaan potensi akal, kalbu dan fisiknya itu.
Pengamalan syari’ah di muka bumi adalah kewajiban manusia yang beriman, dan hal ini akan dipertanggungjawabkan ke hadirat Allah swt.
Orang yang beriman tiap kali mengucapkan kalimat syahadat berarti mengikatkan diri dan berjanji untuk tetap beriman, taat, patuh, takwa kepada Allah dan penuh rasa tanggung jawab dalam menjalankan syari’ah.
Ayat ayat yang bertalian dengan janji itu, antara lain :
1. Firman Allah :








Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu ) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji dan pewrbuatan musuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamuberjanji dam janganlah kamu membatalkan sumpah sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi mu terhadap sumpah sumpah itu) sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (An-Nahl 90-91)
Firman Allah


Artinya : Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya (Al – Isra : 34)

Syari’ah
Syari’ah ialah peraturan Allah bagi manusia yang disampaikan melalui rasul rasul Nya berupa ketentuan ketentuan hukum, baik yang bersifat I’tiqadiyah (Akidah), Khlulqiyah (Akhlak) maupun Amaliyah (Amal perbuatan).
Ketentuan ketentuan yang bersifat akidah dibahas dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuludin atau Ilmu Tasawuf sedangkan yang bersifat amal dibahas dalam Ilmu Fiqih atau Ilmu Syari’ah atau Ilmu Hukum Islam.
Secara luas, Syari;ah meliputi hukum tentang akidah, hukum tentang akhlak, serta hukum tentang amal. Tetapi secara sempit, syari’ah lazim dipakai untuk maksud hukum yang bertalian dengan amal perbuatan saja.
Syari’ah atau disebut juga Fiqih Islam ialah hukum yang mengatur tentang bagaimana semestinya seorang manusia itu bersikap, bertutur kata, bertingkah laku, bertindak tanfuk serta berbuat terhadap Allah, terhadap dirinya maupun terhadap sesama makhluk, baik manusia maupun selain manusia, yakni alam sekitar berupa benda, tumbuh tumbuhan maupun binatang.
Materi syari’ah meliputi enam komponen atau sub sistem yaitu Hukum Ibadat (peribadatan), hukum Muamalat (pergaulan atau hubungan kerja), muhkamat (perkawinan), muwaratsat (perwarisan) Jinayat (Pidana) dan siyasat (kenegaraan).
Semua ketentuan ketentuan Allah tentang berbagai bidang hukum tersebut harus dapat dilaksnakan oleh subyek hukum, yakni manusia yang lazim disebut istilah mukallaf (orang yang dibebani taklif atau beban hukum).
Di dalam kedaulatan rakyat ada “kedaulatan Allah swt”. Keutamaannya adalah berdasarkan keinsafan bahwa dialah yang paling agung karena langsung bersumber kepada Allah yang telah berkenan mempercayakan kepada manusia tugas dan tanggung jawab ikut serta memelihara keselamatan di atas bumi (QS. 2:30;6 : 165)
Jelas bahwa syahadat Islami mengandung tugas yang sangat mulia, suatu kewajiban yang mesti dilakukan karena Allah dan untuk Allah demi keselamatan makhluk Nya dibumi ini. Karena itu hendaklah dipahamkan bahwa menjalankan amanah Allah itu wajib dilakukan dengan penuh dedikasi tanpa pamrih.



BAB II
DASAR-DASAR FIQIH ISLAM
A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menanggap baik terhadap sesuatu. Istihsan menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah meninggalkan qiyas jali (Qiyas yang nyata) untuk berpindah kepada qiyas khafi (Qiyas yang samar-samar) atau meninggalkan hukum kuli untuk berpindah kepada hukum juz’I atau hukum istisna’I (pengecualian) disebabkan terdapat dalil yang membenarkan kepindahan menurut logika.
Jika seseorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa tetapi tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, maka seorang mujtahi ini menggunakan Qiyas untuk mengetahui hukum tentang peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya. Di dalam menetapkan hukum menurut istihsan ialah menggunakan Qiyas yang samar-samar dengan meninggalkan qiyas yang nyata. Demikian juga seorang mujtahid menemukan satu peristiwa, ia dalam menetapkan hukum itu menggunakan ddalil ististnai dan meninggalkan dalil yang bersifat kuli. Kedua cara yang ditempuh oleh mujtahid itu disebabkan karena terdapat kebaikan yang dapat diterima oleh logika.
2. Macam-macam Istihsan
Berdasarkan pengertian Istihsan menurut syara’, berarti istihsan dapat dibagi menjadi dua bagian :
a. Istihsan yang mengutamakan qiyas khafi dar pada qiyas jali. Contoh :
1) Apabila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka menurut qiyas hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan lorong-lorong di ats tanah tersebut tidak termasuk yang diwaqafkannya jika tidak disebutkan pada waktu penyerahan tanah waqaf itu, Menurut istihsan jika seseorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian maka hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu seperti pengairan dan hal-hal yang ebrkaitan dengan tanah itu termasuk di dalam pengertian waqaf secara langsung. Adapun segi istihdannya ialah bahwa tujuan berwaqaf itu ialah untuk memberikan manfa’at sesuatu benda yang diwaqafkan kepada yang diberi waqaf.
2) Sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti burung rajawali burung elang dan sebagainya menurut istihsan adalah suci, jika sisa minuman dari burung-burung yang diharamkan dagingnya adalah najis karena diqiyaskan dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas seperti singa, harimau, serigala dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena hukum sisa minuman dari binatang-binatang buas itu mengkuti kepada hukum dagingnya yaitu haram sehingga minuman sisa binatang-binatang itu menjadi najis
Dalam hal ini seorang mujtahid tidak menggunakan qiyas jalli yaitu qiyas sisa munuman burung-burung buas kepada sisa minuman binatang buas; tetapi berpindah kepada qiyas khafi yaitu mengkiyaskan paru burung-burung buas itu dengan tulang. Tulang jika menjadi air, maka air yang terkena tulang itu tidak menjadi najis. Demikian juga air sisa burung-burung buas itu meminumnya melalui paruh yang dapat diqiyaskan dengan tulang.
b. Meninggalkan hukum kulli untuk beralih kepada hukum istihsan. Contoh :
1) Menurut hukum kulli (prinsip secara umum), syara’ melarang memeperjualbelikan barang-barang yang belum yang belum ada pada saat aqad terjadi. Tetapi menurtu hukum ististanai menjalankan salam (jual beli dengan pembayaran terlebih dahulu tetapi benda yang dijual belikan dikirim kemudian) menurut istihsan diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena ada sesuatu yang dianggap membawa kebaikan dalam kehidupan. Hukum kulli menetapkan tidak sah menjalankan jual beli dengan cara salam, tetapi menurut hukum istitsnai jual beli secara salam ini dibenarkan menurut istihsan.
2) Seseorang yang ditahan untuk membelanjakan hartanya karena pemboros menurut hukum kulli tidak sah menjalankan transaksi. Tetapi menurtu istihsan seseorang yang beramal sosial dari hartanya sendiri diperbolehkan karena terdapat kebaikan di dalam pelaksanaan beramal sosial daris eseorang yang ditahan untuk mentasharufkan hartanya karena pemboros.
3. Kehujjahan Istihsan
Pada dasarnya istihsan ini tidak berdiri sendiri sebagai sumber hukum tetapi termasuk di dakam qiyas, atau merupakan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli. Hal ini disebabkan karena mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Para ulama yang berpegang kepada istihsan sebagai sumber hukum kebanyakan alasan sebagai berikut : Menetapkan dalil dengan istihsan sebenarnya adalah penggunaan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jali atau mengecualikan suatu hukum dari hukum kulli karena kedua usaha ini mengandung masalahp-masalah dan usaha menetapkan dali dengan dua cara seperti ini adalah termasuk usaha yang shahih. Selain usaha-usaha Hafiyah maupun fuqoha Malikiyah baru memakai dalil istihsan apabila penerapan hukum berdasarkan qiyas jali itu mengakibatkan kejanggalan dan ketidakadilan. Menurut Imam Syafi’I istihsan itu adalah berarti menetapkan suatu hukum syara’ menuurut kemauan hawa nafsu. Letak perbedaan antara ulam ayang pro dan ulama yang kontra terhadap istihsan ialah pemahamannya terhadap ungkapan istihsan sendiri. Bagi yang kontra terhadap istihsan menganggap bahwa istihsan itu adalah usaha untuk menetapkan hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata-mata didasarkan kepada hawa nafsunya. Padahal sebenarnya dimaksud dengan istihsan itu adalah sah untuk mendapatkan kemaslahatan dalam kehidupan.

B. ISTISHHAB
1. Pengertian Istishhab
Istishhab menurut bahasa artinya pengakuan terhadap hubungan pernikahan. Menurut istilah ulam Ushul Fiqih istishhab ialah menetapakan sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan tersebut. Atau menurut ibarat lain istishhab ialah menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa yang lalu secara abadi berdasarkan keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Contoh :
Amin menikahi Aminah secara sah. Setelah itu Amin meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian yang saha. Dalam keadaan Aminah ditinggalkan oleh suaminya ada seorang yang ingin menikahi Aminah bernama Ahmad. Keinginan Ahmad untuk menikahi Aminah tidak dapat dilangsungkan karena Aminah menurut status hukumnya adalah istri dari Amin. Selama tidak ada bukti bahwa Aminah telah dicerai oleh Amin maka status Aminah tetap sebagai istri Amin.
2. Macam-macam Istishhab
Istishhab ada dua macam yaitu :
a) Istishhab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau bara atul ahsliyah (kemurnian menurut aslinya). Contoh :
1) Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah hukumnya. Hal ini disebabkan karena Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini dapat dimanfa’atkan oleh seluruh manusia
2) Ketetapan tidak wajib menjalankan shalat fardh 5 kali dalam sehari semalam adalah berdasarkan istishhab kepada hukum akal dengan bara-atul ashliyah (bebas menurut aslinya). Hal ini disebbakan karena tidak ada dalil yang menetapkannya.
b) Istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil yang mengubahnya.
Contoh : Hukum-hukum yang diciptakan oleh syar’I berdasarkan sebab-sebab tertentu. Oleh karena itu apabila sebab-sebab itu dengan yakin maka tercipatalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. Dalam suatu contoh yang lebih nyata apabila ada seserang yang berwudlu, kemudian ragu apakah sudah bata atau belum, maka ia dihukum sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudlu berdasarkan istishhab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya. Pada umumnya orang Ushul Fiqih berpendapat bahwa istishhab merupakan tempat fatwa yang berakhir untuk mengetahui sesuatu berdasrkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yange mengubahnya. Hal ini merupakan metode di dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan manusia pada penetapan hukum mereka. Sebagai contoh serang yang bepergian dengan tisak diketahui kabar beritanya apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dan tidak diketahui pula tinggalnya, orang seperti ini secara hukum ia ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan keadaan semual sewaktu ia bepergian sampai ada bukti yang menunjukkan kematiannya.

C. MASHALIHUL MURSALAH
1. Pengertian Mashalihul Mursalah
Yang dimaksud dengan mashalihul mursalah ialah suatu kemaslahatan yang ditetapkan oleh syara’ dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkannya. Mashlahajh seperti ini disebut dengan mashalahat mutalak karena tidak terkait oleh dalil yang menyatakan benar atau salah. Adapun mashlahah yang ditetapkan oleh dalil syara’ disebut dngan mashlahah mu’tabarah. Contoh mashlahah mursalah ialah kemaslahatan yang dilaksnakan oleh para sahabat di dalam mengisyaratkan adanya penjara, dicetaknya mata uang, ditetapkanya pajak penghasilan dan kemaslahatan0kemaslahatan yang lain yang diadakan berdasarkan keperluan dalam kehidupan.
Adapun contoh mashlahah mu’tabarah uaitu mashlahah dalam pemeliharaan kehidupan ummat manusia berupa hukum qishas, hukum potong tanganbegi pencuri yang sudah sampai kepada nisab atau dara bagi orang yang zina dan hukum-hukum lain yang telah ditetapkan berdasarkan dalil nash. Sedangkan mashlahah yang tidak terdapat dalam nash-nash syara’ inilah yang disebut dengan mashlahah mursalah.
Contoh lain yang dapat dikemukakan ialah seseorang yang mengadakan transaksi jual beli untuk dinyatakan dengan tidak tercata, tidak dapat dipakai dasar untuk dinyatakan bahwa beli itu tidak sah berdasarkan kepada mashlahah.
2. Kehujjahn Mashlahah Mursalah
Jumbur ulama menetapkan bahwa mashalaha mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum berdasarkan alasan sebagai berikut
a. kemaslahatan manusia itu berkembang dan bertambah terus, mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan ini hanya mempedomani kepada kemaslahatan yang terdapat pada nash saja maka ada kemungkinan pada periose teertentu akan mengalami kekosongan hukum, dan dengan demikian hukum Islam tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan hukum Islam ialah untuk menciptakan kemaslahatan manusia pada semua tempat dan waktu.
b. Menurut penelitin bahwa hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang diproduksi oleh para sahabat tabi’in dan imam-imam mujtahid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Kalau sesudah periode itu tidak ada lagi prduk kemaslahatan maka keadaan umat setelah periode ini akan menemui kesulitan dalam menghadapi kehidupan.
3. Syrat-syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Untuk menjadikan mashlagag mursalah sebagai hujjah harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut :
a. Maslah tersebut haruslah mashahah yang haqiqi bukan hanya berdasarkan kepada perkiraan saja. Jadi masalah ini adalah mashlahah yang benar-benar dapa membawa manfaat dan dapat menolak kemudharatan.
b. Kemaslahatan itu hendaklah kemashlahatan yang umum bukan kemashlahatan yang khusus untuk seserang. Oleh karena itu kemashlahatan itu harus dimanfa’atkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemadharatan yang menimpa orang banyak.
c. Kemasghlahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang tekah digariskan oleh nash atau ijma’.

D. ‘URF (ADAT KEBIASAAN)
1. Pengertian ‘Urf
‘Urf (adat kebiasaan) adalah segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia dan telah dibiasakan oleh mereka dan dijalankan secara terus menerus baik berupa perkataan atau perbuatan. Sebab contoh ‘urf dalam bentuk perkataan mislanya perkataan w\”walad” (anak) menurut bahsa sehari-hari hanya termasuk dalam perkataan walad. Itu. Contoh yang lain perkataan “lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak termasuk daging ikan.
Se bagai contoh ‘urf yang berupa perbuatan (‘urf amali) seperti jual beli dengan cara pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas benda yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab qabul karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.
‘Urf berbeda dengan ijma’ karena ‘urf itu terjadi berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan mereka. Sedang ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari kalangan para mijtahidin. Dalam ijma’ ini orang-orang umum tidak ikut dalam pembentukan ijma’.
2. Macam-macam ‘Urf
‘Urf ada 2 macam, yaitu ‘urf shahih (benar) ‘urf fasid (rusak.
‘Urf shahih ialah ada kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan ada kebiasaan itu tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan yang wajib. Hal ini dapat dicontohkan seperti adat kebiasaan dalam dunia perdagangan dengan pembelian secara indent (Pembelian dengan cara memberikan pembayaran terlebih dahulu sedangkan benda yang dibeli akan dterima oleh pembeli dalam waktu kemudian). Adat kebiasaan shahih juga dapat dicontohkan seperti pembayaran mahar secara kontan atau hutang, kebiasaan seseorang melamar dengan memberikan sesuatu kepada pihak perempuan sebagai hadiah dan bukan sebagai mahar. Masih banyak adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
‘Urf fasid ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan adat kebiasaan itu bertentangan dengan syari’at, mungkin karena membawa kepada menghalakan yang haram atau membatalkan yang wajib. Ada kebiasaan ini dapat dicontohkan seperti mengandung unsur syirik atau kebiasaan-kebiasaan yang diiringi dengan minum-minuman yang haram, dan sebagainya.
3. Kedudukan ‘Urf
a. ‘urf shahih dipelihara oleh mujtahid, di dalam menciptakan hukum-hukum Islam dan oleh hakim dalam memtuskan perkara yang diajukan oleh masyarakat. Adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat merupakang kebutuhan dan menjadi mashlahat di kalangan masyarakat itu. Selama itu tidak bertentangan dengan syari’at hendaknya kebiasaan itu tetap dipeliharanya. Dalam halini para ulama ahli Ushul Fiqih mencipatakan kaidah yang berbuny (adat kebiasaan itu meupakan syar’at yang ditetapkan sebagai hukum).
b. ‘urf fasid tidak perlu diperhatikan dan dipertahamnkan karena mempertahankan ‘urf fasid berarti menentang dalil syara’ atau membatalkannya. Oleh sebab itu kebiasaan mengadakan transaksi jual beli mengandung riba atau kebiasaan lain menghalalkan transaksi itu. Hanya saja transaksi seperti itu dapat ditinjau dari segi lain yaitu misalnya transaksi semacam itu sangat dibutuhkan, atau dari segi darurat baru transaksi itu dibolehkan untuk mengerjakannya. Jadi transaksi jual beli yang mengandung riba dibolehkan karena alasan darurat bukan karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh orang banyak.

E. SYAR’U MAN QABLANA (Syari’at Sebelum Islam)
Apabila Al-Quran atau Hadits Shahih menerangkan tentang suatu hukum yang diisyaratkan oleh Allah SWT kepada ummat sebelum Islam, kemudian Al-Quran atau hadits tersebut menetapkan bahwa ulama sepakat bahwa hukum itu adalah merupakan syari’at bagi kita sebagai hukum yang harus diikuti. Hal ini dapat dicontohkan seperti kewajiban puasa yang diwajibkan bagi ummat sebelum Islam dan juga bagi kita selaku ummat Islam.
Allah SWT berfirman




Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al-Baqarah : 183)
Demikian juga jika Al-Quran atau Hadits shahih menerangkan tentang suatu hukum yang disyari’atkan bagi ummat terdahulu kemudian hukum itu disusul oleh dalil syara’ yang membatalkannya maka para ulama juga sepakat bahwa hukum itu bukanlah merupakan hukum syara’ bagi kita. Hal ini dapat dicontohkan seperti syari’at yang berlaku pada zaman Nabi Musa A.S., bahwa seserang berbuat maksiat tidak dapat diampuni dosanya kecuali ia membunuh dirinya. Demikian juga pakaian yang terkena najis tidak dapat disucikan kembali sebelum dipotong bagian yang terkena najis itu.
Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang dilakukan oleh ummat Nabi Musa AS antara lain ialah firman Allah SWT :


Artinya : dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.(Hud : 3)
Taubat menurut syari’at Islam harus memenuhi tiga syarat yaiu berhenti dari berbuat ma’siat, menyesali perbuatan ma’siat yang dikerjakan dan berniat tidak akan mengulangi lagi perbuatan ma’siat itu.
Adapun dalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang terkena najis bagi kamu Nabi Musa ialah Firman Allah SWT.

Artinya : dan pakaianmu bersihkanlah, (Al-Mudatsir : 4)
Hukum yang diterangkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak ada nash yang menunjukkan bahwa hal itu wajab bagi kita sebagaimana diwajibkan juga kepada mereka atau diperselisihkan oleh para ulama. Allah SWT berfirman sebagai berikut :







Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah : 32
Untuk selanjutnya Allah SWT berfirman :



Artinya : Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (Al-Maidah :45)
Dalam hal ini menurut kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syari’at yang ditetapkan untuk ummat Bani Israil juga berlaku bagi ummat Islam karena ayat ini tidak dinashahkan oleh dalil lain. Dengan demikian maka orang Islam yang membunuh kafir dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh perempuan harus dihukum qishas sebagaiman hukum yang berlaku bagi orang-orang Bani Israil. Menurut ayat ini bagi orang yang membunuh orang lain harus dibunuh juga, dengan tidak membedakan antara muslim dan kafir dan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayar’at yang berlaku untuk ummat terdahulu tidak berlaku bagi ummat Islam sekarang ini. Hal ini disebabkan karena syari’at yang berlaku bagi umat kita sekarang ini telah menashahk (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan bagi ummat sebelum kita, kecuali ada dalil yang menetapkan bahwa syari’at itu juga berlaku bagi kita.



F. SADDUDZ DZARAI’
1. Pengertian
Saddudz Dzarai’ ialah menutup pintu-pintu (melarang perkara-perkara) yang menurut dzhairnya adalah mubah tetapi perkara itu menjadi pendorong untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’.
2. Kedudukan Saddudz Dzarai’
Imam Malik menetapkan adanya Saddudz Dzarai’ sedang kebanyakan ulam ayang lain tidak menetapkannya. Menurut Imam Malik bahawa hal-hal yang mudah itu harus dilarang kalau memang benar-benar membuka jalan ke arah ma’siat. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal yang mudah itu tidak boleh dilarang karena hukum ashalnya ialah mubah. Adapun alasan bagi ulam ayang berpendapat melarang yang mubah yang akan membuka jalan kearah yang ma’siat ialah hadits sebagaimana berikut ini :


Artinya : “Tinggalkan apa yang meragukan padamu kepada yang tidak meragukan.” (HR. Tirmidzi)
Hadits lain menyatakan sebagai berikut :


Artinya : “Siapa yang berputar-putar di sekitar larangan-larangan Tuhan ia akan jautuh di dalamnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Agar seorang tidak terjatuh di dalam satu larangan hendakalah menjauhkan diri dari larangan itu.

G. MASDZHAB SHAHABI
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah perkataan para sahabat Nabi yang bukan berdasarkan kepada pemikiran semata-mata adalah menjadi hujjah bagi ummat Islam. Yang demikian karena apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohkan seperti perkataan Aisyah r.a. :



Artinya : “Kandungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih panjang bergesernya bayang-bayang benda yang ditancapkan dari dua tahun”. (HR Ad-Daruqthni)
Menurut keterangan Aisyah ra. Ini bahwa waktu mengandung maksimal adalah dua tahun tidak lebih sedikitpun. Pendapat ini tidaklah semata-mata hasil ijtihat atau pwnywlidikan yang dilakukan oleh Aisyah ra. Dengan demkikian keterangan ini adalah bersumber dari apa yang telah didengarnya dari Rasulullah SAW, meskipun secara lahiriyah pendapat ini diungkapkan oleh Aisyah ra.
Demikian juga perkataan shahabat yang lain adalah menjadi hujjah bagi orang Islam. Dalam hal ini disebabkan persesuaian antara para sahabat dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW. Pengetahuan para sahabat yang mendalam mengnai rahasias-rahasia syari’ah itu adalah menjadi bukti berdasarkan kepada dalil yang qoth’I dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat dicontohakan seperti keputusan khalifah Abu Bakar ra mengenai bveberapa orang nenek yang mewariskan bersama-sama mendapatkan seperenam harta peninggalan yang dibagikan kepada mereka secara merata. Dalam hal ini tidak seorang sahabat pun yang bereaksi keputusan Khalifah Abu Bakar ini.
Adapun perkataan para sahabat yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabt ini dapat dijadikan sebagai hujjah. Selanjutnya Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila aku tidak mendapat ketentuan dari kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku meninggalkan pendapat sahabat lain yang tidak kukehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat para sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain pendapat sahabat”. Perkataan Imam Abu Hanifah membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat. Dalam hal ini Imam Abu Hanfah tidak mengambil qiyas selama masih ada fatwa dari shahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang saja yang dikehendaki.
Imam Syafi’I tidak sependapat, jika pendapat salah seorang sahabat itu menjadi hujah. Imam Syafi’I membolehkan melawan pendat seluruh sahabat untuk berijtihad menteapkan pendapat para sahabat itu tidak lain adalah kumpulan ijtihan perorangan yang tidak luput dari kesalahan. Seorang sahabat dapat berpendapat berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain, maka para mujtahid setelah sahabatpun demikian juga halnya. Oleh sebab itu Imam Syafi’I berpendapat : “Menetapkan hukum atau memberi fatwa tidak boleh selain berdasarkan dengan dasar yang kuat yaitu Al-Kitab, Al-Hadits, pendapat para ahli yang tidak diperselisihkan atau qiyas kepada salah satu yang telah disebutkan.

H. DILALAH IQTIRAN
1. Pengertian
Dilalah Iqtiran ialah apabila ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan yang lain karena kedua-duanya disebut bersama-sama dalam dalil itu juga. Iqtiran artinya bersama-sama (berbarengan).
2. Pendapat Ulama tentang Dilalah Iqtiran
Sebagian golongan Hafiyah dan sebagi golongan Syafi’iyah serta sebagian golongan Malikiyah menggunakan dilalah iqtiran menurut jumhur ulama mereka tidak membenarkan untuk menetapkan dilalah iqtiran yaitu bahwa kuda tidak wajib dizakati sebagaiman keledai juga tidak wajib dizakati. Kedua-duanya disebvutkan bersama-sama dalam satu ayat sebagaiman Firman Allah SWT berikut ini :




Artinya : dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (An-Nahl : 8)
Jika keledai tidak wajib dizakati maka kudapun tidak wajib dizakati juga. Dalam hal ini wau athaf menunjukkan bersekutu (berbarengan) tentu saja bersekutu di dalam hukumnya. Kalau yang satu wajib yang lainnya juga wajib. Bagi yang berpendapat bahwa dilalah iqtiran tidak dapat dijadikan sebagai hujjah bahwa dua hal yang hukumnya sama yang disebutkan secara berbarengan bukan karena dilalah iqtiran tapi semata-mata karena keduanya itu mempunyai ilalat yang sama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT sebagi berikut :


Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, (Al-Fath : 29)
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad SAW adalah Rasul Allah sedangkan orang-orang yang besertanya tidak ikut menjadi Rasul, mereka ini keras terhadap orang-orang kafir.




BAB V
KAIDAH-KAIDAH/POKOK-POKOK FIQIH ISLAM
A. AMAR DAN NAHI
1. Pengertian Amar
Amar menurut istilah ulama ahli Ushul Fiqih ialah perintah dari atasan kepada bawahannya. (dari Tuhan kepada manusia), tentang sesuatu perbuatan yang harus dilakukan.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa amar itu suatu perintah yang harus dilakukan oleh orang yang diperintah yang datangnya dari atas kepada bawahannya. Dalam hal ini perintah-perintah itu tercantum di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut pengertian ini perintah atau permintaaan sesuatu kepada sesamanya yang sederajat (iltimas) atau permintaan sesuatu dari bawahan kepada atasan (du’a) maka kedua-duanya itu tidak termasuk dalam lingkup amar.
2. Bentuk-bentuk Amar
a. Fi’il amar
Contoh :

Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku (Al-Baqoroh : 43)
b. Fi’il Mudhari’ yang didahulul oleh lam Amar
Contoh :



Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (Ali Imran : 104)
c. Isim Fi’il
Contoh :



Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (Al-Maidah : 105)
d. Jumalah khbariyah (kalimat berita) yang diartikan sebagi jumlah isyaiyah (kalimat yang mengandung tuntunan)
Contoh :


Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqoroh : 228)
Bentuk-bentuk amar selain yang dikemukakan pada uraian sebelumnya masih ada lagi bentuk amar yang lain.
Menurut kaidah yang asli bagi bentuk amar adalah utnuk mewajibkan sesuatu perintah yang terkandung di dalam amar itu. Tetapi jika ada suatu keterangan yang dapat mengalihkan lafadz amar itu dari arti wajib kepda arti yang lain maka bentuk amar itu dimaksudkan sebagaimana dikehendaki oleh qarinah (keterangan) tersebut. Dalam hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut :
1) Amar yang menunjukkan nad atau sunnat
Contoh :


Artinya : …. hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, …. (An-Nur : 33).
2) Amar yang menunjukkan Irsyada atau pengarahan
Contoh :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Al-Baqoroh : 282).
3) Amar yang menunjukkan Ibahah atau membolehkan
Contoh :

Artinya : ….dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (Al-Baqoroh : 187).
4) Amar yang menunjukkan Doa atau berdoa
Contoh :

Artinya : …"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
5) Amar yang menunjukkan ta’jiz taua memperlihatkan kelemahan lawan
Contoh :

Artinya :…. Maka buatlah satu surat (saja) semisal Al-Quran itu …. (Al-Baqoroh : 23).
6) Amar yang menunjukkan tahdi anacaman
Contoh :

Artinya : …. perbuatlah apa yang kamu kehendaki …. (Fushilat : 40)
7) Amar yang menunjukkan indzar atau menakut-nakuti
Contoh :


Artinya : Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka" (Ibrahim : 30).
8) Amar yang menunjukkan ikram atau menunjukkan penghormatan
Contoh :

Artinya : "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman" (Al-Hijr : 46)
9) Amar yang menunjukkan tskhir (merendahkan)
Contoh :

Artinya :jadilah kamu kera yang hina ( Al-Baqoroh : 65)
10) Amar yang menunjukkan ihanah (penghinaan)
Contoh :

Artinya : Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.(Ad-Dukhan : 49).
3. Nahi dan Larangan
a. Pengertian
Nahi ialah perintah meninggalkan suatu perbuatan dari atasan kepada bawahannya.
Yang dimaksud dengan larangan dari atasan kepada bawahannya ialah larangan dari Tuhan kepada manusia. Nahi dalam bahasa lain sering disebut dengan mencegah (al-mani’)
Pada dasarnya nahi itu menunjukkan kepada hukum haram sebagai ulam ada yang berpendapat bahwa nahi pada dasarnya menunjukkan makruh tetapi jika ada satu qarinah (keterangan) yang menunjukkan bahwa nahi itu bisa saja untuk menunjukkan selain hukum haram. Contoh nahi yang menunjukkan hukum haram :


Artinya : “Janaganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ini” (Al-Baqarah : 11)
Contoh yang lain dapat dikemukakan sebagai berikut :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (Ali Imran : 130).
Adapun bentuk-bentuk nahi yang menunjukkan hukum yang tidak haram antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
1) Nahi yang menunjukkan karahah (makruh)
Contoh :
ﻝﺒﻻﺍﻥﺎﻄﻋﺃﻲﻓﺍﻮﻠﺼﺘﻻﻮ
Artinya :janganlah kamu shalat di kandang unta (H.R. Ahmad dan Tabrani).
2) Nahi yang menunjukkan do’a (mendo’a)
Contoh :

Artinya : (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)."(Ali Imran : 8)
3) Nahi yang menunjukkan Irsyad (memberi petunjuk baik)
Contoh :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu (Al-Maidah : 101).
4) Nahi yang menunjukan tahqir (meremehkan)
Contoh :

Artinya : Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), (Al-Hijr : 88).
5) Nahi yang menunjukkan ta’yis (putus asa)
Contoh :

Artinya : Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.(At-Tahrim : 7).

B. MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
1. Mutlaq
a. Pengertian Muthlaq
Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti sebenarnya dengan tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain.
Jadi lafadz muthlaq ini masih dalam keadaannya yang asli tanpa batas-batasan dengan sesuatu lafadz. Hal ini dapat kita conohkan seperti lafadz “aidiyakum” pada surat An-Nisa 43 tentang tayamum sebagai berikut :


Artinya: …. kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu
Dalam ayat ini mengusap tangan dengan tidak dibatasi (diterangkan) sampai dimana. Oleh karena itu lafadz “aidiyakum” tidak dibatasi lafadz lain.
Contoh lafadz muthlaq yang lain ialah lafadz “rokobah” yang artinya budak, tercantum dalam surat Al-Mujadilah : 3


Artinya: …. maka wajib atasnya memerdekakan budak … (Al-Mujadalah : 3).
Lafadz “rokobah” pada ayat ini tidak dibatasi dengan lafadz lain, artinya dalam memerdekakan budak tidak diterangkan budak yang bagaimana yang penting adalah budak baik yang mukmin atau yang tidak mukmin.
b. Pengertian Muqayyad
Muqayyad ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya yang dibatasi oleh sesuatu batasan tertentu. Batasan yang membatasi lafadz muqayyad yaitu (Al-qoyid). Contoh lafadz muqayyad yaitu disebut Al-Qoyyid yang tercantum pada Surat Al-Maidah ayat 6 yang menerangkan tentang cara berwudlu sebagai berikut :


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, ….
Dalam ini lafadz “aidiyakum” dibatasi oleh lafadz “ilal marofiki” sehingga lafadz “aidiyakum” disebut dengan Al-Muqayyad. Contoh lain yaitu lafadz “rokobatim mu’minatin” pada surat An-Nisa ayat 92 sebagai berikut :


Artinya : Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min karena tersalah (handaklah) ia memerdekakan seorang hamba yang beriman … (An-Nisa : 92).
Menurut ayat ini lafadz rokobah disebut muqayyad karena dibatasi oleh lafadz mu’minatin, lafadz mu’minatin ini disebut qaid.
2. Ketentuan Muthlaq dan Muqayyad
Apabila ada suatu lafadz di suatu tempat disebutkan dengan lafadz muthlaq sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayad maka ada 4 macam ketentuan
Pertama, Kedua lafadz itu kedua-duanya mempunyai persamaan dalam sebab dan hukumnya mak yang muthlaq harus diikuti kepada yang muqayyad. Contoh :


Artinya: Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi … (Al-Maidah : 3).
Lafadz “damaa” (darah) yang diharamkan oleh surat Al-Maidah ayat 3 disebutkan dengan lafadz muthlaq. Kemudian di dalam suarat Al-An’am ayat 145 Allah SWT menerangkan bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang mengalir, sebagai firmannya berikut ini :

Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi (Al-An’am : 145).
Pada ayat ini lafadz “damaa” (darah) dibatas dengan lafadz masfuuhaa (mengalir). Sesuai dengan ketentuan di atas bahwa yang muthlaq diikuti kepada yang, muqayyad, maka yang dikehendaki dengan darah yang tercantum dalam suart Al-Maidah ayat 3 adalah darah yang mengalir sebagaimana tercantum dalam surat Al-An’am ayat 145. Kedua ayat ini mempunyai sebab yang sama yaitu keadaannya sama-sama berupa darah dan juga mempunyai hukum yang sama yaitu kedua-duanya hukumnya haram.
Kedua, perbedaan sebab tetapi persamaan hukum. Demikian ini yang muthlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad, contoh :


Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.(Al-Mujadilah : 3).
Ayat yang lain menjelaskan sebagai berikut :

Artinya: Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min karena tersalah (handaklah) ia memerdekakan seorang hamba yang beriman … (An-Nisa : 92).
Menurut surat Al-Mujadilah ayat 3 yang menjadi sebab untuk memerdekakan budak ialah orang yang bersumpah dzihir kemudian menarik kembali. Sedangkan pada suart An-Nisa ayat 92 yang menjadi sebab memerdekakn buadak ialah karena ayat ini mempunyai hukum yang sama-sama memerdekakan budak
Karena dua ayat ini sama-sama menyebutkan lafadz “roqobah” yang satu dengan lafadz muthlaq dan yang lain dengan lafadz muqayyad kedua-duanya mempunyai sebab yang berbeda dan hukum yang sama yaitu sama-sama memerdekakan budak, maka dalam hal ini yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad; yaitu orang yang melakukan sumpah dzihar hukumnya memerdekakan budak tidak perlu budak mikmin, sedangkan orang yang membunuh mukmin yang bersalah hukumnya adalah memerdekakn budak yang mukmin.
Ketiga, perbedaan dalam hukum dan sebab maka yang muthlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Contoh :

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (Al-Maidah : 38).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:


Keempat, hukumnya tidak sama tetapi sebab yang diapakai untuk menetapkan hukum adalah sama. Demikian yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap pada muqayyadnya. Contoh :


Artinya: … bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. (An-Nisa : 43).
Bandingkan dengan ayat tentang wudlu sebagai berikut :

Artinya: … maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai sikut…(Al-Maidah : 6)
Pada ayat tentang tayamum cara mengusap tangan tidak dibatasi dengan suatu keterangan, tetapi ayat yang menerangkan tentang wudlu, membasuh tangan dibatasi sampai siku. Dalam hal ini sebabnya berbeda yaitu yang satu karena wudlu dan yang satu lagi sebabnya adalah karena tayamum. Tetapi keduanya mempunyai hukum yang sama yaitu sama-sama membasuh/mengusap tangan. Maka dalam hal ini yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad. Jadi membasuh tangan dalam wudlu sampai siku tetapi mengusap tangan pada tayamum mestinya pergelangan tgangan. Tetapi dalam hal ini ulama-ulama Syafi’iayah dalam menetapkan mengusap tangan ketika tayamum sampai kepada siku karena ada hdits yang menyatakan sebagai berikut:
Artinya :“Tayamum itu dua kali sapuan. Sekali sapu untuk muka dan sekali sapu pada kedua tangan sampai dengan kedua siku”. (H.R. Ad-Daruquthni)
Ulama Hanfiyah, ulama Malikiyah dan Hanabilah mewajibkan menyapu anggta tayamum hanya sampai pergelangan tangan saja, tidak sampai siku, sesuai dengan ketentuan diatas. Adapun hadit tayamum yang menjelaskan bahwa menyapu tangan itu sampai suiku, oleh beliau dipadang bukan sebagai hadits yang shahih.
C. MANTUQ DAN MAFHUM
1. Pengertian Mantug dan Mafhum
a. Pengertian Mantuq
Mantuq ialah sesuatu hal yang hukum yang diterangkan oleh sesuatu lafadz menurut bunyi lafadz itu sendiri (menurtu ucapannya).
Apabila sesuatu hal atau sesuatu hukum diambil berdasarkan bunyi dari dalil itu mak yang demikian itu disebut muthlaq. Jadi menurut mathruqnya yang dimaksudkan adalah menurut apa adanya yang terdapat dalam dalil itu. Contoh :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janjimu
Bunyi tersebut dalam ayat ini menunjukkan bahwa menepati janji itu hukumnya wajib (menurut manthuqnya), maka menepati janji itu hukumnya wajib.
b. Pengertian Mafhum
Mafhum ialah suatu hal atau hukum yang diterangkan oleh suatu lafadz tidak menurut bunyi lafadaz itu sensiri tetapi menurut pemahaman atau menurut makna yang terkandung dalam lafadz itu. Contoh firman Allah SWT sebagai berikut :


Artinya: Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, (At-Thalaq : 6).
Ayat ini mengandung hukum yang tidak tertulis (menurut mafhumnya) ialah peremopuan yang dithalaq yang tidak hami itu tif\dak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya.
c. Pembagian Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
Yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah ialah mafhum yang apabila hukum yang tidak disebut dalam lafadz itu sesuai dengan yang disebutkan dalam lafadz tersebut (tidak berlawanan), Contoh :

Artinya: “Maka janganlah berkata cis kepada kedua orang tua….” (Al-Isra : 23).
Menurut ayat ini berkata cis kepada kedua orang tua hukumnya haram, maka menurut mafhumnya memukul orang tua hukumnya haram juga karena kedua-duanya mempunyai illat yang sama yaitu sama-sama menyakiti hati. Jika di dalam mafhum muwafaqoh yang tidak disebut dalam lafadz itu keadaannya lebih berat daripada yang disebut dalam lafadz yang demikian itu disebut dengan fahwal khitab. Hal ini dapat dicontohkan seperti memukul orang tua dibanding dengan berkata cis, seperti yang diterangkan sebelumnya. Jika yang disebut dalam lafadz keadaannya lebih ringan atau sama berat dari apa yang disebutkan dalam lafadz, maka yang demikian itu disebut lahnal khitab. Hal ini dapat dicontohkan dengan mengucapkann lafadz yang kasar kepada orang tua.
2. Mafhum Mukahlafah
Yang dimaksud dengan masfhum mukhalafah ialah apabila hukum yang tidak disebut lafadz itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam lafadz itu. Contoh :

Artinya: Maka deralah mereka sebanya 80 kali (An-Nur : 4).
Menurut mafhum mukhalafah dari ayat ini, mendera lebih dari 80 kali hukumnya adalah haram karena berlawanan dengan ketentuan yang terdapat dalam lafadz nash itu.
Berhujjah dengan mafhum mukhalafah hukumnya mubah. Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama memperbolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah kecuali mafhum mukhalafah. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa menyebutkan sesuatu sifat belum tentu berarti meniadakan sifat-sifat yang lain, tetapi harus ada dalil lain yang menunjukkan. Kita tidak boleh mengambil hukum kebalikan yang terdapat di dalam nash dengan begitu saja tanpa ada dalil yang menentukannya.
a) Macam-macam mafhum Mukhalafah
1) Mafhum Sifat
Mafhum Sifat ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat ’anhu melalui sifat yang terdapat da;am manthuq.
Contoh :
Artinya: “… ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki (An-Nisa : 25).
Pada ayat ini dikatakan bahwa bagi seorang muslim yang tidak cukup belajanya untuk mengawani wanita yang mukmin maka ia boleh mengawini budak wanita yang mukmin. Berarti menurut mafhumnya tidak boleh mengawini wanita yang bukan mukmin.
2) Mafhum Ghayah
Mafhum Ghayah ialah menetapkan lawan hukum bagi maskut ‘anhu dengan melalui ghaya (balasan)
Contoh :
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.(Al-Baqoroh : 230)
Menurut ayat ini maka mafhum mukhalafahnya ialah halal mengawini mantan istri yang sudah ditalak tiga jika mantan istri itu telah dikawini laki-laki lain dan telah dicerai sesudah dikumpulinya.
3) Mafhum Syarat
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi dengan satu syarat.
Contoh :
Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya An-Nisa : 4).

Menurut manthuq dari ayat ini, seorang suami dibolehkan memakan sebagian maskawin yang pernah diberikan kepada isterinya dengan syarat bahwa isteri tersebut menyerahkan dengan suka rela. Mafhum mukhalafahnya yaitu suami tidak diperkenankan memakan maskawin apabila isteri tidak menyerahkan.
4) Mafhum ‘Adad
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi dengan bilangan yang sudah tertentu. Contoh :


Artinya: maka siapa yang tidak puas maka wajib memberi makan 60 orang miskin (Al-Mujadilah : 4).
Menurut manthuq bahwa kafarat dzihir itu bila tidak dapat memerdekakan budak hendaknya diganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Mafhum mukhalafahnya ialah tidak boleh memberikan makan itu kepada orang miskin yang kurang dari 60 atau bahkan lebih dari 60 orang.
5) Mafhum Laqab
Yaitu menetapkan lawan hukum mashut ’anhu dari hukum manthuq dengan isim alam (nama orang), isim sofat (yang menunjukkan kualitas atau aktivitas) dan isim jains (nama untuk materi tertentu). Contoh firman Allah sebagai berikut :


Artinya: ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: wahai ayahku sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang (Yusuf : 4).
Menurut ayat ini hanya Yusuf saja yang disebutkannya. Mafhum mukhalafahnya ialah selain Yusuf tidak dapat dimasukkan ke dalam orang yang melapor kepada ayah Yusuf.
6) Mafhum Hashar
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dihasharkan (dikhususkan hanya untuknya). Contoh sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “Hanyalah hak wala’ itu bagi orang yang memerdekakannya” (HR. Bukhari).
Menurut dalil manthuq ini bahwa hak mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah merdeka hanya bagi tuan yang telah membebaskannya. Menurut mafhum mukhalafahnya ialah bahwa selain tuan yang telah membebaskannya tidak mempunyai gak untuk mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah dimerdekakan itu.


D. MUJMAL DAN MUBAYYAN
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal ialah lafadz yang belum jelas yang tidak dapat menyebutkan arti yang sesungguhnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Contohnya lafadz quru’ dalam ayat 228 surat Al-Baqarah sebagai berikut :


Artinya: Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri tiga kali quru’ (Al-Baqoroh : 228).
Lafadz quru’ ini masih mujmal (belum jelas), mungkin berarti suci dan mungkin juga berarti haidh. Dalam hal ini harus ada dalil lain yang menjelaskannya. Menurut Imam Syafi’I lafadz Quru’ berarti suci menurut Imam Abu Hanifah lafadz quru’ berarti haidh.
Lafadz mujmal ada 3 macam yaitu :
a. Lafadz musyatarakyang sulit ditentukan, contoh seperti lafadz qur’an.
b. Ma’na lafadz-lafadz yang menurut bahasa dipindah oleh syari’ kepada ma’na yang pantas untuk istilah syari’ah. Contoh lafadz shalat, zakat dan lain-lain adalah lafadz-lafadz yang dipindahkan oleh syari’ dari ma’na menurut bahasa, kepada ma’na yang khas dalam istilah syari’at.
c. Ma’na lafadz-lafadz yang menurut ma’na yang umum dipergunakan oleh syara’ untuk satu ma’na yang khusus. Contoh ma’na; lafadz Al-Quran menurut syari’ah artinya sama dengan qiamat.
Yang dimaksud dengan mubayyan ialah lafadz yang telah mempunyai arti yang jelas. Jadi lafadz ini sudah jelas artinya tidak perlu membutuhkan kepada penjelasan (bayan) Contoh :

Artinya: Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (Al-Baqoroh : 20)
Ayat ini sudah jelas bahwa Allah ialah Tuhan, yaitu Tuhan yang dipercayai oleh ummat Islam yang berhak disembah dan dimintai segala sesutu. Dalam hal ini sudah jelas bahwa Allah adalah dzat yang Maha Kuasa. Karena jelasnya ibarat ini maka tidak perlu adanya bayan atau penjelasan.
Sedangkan lafadz mujmal yang merupakan lafadz yang belum jelas maka lafadz ini memerlukan bayan atau penjelasan. Yang dimaksudkan dengan bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari keadaan yang musykil (sulita artinya) kepada arti yang jelas.
2. Macam-macam Bayan
a. Bayan dengan perkataan
Contoh firman Allah swt dalam hal puasa tamutu’ :
Ayat ini sebagai bayan terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai pengganti kurban bagi orang yang meninggalkan wajib (sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 166)
Artinya: Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa hajji dan tujuh hari bila kamu telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna (Al-Baqoroh : 196).
b. Bayan dengan perbuatan
Hal ini seperti yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW mengenai cara-cara mengerjakan shalat, melakukan haji dan sebagainya.
c. Bayan dengan tulisan (surat menyurat)
Hal ini dapat dicontohkan seperti surat Abu Bakar kepada Anas selalu panitia zakat di daerah Basharah yang berisi penjelasan Rasulullah tentang macam-macam binatang ternak yang wajib dizakatkan serta masing-masing nasibnya.
d. Bayan dengan isyarat
Hal ini dapat dicontohkan seperti tindakan Rasulullah Saw memegang sutra di tangan kanannya dan emas ditangan kirinya kemudian bersabda : “Sesungguhnya dua macam ini adalah haram bagi orang laki-laki dari ummatku”.
e. Bayan dengan meninggalkan perbuatan setelah beberapa kali perbuatan itu dikerjakannya.
Sebagai contoh Rasulullah Saw pernah menjalankan do’a qunut selama sebulan untuk mend’akan suatu kabilah Arab yangmasih hidup dab akhirnya beliau tidak menjalankan lagi.
f. Bayan dengan diam sesudah ada pertanyaan
Hal ini dapat dicontohkan ketika Rasulullah menerangkan kewajiban haji di muka umum kemidia ada salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun. Beliau dia tidak memberikan jawaban atas pertanya itu. Diamnya Rasul Allah itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu bukan setiap tahun.
g. Bayan dengan macam-macam taksish
Contoh tentang hal ini diberikan pada pembahasan tentang takhsish.

E. MURAIF DAN MUSTARAK
1. Pengertian Muradif dan Mustarak
Muaradif ialah beberapa lafadz yang banya mempunyai arti yang satu. Di dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan sinonim. Hal ini dapat dicontohkan lafadz ﺭﺳﺍ dan ﺙﻴﻠ artinya singa : lafadz ﺔﻂﻧﺣ dan ﺢﻣﻗ artinya gandum. Lafadz mustarak ialah lafadz tetapi mempunyai dua arti atau lebih yang sebenarnya arti-arti itu berbeda-beda. Seperti lafadz ﺀﺭﻗ artinya suci atau haidh.
Jika arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain merupakan arti majaz maka yang demikian ini tidak termasuk lafadz musytarak.
2. Hukum Lafadz Muradif
Perbedaan pendapat dalam lafadz muradif ini hanya pada lafadz Al-Quran dan dzikir-dzikir dalam shaalt atu dzikir-dzikir yang lain. Imam Malik berpendapat tidak boleh membaca takbir kecuali dengan lafadz Allahu Akbar. Imam Syafi’I juga berpendapat seperti pendapat Imam Malik. Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan lafadz yang sama artinya dengan Allahu Akbar seperti Allah A’dzam atau Allahu ’Ala atau Allahu Ajjal. Sebab perbedaan pendapat ini ialah apakah kita beribadah dengan lafadz dan ma’nanya atau cukup dengan ma’nanya saja.
3. Hukum Lafadz Musytarak
Apabila ada lafadz musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki ialah salah satu artinya, amka dengan sendirinya lafadz musytarak itu ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena tidak mingkin kita bisa beramal, kecuali dengan cara mengetahui maksud dari lafadz itu yang sebenarnya. Oleh karena itu tiap-tiap lafadz musytarak yang ada di dalam nash baik Al-Quran amaupun Hadits Nabi harus disertai dengan qarinag; qarinah qauliyah (perkataan) atau qarinah haliyah (keadaan/suasana). Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut :

Artinya: istri-istri yang diceraikan hendaklah berdiam diri tiga kali suci/haid
Lafadz quruin ini mempunyai dua arti yaitu haidh dan suci. Yang dikehendaki oleh ayat ini menurut pendapat Imam Syafi’I ialah suci. Keterangan tentang hal ini adalah sebagai berikut :
Arti quru’an semula ialah waktu yang tertentu. Waktu yang tertentu itu hanya terdapat dalam dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang kepada keadaan yang asal. Maka yang bergilirahn di dini tidak lain adalah datang bulan atau haidh, sebab suci adalah keadaan yang asal. Dari contoh ini dapat diketahui bahwa yang dimaksud lafadz musytarak di sini hanya salah satu artinya saja. Qarinah tentang ini adalah qarinah haliyah (keadaan).

F. DZAHIR DAN TA’WIL
1. Pengertian Dzahir dan Ta’wil
Yang dimaksud dengan dzahir ialah dalil yang dapat menerima ta’wil. Suatu dalil yang memungkinkan untuk dita’wil atau memerlukan ta’wil agar terdapat salah faham sehingga arti tadi bisa lebih sesuai maka dalil yang seperti ini disebut dengan lafadz dzahir. Contoh firman allah SWT sebagai berikut :


Artinya: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah (Al-Baqoroh : 88)
Lafadz dita’wil dengan dzat Allah itu sendiri. Jadi ungkapan maka Tuhan berarti Dzat Tuhan itu sendiri.
Yang dimaksud dengan ta’wil ialah membolehkan kalimat dari dzahirnya kepada arti lain inilah yang dianggap tepat.
2. Syarat-syarat Ta’wil
Ta’wil harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Ta’wil harus sesuai dengan kaidah-kaidah Bahsa dan sastra Arab
b. Ta’wil itu biasa dipergunakan sepanjang pengertian bahasa.
c. Ta’wil sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ yang berlaku.
d. Ta’wil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang ta’wilnya itu.
e. Jika ta’wil itu berdasarkan qiyas haruslah memakai qiyas yang jelas dan kuat.
3. Macam-macam Ta’wil
Ta’wil ada 2 macam yaitu ta’wil soal-soal pokok seperti soal-soal kepercayaan, sifat-sufat Tuhan dan Pokok-pokok agama. Ta’wil terhadap soal-soal pokok seperti ini diperselisihkan oleh para ulama. Contoh soal-soal Ushul dapat dikemukakan sebagai berikut :


Artinya: Tuhan yang maha pemurah yang bersemayam di atas Arasy (Thaha : 5)
Ayat ini disebutkan dengan ayat mutasyabih (ayat yang samar-samar). Menurut dzihir ayan ini Tuhan sama dengan makhluk karena ia bertempat tinggal yaitu di Arasy. Yang dimaksudkan dengan ayat ini tentulah dzahir dari ma’na yang terkandung di dalam ayat. Menurut ulama salaf ayat-ayat mutasybihat ini diserahkan pengertian yang sebenarnya kepada Allah Swt semata. Tapi menurut kalangan ulama tertentu agar ayat ini tidak menghawatirkan terhadap keimanan orang-orang yang masih lemah imaknnya maka ayat ini fita’wil. Istawa dita’wilkan dengan berkuasa. Dalam ayat lain “yadum” di ta’wil dengan “qudrah” (kekuasaan).
4. Ta’wil dalam soal-soal Furu’
Ta’wil ini yang telah disepakati oleh para ulama ahli Ushul Fiqh. Ulama Syafi’I membagi ta’wil ini kepada dua bagian yaitu ta’wil dekat dan ta’wil jauh. Yang dimaksud dengan ta’wil yang jauh ialah suatu ta’wil yang tidak dikandung oleh perkataannya. Ta’wil dekat ialah memindahkan suatu perkataan dari artinya yang lahir. Dengan demikian antara ta’wil dengan lafadz yang dita’wil masih ada hubungan.

G. NASIKH DAN MANSUKH
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Ungakapan nasikh menurut bahasa artinya sama dengan memndahkan atau membatalkan dan menghilangkan.
Nasikh menurut syara’ ialah penghapusan syar’I terhdap suatu hukum Islam dengan suatu dalil syar’I yang datang kemudian. Contoh penghapusan terhadap keharaman berziarah kubur dakan sabda Nabi SAW sebagai berikut :
Artinya : “Dahulu saya melarang kamu berziarah kubur, sekarang berjiarah ke kuburan karena hal itu dapat mengingatkan tentang keakhiratan (HR. Muslim dan Abu Daud).
Menurut hadits ini semula ziarah ke kubur itu hukumnya haram. Kemudian sekarang ini hukum berziarah ke kubur itu sudah dimansukh. Yang manasikh harmanya ziarah kubur adalah hadits nabi itu sendiri dengan sabdanya alaa “fuzuruhaa”. Hukum yang telah dihapuskan disebut dengan mansukh dan lafadz yang menghapuskan hukum itu disebut dengan naskh.
2. Dasar dan Hukum Naskh
a. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :



Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Baqoroh : 106).
b. Firman Allah ayat 101 surat An-Nahl sebagai berikut :



Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(An-Nahl : 101)
Perbedaan pendapat para ulama tentangayat-ayat tersebut yang mengisyaratkan adanya naskh dan perbedaan ayat ini membawa perbedaan pendapat tentang ada atau tidaknya naskh di dalam Al-Quran. Ada sebagian ulama yang mengingkari adanya naskh, dan sebagian besar ulama mengakui adanya naskh.
Adanya golongan ulama antara lain Imam Abu Muslim Al-Asfihani mengingkari adanya naskh dengan alasan sebagai berikut :
a. Pengertian “aayatan” dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sdan surat An-Nahl ayat 101 adalah syariat. Dengan demikian yang dimaksud dengan ayat yang dinaskh ialah syariat-syariat yang terdapat didalam kitab-kitab suci terdahulu yang terdapat pada kitab Taurat dan kitab injil seperti merayakan hari Sabtu sudah dihapus oleh Tuhan sebagai ma’na firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 06 dan surat an-Nahl ayat 101.
b. Lafadz naskh dalam surat Al-Baqarah ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101 artinya ialah memindahkan ayat dari lauh mahfudz ke seluruh kitab yang diturunkan kepada ummat manusia.
c. Ayat tersebut tidak menunjukkan kepastian adanya naskh, tetapi hanya menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya naskh
d. Jika sekiranya di dalam Al-Quran itu terdapat naskh maka ada sebagian hukum dari Al-Quran yang telah dibatalkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:



Artinya: Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (Fushilat : 41).
Sesuiai dengan ayat ini maka syari’at yang terkandung di dalam Al-Quran bersifat kekal tidak dapat dubah atau diganti. Oleh sebab itu hukum-hukum di dalam Al-Quran berlaku sepanjang masa.
Jumhur ulama menetapkan bahwa di dalam Al-Quran terdapat naskh (pembatalan hukum). Al-Quran yang dinaskh dengan Al-Quran dapat diterima dan memang benar-benar terjadi. Jumhur ulama memberikan arti “ayaatin” dalam surat Al-Baqarah ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101 serta ungkapan tabdil (penggantian) adalah sebagai berikut :
Para mufashirin memberikan pengertian :
Maksudnya ialah kami angkat ayat itu lalu kami turunkan lainnya. pengertian tersebut dikuatkan oleh atsar dari Ibnu Abi Hathib tentang firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 101 maksudnya adalah naskh dan mansukh. Dengan demikian maksud surat An-Nahl ayat 101 ialah ketika kami menaskh satu ayat di dalam kitab, kami gantikan dengan ayat yang lain, karena suatu hikmah yang terkandung di dalam naskh itu kami ketahui sendiri, orang lain selain kami tidak mengetahuinya kemudia orang-orang musyrik menuduh bahwa Muhammad berdusta karena Allah mengatakan Al-Quran yang ada disampinya itu diaku wahyu dari Allah.
Menurut akal, Allah ingin mengajarkan kepada manusia bahwa perubahan masa dan suasan menuntut adanya perubahan hukum. Suatu hukum yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada satu masa tertentu maka ditetapkan hukumnya. Kemudian keringan kepada hamab-Nya, lalu diubah hukum yang telah berlaku diganti dengan hukum yang baru.
Menurut jumhur ulama yang menetapkan adanya naskh di dalam Al-Quran ialah bahwa jumlah ayat yang dinaskh cukup banyak. Imam Ash Syuyuthi menghitung ayat yang dinaskh sebanyak 20 tempat. Menurut Prof. DR. Ahmad Shalagi jumlah ayat yang dinaskh kecil sekali dan ini untuk memberikan pelajaran kepada kita bahwa hukum dapat berubah dengan adanya perubahan keadaan dan suasana.
Menurut DR. Mushtafa Zaid bahwa ada 9 tempat naskh yaitu 4 tempat di antaranya naskh Al-Quran terdapat As-Sunnah dan 5 tempat merupakan naskh Al-Quran terhadap Al-Quran.
a. Naskh Sunnah dengan Al-Quran
1) Nas Qiblat Shalat
Hal ini diketahui Nabi Muhammad SAW beserta kaum muslimin sewaktu berada di Makkah ketika mereka mengerjakan shalat menghadap wajah mereka ke arah Baitul Maqdis, seperti yang dilakukan para Nabi sebelumnya. Ketika nabi Muhammad berada di Madinah pada suatu ketika beliau menengadah ke langit memohon turunnya wahyu kemudian turun ayat sebagai berikut :



Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqoroh : 144)
2) Menasikh kebebasan bicara ketika shalat
Pada awal Islam seseorang yang sedang menjalankan shalat tidak dilarang berbicara dengan sesama temannya. Kemudia turun firman Allah SWT :


Artinya: dan berdirilah shalat untuk Allah dengan khusyu (2:238)
Setelah turun ayat ini maka kebebasan bicara ketika orang mengerjakan shalat yang tadinya dibolehkan dihapus dan diganti dengan hukum haram.
3) Menaskh puasa Asyura
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah puasa diwajibkan pada ummat Islam pada awal mulanya ialah puasa Asyura. Kemudian puasa Asyura ini dinaskh dengan surat Al-Baqarah ayat 183.



4) Naskh tentang keharaman makan dan mencampuri isteri bagi orang-orang yang sedang berupuasa Ramashan yang tertidur pada sore hari sebelum berbuka puasa
Pada awal siyari’atkan Islam diantara ketentuan-ketentuan puasa ialah apabila seseorang berpuasa Ramadhan pada sore harinya ia tertidur sebelum berbuka ia diharamkan makan dan minum bahkan mencampuri isterinya. Hal ini dinaskh dengan ayat sebagai berikut :


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.(Al-Baqoroh : 187).
Dengan adanya ayat ini makan, minum, dan mencampuri isteri sesudah tidur belum berbuka puasa yang semula diharamkan dinaskh menjadi diperbolehkan.
b. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran
1) Naskh surat Al-Anfal ayat 65 dengan surat Al-Anfal ayat 66 :




Artinya: Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (Al-Anfal : 65)
Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT mewajibkan kepada pejuang mu’min agar tabah dalam menghadapi musuh dan haram melarikan diri dari kalangan musuh jika perbandingan antara mu’min dengan tentara kasif. 1 : 10. Ketentuan tersebut dinaskh oleh Allah SWT dengan memberikan keringanan perbandingan antara tentar mu’min dengan tentara kafir 1 : 2. Allah SWT berfirman :


Artinya: Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
2) Naskh surat Al-Muhadillah ayat 12 dengan surat Al-Mujadilah ayat 13
Pada waktu itu kaum muslimin banyak yang mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah sehingga beliau merasa berat menghadapi mereka. Untuk mengurangi beban beliau ini Allah SWT mewajibkan kepda orang-orang yang hendak bertanya kepada Nabi SAW supaya orang yang bertanya kepada Nabi tu mengeluarkan sedekah kepada fakir miskin. Allah SWT berfirman :





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Mujadilah : 12).
Setelah ayat ini turun maka para sahabat merasa enggan dan bahkan tidak ada yang berani bertanya kepada beliau sekalipun ada beberapa masalah yang sangat diperlukan jawabannya. Setelah itu turunlah ayat berikutnya yang membatalkan perintah mengeluarkan sedekah jika hendak bertanya kepada beliau. Allah SWT berfirman :





Artinya: Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Mujadilah : 13).
3) Menaskh surat An-Nisa ayat 43 dengan surat Al-Maidah ayat 90.
Di dalam surat An-Nisa ayat 43 Allah SWT berfirman :


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (An-Nisa : 43).
Surat ini memberikan isyarat bahwa khamar itu bila tidak sampai emnganggu peminumnya untuk melakukan shalat maka diperbolehkan. Kemudian turun ayat 90 surat Al-Maidah yang mengharamkan minum khamar secara total. Allah SWT berfirman :


Artinya Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(Al-maidah : 90).
4) Menaskh kewajiban shalat malam diaganti dengan hukum sunnat.
Allah Swt berfirman :


Artinya: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.Al-Muzzammil : 104).
Sebelum diwajibkan shalat fardhu, shalat malam adalah shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT. Kemudian turun ayat yang meringankan shalat malam yang semula merupakan kewajiban menjadi sunnat tathawu’. Allah SWT berfirman :






Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Muzammil : 20)
5) Naskh surat An-Nisa ayat 15 dan 16 dengan surat An-Nur ayat 2.
Allah SWT menetapkan hukum zina bagi orang laki-laki maupun perempuan sebagai berikut :
Pada surat An-Nisa ayat 16 Allah SWT berfirman :







Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (An-Nisa : 15-16)
Surat An-Nisa ayat 15 menerangkan bahwa hukuman bagi pezina wanita pada permulaan pembinaan hukum Islam adalah hukuman kurungan di dalam rumah sampai dia meninggal atau sampai ada ketentuan lain dari Allah SWT. Wanita pezina itu baik berstatus sebagai gadis atau janda.
Surat An-Nisa ayat 16 menerangkan bahwa hukuman bagi pezina laki-laki dan perempuan yaitu kurungan dan hukuman badan seperti yang tercantum dalam kedua ayat dalam surat An-Nisa itu. Hukuman itu kemudian dinaskh dan diganti dengan hukuman jilid (dera). Sebagaimana firman Alah dalam surat An-Nur ayat 2 sebagai berikut :





Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman (An-Nur : 2).